Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Sebelum masuk bulan Ramadan aku pingin bersepeda pagi. Maunya sih rutenya nggak jauh-jauh amat, tapi ya nggak deket-deket juga.
Hehehe, mbingungi toh?
Makanya, daripada bingung mending bersepeda ke Prambanan saja deh. Medannya datar, sampainya cepat, dan di sana banyak bakul es dawet. #eh
Singkat cerita, pada hari Minggu (14/6/2015) pukul 7 pagi, sampailah aku di Prambanan setelah bersepeda menyusuri Jl. Raya Jogja – Solo selama kurang lebih 45 menit. Karena aku sudah lama nggak nengok kompleks Candi Prambanan, aku berbelok ke arah area Sendatari Ramayana. Lumayan lah bisa menikmati candi walaupun hanya dari balik pagar.
Aku juga sempat berhenti sebentar di dekat Candi Sewu untuk ngambil napas sama ngambil foto. Candi Sewu adalah candi Buddha terbesar kedua di Jawa Tengah. Candi Buddha yang paling besar ya jelas Candi Borobudur.
Letak Candi Sewu jadi satu di dalam kompleks Candi Prambanan. Tapi, karena posisinya ada di ujung paling utara sementara Candi Prambanan di ujung paling selatan, jadinya nggak banyak pengunjung yang mampir ke Candi Sewu kalau nggak benar-benar niat.
Yah, semoga Candi Sewu tetap terawat sehingga bisa disaksikan oleh generasi mendatang.
Lanjut bersepeda lagi, sampailah di perempatan dekat kantor BP3 Jawa Tengah dan Candi Plaosan. Berhubung masih pagi, aku teruskan saja bersepeda ke utara ke arah Kecamatan Manisrenggo di Kabupaten Klaten.
Ini kedua kalinya aku bersepeda ke Manisrenggo. Kalau nggak salah, dulu pertama kalinya pas sore-sore di bulan Ramadan tahun 2009. Berhubung zaman itu aku baru lulus kuliah dan baru miskin-miskinnya pula, alhasil aku sambut hangat saja tawaran seorang teman.
“Kalau kamu kuat bersepeda sampai rumahku di Manisrenggo nanti aku kasih buka puasa gratis.”
“Boleh. Di mana itu Manisrenggo?”
“Di utaranya Prambanan. Ikutin saja jalan rayanya. Mentok ketemu pertigaan. Sampai deh.”
Prambanan ke Manisrenggo itu jaraknya “cuma” 7 km. Tapi medan jalannya nanjak! Ya nggak senanjak Tanjakan Cinomati atau Candi Ijo sih. Mirip-mirip sama Jl. Kaliurang lah. Tapi dulu itu kan aku pas puasa dan juga masih awal-awalnya bersepeda. Jadinya ya perjuangan ke Manisrenggo itu terasa beraaat banget, hahaha .
Kalau sekarang sih enteng, hehehe . Sekitar pukul setengah 8 pagi, sampai deh di pertigaan Manisrenggo.
Berhubung masih pagi, aku lanjut bersepeda ke arah timur. Namanya juga blusukan nggak jelas, hahaha . Eh, tujuan utamanya sih sebenernya ya nyari sarapan. Tapi kok ya nyari sarapan ya jauh banget ya sampai pindah provinsi? Ah, bener-bener nggak jelas lah pokoknya.
Dari Manisrenggo ke timur terus nanti ketemu sama Kali Woro. Pas aku lewat ini, kondisi Kali Woro lumayan “bersih”. Beda sama Kali Gendol yang masih “kotor” sama sisa-sisa erupsi Merapi tahun 2010 silam. Kalau musim hujan sepertinya airnya mengalir lebih deras deh.
Dari sini aku masih bersepeda ke timur terus dan tahu-tahu sudah pindah ke Kecamatan Karangnongko. Kecamatan Karangnongko ini lumayan “beruntung” karena kebagian “jatah” dua peninggalan candi, yaitu Candi Merak dan Candi Karangnongko.
Eh, baru sekarang aku nyadar kalau Karangnongko itu ternyata dekat sama gunung Merapi.
Bersepeda di Karangnongko ini asyik karena banyak sawahnya. Kalau mau blusukan sambil nyasar-nyasar di sawah, sepertinya Karangnongko lokasi yang ideal deh.
Tapi, begitu melihat aktivitas di sawah yang umumnya didominasi oleh kaum tua, aku jadi kepikiran lagi kalau semakin hari pertanian makin tidak diminati oleh kaum muda. Padahal ya baik kaum tua maupun kaum muda kan ya masih makan nasi toh?
Ada pendapat kalau pertanian itu memang pekerjaannya kaum tua supaya mereka nggak “mengganggur” di desa. Apa memang benar begitu ya Pembaca? Hmmm....
Anyway, sepanjang jalan aku melewati pemakaman umum yang sebagian besar berhiaskan kembang mawar dan melati. Di Klaten ini masih banyak yang melangsungkan tradisi ziarah kubur.
Seenggaknya, dengan begini kan pemakaman terkesan bersih, rapi, dan tidak menakutkan. Ya toh?
Ada beragam cara lain bagi warga Klaten untuk memperingati kedatangan bulan Ramadhan selain ziarah kubur. Misalnya saja pawai drum band. Kebetulan aku berpapasan dengan rombongan drum band saat melintasi jalan raya Deles.
Kalau ziarah kubur banyak menuai kontra, apakah drum band seperti ini juga menuai kontra ya?
Nggak terasa, tahu-tahu aku sudah nyasar saja di Kecamatan Kebonarum. Masih di Kabupaten Klaten tentunya. Masih dikelilingi oleh sawah-sawah yang menghijau juga. Bedanya, di beberapa sawah aku lihat ada bangunan unik gede banget yang warga sekitar menyebutnya sebagai los.
Los diperkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Los adalah bangunan yang difungsikan untuk mengeringkan tembakau. Tembakau dikeringkan di dalam los dengan cara diasapi. Untuk informasi lebih jelasnya tentang los, bisa pembaca simak di tautan berikut ini.
Jam hampir bergeser ke pukul 9 pagi. Dari tadi bersepeda tapi perut sama sekali belum diisi. Eh, diisi sih tapi cuma sama air saja. Logistik air juga sudah mulai menipis.
Nyari sarapan di pedesaan begini lumayan susah. Umumnya kan warga bertani. Mereka di sawah dari pagi sampai siang. Apalagi warga desa kan umumnya jarang jajan di luar. Jadi, pikirku paling nanti aku sarapan di Kota Klaten yang posisinya ada di selatannya Kecamatan Kebonarum.
Eh tapi begitu tiba-tiba njedul di dekat kantor kepala Desa Ngrundul, aku lihat ada warung sop ayam di pinggir jalan. Namanya Sop Ayam Pecok Satriyan Pak Kebo. Kayaknya menarik ini. Ya sudah, mampir dulu deh.
Sop ayam itu ya sop ayam. Pecok itu bahasa Jawa artinya potong. Pecok-pecok ya dipotong-potong. Pembaca mudheng toh?
Satriyan itu nama dusun di mana warung sop ayam ini berdiri. Sedangkan Pak Kebo itu yang punya warung. Tapi waktu itu yang jual seorang ibu. Mungkin beliau adalah Bu Kebo. Walau namanya Kebo tapi wujudnya manusia kok bukan kerbau.
Eh, penting banget nggak sih aku nulis kayak begini?
Aku jadi mikir apakah sop ayam pecok ini memang kuliner khas Klaten ya? Pikirku sop itu kan kuliner khas Cina. Tapi, mengingat komposisi dasarnya hanya air dan daging, aku pikir semua peradaban pasti punya kuliner sejenis sop.
Hanya saja, orang yang hidup pada zaman dulu makan sop pakai apa ya? Jauh sebelum ada sendok lho. Kan orang Jawa biasa makan langsung pakai tangan.
Eh, mungkin saja orang yang hidup pada zaman dulu itu makan sop dengan cara diseruput. Atau mungkin pakai sendok dari tempurung kelapa? Waaa... aku kebanyakan mikir yang aneh-aneh...
Oke! Jadi inilah penampakan Sop Ayam Pecok Satriyan Pak Kebo. Sebagaimana lazimnya sajian sop ayam pecok, pengunjung bisa memilih mau sop ayam biasa atau sop ayam berkawan sayap, dada, paha, kepala, dll.
Aku sendiri memilih sop ayam biasa yang mana hangat, segar, dan maknyus sekali untuk mengisi ulang tenaga yang habis dipakai blusukan nggak jelas melintasi 4 kecamatan di Klaten.
Untuk seporsi sop ayam biasa + teh tawar hangat + satu tahu goreng aku cukup membayar Rp6.500! Kalau begini ceritanya, I LOVE KLATEN VERY MUCH!
Berhubung hari makin beranjak siang dan cuaca sudah mulai panas, aku memutuskan untuk belok ke arah selatan menuju Kota Klaten. Kalau terus blusukan ke arah timur nanti bisa-bisa nyasar sampai Kota Solo dong, hahaha.
Aku sampai di kota Klaten nyaris pukul setengah 10 siang. Dari sini ya tinggal ngikutin Jl. Raya Solo saja untuk balik ke Prambanan dan sampai ke Jogja lagi.
Selesai sudah kisah petualangan blusukan nggak jelas di Klaten kali ini. Ada banyak hal yang bisa menjadi bahan pelajaran dan bahan renungan, khususnya dalam sisi kehidupan pedesaan seperti yang aku jumpai.
Akhir kata, silakan Pembaca datang ke Klaten dan nikmatilah suasana pedesaannya.
NIMBRUNG DI SINI
Semoga duitnya cepat terkumpul jadi bisa pulang ke desa. :D
bloger yang suka mblusuk pake sepeda selain mz maw ini siapa lagi ya? :D
sperti saya bingiiittt......ueenaaaaakkk tenaaan......dan terus saya jadi terbuai karena cara
ceritanya yooooo persis seperti yang sehari-hari aku lakukan dek semonooooo........karena aku
kini ada di Cirebon , Mas Tukang Mblusuk mbok aku di jaakkk klooo suk mbenn bali ke jogja
yaaaa......pengeeen tenan khiiii....
sepeda bekas Mas, terus tak jual karena butuh uang hehehe. Iyo ya :D
mas? Ajaibb -_-
gitu ga sih? pengen nih jelajah makanan
Kuliner ndeso seperti apa ya mbak? Klo aku blusukan ke desa-desa paling ya kulinernya soto, sop, dsb. Jarang ada kuliner menarik khas yg misal hanya ada di kecamatan tertentu.
paling suka lihat foto sawah berlatar Gunung Merapi menjulang, adem banget. Nyepedaan
begini memang berkesan terasa dekat dengan sekitar, lebih low profile. Sop ayam pecoknya
sepertinya menggoda :D
Btw aku suwe gak sepedahan adoh. Duh, minggu ini dadi pingin sepedahan. Hmm.. sepedahan opo running ya? Hahhaha
Candi Sewu itu paling utara posisinya. Yg candi hancur lebur itu Candi Bubrah barangkali.
Hehehe..
masa depan?
ngikut nimbrung :D
kayanya kalo aku tinggal di sana. hahahaha
gowes pedesaan memang menyenangkan ... bener2 ndeso ... he he
gileee mak ... murah banget porsi sop-nya ... mau dongggg
Hehehe, ini enaknya di Klaten Kang. Pemandangannya sawah dan makanannya murah enak :D
Hampir nggak pernah sih menikmati suasana Klaten. Biasanya selama ini cuma numpang lewat doang :D
Mungkin dirimu mesti numpang lewat jalan-jalan desa biar lihat pemandangan yang beda daripada di Jl. Solo. :D
hari dekat-dekat ini ada peringatan ultah klaten kayakna..pasti rame :D