Sabtu (27/5/2006) silam, Indonesia berduka. Sekitar pukul 6 pagi kurang, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter melanda DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Ketika gempa terjadi aku sedang berada di rumah, di pusat Kota Jogja. Alhamdulillah, para penghuni rumah masih dilindungi Gusti Allah SWT. Para tetangga pun demikian. Kerusakan bangunan relatif minor, seperti genteng yang jatuh atau tembok yang retak.
Listrik yang mati ketika gempa baru hidup menjelang magrib. Segera siaran televisi pun menjadi pencerah kabar simpang-siur datangnya tsunami Pantai Selatan. Tersiarlah kabar bahwa kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Bantul, di selatan Yogyakarta. Disusul wilayah perbatasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah di sekitar Kabupaten Klaten.
Selang tiga hari kemudian, tepatnya pada Selasa (30/5/2006), Winky mengajak aku menyambangi rumahnya Mbah Teguh di Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Desa itu terkena dampak parah gempa yang terjadi Sabtu silam.
Eh, sebetulnya beberapa detik sebelum gempa terjadi, aku baru saja melepas kepergian Winky di gerbang rumah. Semalaman kami lembur menyelesaikan poster kegiatan Lomba Matematika Nasional ke-18.
Rencananya, Sabtu pagi itu Winky bakal menyerahkan desain poster ke percetakan. Tapi, karena terjadi gempa, Winky pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Alhamdulillah, keluarga dan rumah Winky selamat.
Kembali ke cerita pada hari Selasa, sekitar pukul 8 pagi aku dan Winky berangkat menuju rumahnya Mbah Teguh dengan sepeda motor. Seperti biasa, aku dibonceng Winky. Jadi, aku pun bisa leluasa memotret-motret pemandangan di sepanjang perjalanan.
Kami berkendara melalui Jl. Raya Yogyakarta – Solo ke arah Prambanan. Di pinggir-pinggir jalan banyak bangunan yang runtuh. Bangunan besar tak runtuh, tapi tak luput dari kerusakan. Mal Saphir Square rusak parah, kanopi di lobi utama ambruk dan kaca-kacanya berserakan. Tembok luar Mal Plaza Ambarukmo dihiasi retakan-retakan besar nan panjang. Padahal Mal Plaza Ambarukmo baru saja dibuka beberapa minggu yang lalu.
Kami tiba di rumahnya Mbah Teguh sekitar pukul setengah 9 pagi. Seperti yang Winky sudah ceritakan, rumahnya Mbah Teguh rusak parah terkena gempa. Tenda terpal biru didirikan di jalan depan rumah sebagai tempat bernaung sementara.
Di sana kami disambut oleh Mbah Teguh dan ibunya. Dari raut wajahnya, Mbah Teguh sepertinya tidak terlalu terguncang. Tapi, mungkin ada kesedihan yang tersimpan jauh di dalam lubuk hatinya. Yang sabar ya Mbah....
Selain untuk menghibur Mbah Teguh, kedatanganku dimaksudkan untuk mendokumentasikan kerusakan-kerusakan yang terjadi. Mbah Teguh berniat untuk mendapatkan bantuan dari suatu lembaga kemanusian dengan bermodalkan foto-foto yang aku abadikan.
Dengan dipandu Mbah Teguh, aku dan Winky berjalan kaki menyusuri sudut-sudut Desa Kebondalem Kidul. Kondisinya benar-benar memprihatinkan. Banyak rumah yang rusak parah. Tak sedikit pula yang rata dengan tanah.
Entahlah. Mungkin selain kuasa Tuhan, ada juga kekurangcermatan dalam proses membangun rumah. Di beberapa tempat, masih ada rumah yang kokoh berdiri walaupun rumah di kanan dan kirinya luluh lantak.
Selain rumah-rumah warga, sejumlah bangunan vital di Desa Kebondalem Kidul juga tak luput dari amukan gempa. Bangunan balai desa luluh lantak. Padahal, semestinya balai desa menjadi tempat evakuasi jika terjadi bencana.
Yang paling mencengangkan buatku adalah adanya bangunan candi yang runtuh! Desa Kebondalem Kidul rupanya menyimpan situs bersejarah bernama Candi Sojiwan. Kata Mbah Teguh, Candi Sojiwan sedang dipugar dan rencananya bakal diresmikan beberapa bulan lagi. Tapi, gempa besar yang terjadi Sabtu silam sepertinya membuyarkan rencana itu.
Satu-satunya tempat yang sepertinya tak banyak berubah setelah gempa melanda adalah pemakaman. Walaupun demikian, kata Mbah Teguh pemakaman desa turut ketambahan penghuni baru setelah gempa. Semoga saja mereka mendapat tempat di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Aamiin.
Kami tiba kembali di rumahnya Mbah Teguh mendekati pukul 10 siang. Di sana kami mengobrol sambil ditemani suguhan mie instan rebus yang dibuat oleh Ibunya Mbah Teguh. Sungguh agak aneh perasaanku, disuguhi santapan seperti ini di tengah kondisi warga yang berselimut duka. Seakan-akan, ini hanya acara bertamu ke rumah kawan seperti biasa.
Selain Mbah Teguh, ada pula Rifie, kawan Matematika 2004 yang bertempat tinggal di Kecamatan Kalasan, sekitar 5 km dari Desa Kebondalem Kidul. Karena itu, sekitar pukul 11 siang lebih, aku dan Winky menyambangi rumahnya Rifie. Siapa tahu ia membutuhkan bantuan.
Alhamdulillah, Rifie beserta keluarganya selamat dari gempa. Walaupun demikian, rumahnya Rifie turut mengalami kerusakan. Tapi, kerusakannya nggak separah rumahnya Mbah Teguh. Hanya ada sebagian kecil tembok yang runtuh dan atap yang jatuh.
Konyolnya, di halaman rumah Rifie, aku dan Winky sempat-sempatnya memanen buah cokelat. Ini pertama kalinya aku tahu wujud buah cokelat dan asal-muasal biji cokelat.
Menjelang pukul 12 siang, aku dan Winky balik lagi ke rumahnya Mbah Teguh. Kabarnya, siang ini Andreas dan Joko juga bakal bertandang. Jadilah sambil tidur-tiduran kami menunggu kedua kawan Matematika 2004 itu datang.
Andreas dan Joko datang menjelang pukul 3 sore. Lagi-lagi, suguhan mie instan rebus pun dibuat oleh ibunya Mbah Teguh. Aku pun disuruh makan untuk yang kedua kalinya. Benar-benar tidak enak sekali perasaanku, merepotkan orang yang sedang ditimpa kesusahan.
Sebelum semuanya menjadi serba tidak enak, selepas menunaikan salat Asar kami semua pamit dari kediamannya Mbah Teguh. Malam harinya aku harus segera memindahkan foto-foto ke CD untuk besoknya segera diberikan ke Mbah Teguh.
Semoga Desa Kebondalem Kidul segera bangkit.
Semoga Mbah Teguh dan keluarganya diberikan ketabahan, semangat, dan kemudahan dalam menghadapi kondisi ini.
Aamiin.
Mungkin inilah yang bisa aku perbuat bagi mereka yang menjadi korban bencana gempa. Rasanya kurang maksimal, tapi yaaa....
NIMBRUNG DI SINI