Keliling Candi Borobudur?
Cih! Itu sih biasa (banget)! Tinggal bayar tiket masuk, terus kelilingi deh itu candi. Selesai kan? Nggak perlu pakai capek?
Akan tetapi, bukan PEKOK namanya kalau nggak bisa bikin sesuatu yang biasa (banget) jadi terasa luar biasa (banget).
Lha mau PEKOK ngapain? Keliling candi Borobudur dari luar kompleks candi? Atau keliling candi Borobudur dari kampung di sekitar sana?
Sinopsis PEKOK kali ini.
Yup! Tapi bukan sedekat itu jaraknya!
Kami bakal bersepeda mengelilingi Candi Borobudur dari perbukitan Menoreh! Itu lho perbukitan yang jelas banget terlihat “memagari” Candi Borobudur dari kejauhan.
HAH!?
Udah deh! Daripada terkejut, mending simak petualangan aku, Pakdhe Timin, dan Yudhis pada hari Rabu (18/7/2012) yang lalu itu.
Anggota PEKOK yang tersisa...
Dari Jogja Lewat Selokan Mataram ke Barat
Seperti biasa, untuk menuju ke Candi Borobudur kami menyusuri Selokan Mataram ke arah barat dari Kota Jogja. Bersepeda menyusuri Selokan Mataram itu mengasyikkan karena suasananya lebih sepi dan kontur jalannya (terasa) lebih datar.
Pemandangan berbeda kami peroleh setibanya di Bendungan Karang Talun. Air Kali Progo sudah jernih! Juga, di sekitar bendungan sudah nggak ada lagi aktivitas penambangan pasir seperti dulu itu! Alhasil, Kali Progo lebih indah dan sedap untuk dinikmati deh!
Airnya sudah jernih! Nggak lagi cokelat!
Pada bulan Januari 2012 silam, di sini ada banyak tambang pasir.
Foto ketiga yang aku jepret dengan kondisi yang hampir sama saat aku memotretnya untuk yang pertama kali.
Dari Bendungan Karang Talun perjalanan berlanjut. Seperti biasa, Tanjakan Bendo sudah menanti seusai kami melewati cabang pertigaan jalan ke arah Sendang Sono.
Di Tanjakan Bendo kami bertiga menyerah dari awal alias melewati tanjakan dengan menuntun sepeda! Hahaha.
Alasannya sih menghemat tenaga. Tapi, alasan sebenarnya karena memang nggak punya tenaga. Sebab, kami semua sudah lama (banget) absen PEKOK. Doh!
Berpapasan dengan adik-adik SMP yang sedang ospek.
Di dekat Pasar Ngluwar kami sempat mampir lagi di warung lotek yang bertempat di halaman depan suatu rumah. Pada pertengahan tahun 2012 ini harga seporsi lotek naik sedikit menjadi Rp14.000 untuk bertiga. Eh, apa mungkin ya harganya naik karena aku dan Pakdhe Timin menyantap lotek dengan bakwan?
Santapan murah meriah! Bertiga hanya Rp14.000!
Mencari Tanjakan Menuju Menoreh
Sekitar pukul setengah sebelas siang kami tiba di Candi Borobudur. Tujuan berikutnya adalah mencari jalan untuk mendaki Perbukitan Menoreh!
Kami mengambil jalan ke arah Hotel Manohara. Terus mengikuti jalan hingga sampai ke pertigaan yang menunjukkan arah ke Ngadiharjo.
Dari Candi Borobudur, rute yang aku lalui ini serupa dengan rute saat aku pergi untuk memotret Candi Borobudur dari Punthuk Setumbu. Hanya bedanya ya, aku dan kawan-kawan nggak berhenti dan terus melanjutkan perjalanan sampai Ngadiharjo.
Lewat jalan menuju Punthuk Setumbu juga lho!
Setelah ini tantangan pun dimulai! Yiiihaaa!
Hah? Tantangan apa?
Ya apalagi! Tentu Pembaca semua nggak lupa kan sama tantangan yang menimbulkan adegan seperti foto di bawah ini?
Tanjakan "Aroma Cengkeh Menoreh"
Cengkeh di Perbukitan Menoreh
Memasuki Desa Ngadiharjo tiba-tiba tercium semerbak bau harum cengkeh. Ternyata, di kanan-kiri jalan atau di halaman rumah warga banyak terlihat tampah berisi biji cengkeh yang sedang dikeringkan. Hampir bisa dipastikan mayoritas warga Desa Ngadiharjo menggantungkan hidupnya pada komoditas cengkeh.
Menurut harian Tribun harga cengkeh kering dapat mencapai Rp140.000 per kg. Bila sedang musim panen seperti saat ini, harga cengkeh turun di kisaran Rp80.000 per kg. Sebagai gambaran, satu pohon cengkeh berusia 25 tahun bisa menghasilkan hingga 80 kg cengkeh basah. Bila dikeringkan maka akan dihasilkan bobot hingga 1/3 dari bobot cengkeh basah. Selain bijinya, daun dan tangkainya juga laku dijual seharga Rp6.000 dan Rp1.500 per kg.
Pemandangan yang umum dijumpai. Cengkeh hampir ada di setiap rumah.
Nggak heran, cengkeh menjadi primadona dari zaman penjajahan hingga saat ini. Pantas saja, sebagian besar rumah warga yang aku jumpai bagus-bagus.
Puncak Tertinggi di Giripurno
Di sebuah puncak di Desa Giripurno, aku dan kawan-kawan menyaksikan pemandangan Candi Borobudur dari kejauhan. Pemandangan yang tersaji ini mirip seperti pemandangan yang aku saksikan dari Punthuk Setumbu. Hmmm, mungkin kalau lebih pagi pemandangannya bakal lebih menarik ya?
Tapi semua pengalaman yang aku ceritakan di atas itu belum seberapa dibandingkan pengalaman di bawah.
Candi Borobudur (kecil banget) di sisi kanan bawah foto.
Dongkol dengan PT Margola
Pengalaman yang nggak bakal kami lupakan adalah ketika singgah di Desa Ngargoretno. Di pinggir jalan di desa ini aku melihat adanya gugusan batu yang Subhanallah indah banget! Maka dari itu, mendekatlah aku ke gugusan batu tersebut. Niatnya sih untuk foto-foto.
Akan tetapi, baru beberapa menit kami di lokasi guna mengagumi keindahan gugusan batu, tiba-tiba kami dihampiri oleh seorang bapak.
“Ada perlu apa di sini Mas? Kalau mau foto-foto minta izin dulu di (kantor) bawah”
Batu marmer yang cantik, akan tetapi...
"Hah? Motret batu doang harus minta izin? Memang ini batunya mbahmu po Pak? Memang dirimu punya andil besar dalam proses pembentukan alami batu ini po?"
Padahal, pada waktu si bapak menghampiri belum ada satu pun dari kami yang mengeluarkan kamera.
Dongkol sih jelas, tapi kami tak mau berdebat panjang dengan si bapak. Sudah capek nanjak, masak ya mesti capek debat? Nggak berapa lama si bapak pun meninggalkan kami. Mungkin ia iba karena melihat penampilan kami yang terkesan lusuh dan ke sini naik sepeda.
Hmmm, kami mencium ada sesuatu yang nggak beres di sini...
Hanya bisa menahan dongkol dari kejauhan...
PT Margola dan Lahan Konflik
Selidik punya selidik, ternyata gugusan batu yang kami jumpai merupakan gugusan batu marmer. Wilayah tersebut merupakan area tambang milik PT Margola. Sesuai dugaan, rekam jejak perusahaan ini lumayan buruk. Warga sekitar nggak setuju dengan keberadaan PT Margola yang melakukan penambangan marmer besar-besaran semenjak tahun 1988. Selain menimbulkan kerusakan alam, sering juga terjadi kelongsoran dan kekeringan akibat dampak dari penambangan.
Protes sudah berkali-kali dilayangkan oleh warga ke pemerintah untuk menghentikan penambangan marmer oleh PT Margola. Namun, hingga sewaktu kami ke sana aktivitas penambangan tampak masih berjalan. Weh!
Kabarnya sih, izin penambang nggak diberikan. Tapi, kenapa sampai sekarang aktivitas penambangan di sana itu masih berjalan? Ah bisa jadi itu ulah oknum busuk yang bisa dibeli dengan uang. Bukankah begitu?
Aku sih nggak setuju jika ada penambangan batu marmer secara besar-besaran di sana. Nanti gugusan batuan indah itu bisa hilang dong! Lagipula, di dekat gugusan batuan marmer itu terdapat situs bersejarah Gua Lawa, salah satu tempat bersembunyinya Pangeran Diponegoro pada kala Perang Jawa.
Ditambang besar-besaran! Rusak sudah alam negeri kita dirambah oknum-oknum seperti ini!
Gagal Melintasi Bukit Menoreh
Eh, sebenarnya kami mengelilingi Perbukitan Menoreh ini dengan suatu misi khusus, yaitu menuju Desa Benowo. Kalau dari peta di bawah ini kelihatan dekat kan antara Desa Benowo dengan Desa Ngargoretno?
Rute PEKOK dari Borobudur (niatnya) menuju Desa Benowo, Purworejo.
Tapi sayangnya, dua desa itu dipisahkan oleh puncak sebuah Bukit Menoreh. Alamaaak!
Kami pun mencari jalan memutar bukit, tetapi malah bertemu jalan turunan dan sampai di Desa Kalirejo yang letaknya di kaki bukit. Doh! Udah enak-enak di atas bukit, masak harus turun lagi ke kaki bukit sih? Bakal bersepeda mengulangi tanjakan jahanam lagi dong kalau begini ceritanya! Doooh!
Berhubung waktu sudah semakin beranjak sore, kami pun memutuskan untuk...BATAL. Hiks! Mission failed! >.<
Kami pun mengayuh sepeda menuju jalan raya sesuai arahan warga. Betapa kagetnya ketika kami berjumpa dengan Jalan Raya Magelang-Purworejo.
Eh? Ini kan hanya berjarak sekitar 7 km dari Candi Borobudur? Datar pula....
Kalau begitu, ngapain tadi kita capek-capek bersepeda menanjak Perbukitan Menoreh jikalau titik pendakian yang sesungguhnya bisa dicapai dengan mudah dan mulus?
... Doh!
Bagaimana Pakdhe? Namanya apa kelakuan kita ini?
Ya PEKOK! toh?
NIMBRUNG DI SINI
haseee
tapi saat ini marmer ygt ada di foto di atas masih ada.. dan tong merah yg ada di foto 3
masih ada, tapi udah berkarat
besok ikutan ah heheh :-D
besok lanjut keliling merapi start dari turgo muter sawangan dukun krinjing selo dst
sampai balik lagi
hehehe pisss