Pada suatu pagi, aku terbangun dari tidurku yang lelap di suatu penginapan di Kota Malang, Jawa Timur. Dengan nyawa yang masih terkumpul sebagian, aku lirik penunjuk waktu yang tampil di handphone. Pukul setengah enam kurang sedikit. Agaknya, mentari masih malu-malu menyembul dari cakrawala. Maka dari itu, aku segera bangkit dari kasur, masuk ke kamar mandi dan berwudhu untuk menunaikan salat Subuh.
Saat sedang berwudhu itu, tanpa sengaja aku mengamati jari-jemari tanganku. Aku terdiam. Wujud kuku jemariku amat mengerikan. Panjang-panjang mirip kuku butho. Kotor pula! Doh!
Jadi, sehabis menunaikan salat Subuh aku melangkahkan kaki ke luar penginapan. Aku berjalan beberapa meter menuju gerai Indomaret. Tentu untuk membeli gunting kuku. Berhubung Indomaret tak sudi dikotori oleh potongan kuku jemariku, aku berinisiatif mencari tempat lain untuk memotong kuku. Di mana ya?
Tiba-tiba, di pinggir jalan raya yang masih sepi itu, ada angkot trayek MM berhenti tak jauh dari tempatku berdiri.
“Naik Mas?”, tanya Pak Sopir
Tanpa pikir panjang, aku sambut tawaran Pak Sopir. Dengan merogoh kocek Rp2.500, aku turun di alun-alun Kota Malang. Apalagi, kalau bukan untuk memangkas kuku jemariku.
Kapan lagi bisa potong kuku di alun-alun, di Kota Malang pula.
Selang beberapa jam kemudian, aku bertarung sengit dengan hawa dingin Kota Batu. Dengan pakaian yang masih basah diterpa air hujan, semangkuk bakso Malang dan segelas susu cokelat hangat seakan memberi bantuan perlawanan yang cukup berarti.
Di bawah hangatnya cahaya mentari sore yang masih malu-malu keluar dari balik mega, aku menghangatkan diri di alun-alun Kota Batu. Tak ada yang lebih menarik dari suatu ferris-wheel atau bianglala yang ada di tengah alun-alun. Selebihnya, adalah keceriaan warga Kota Batu yang membuat meriah suasana selepas hujan deras beberapa menit yang lalu.
Lantas, apa maksud dari artikel tak jelas ini?
Aku menikmati kenyamanan di dua alun-alun itu, di Kota Malang dan di Kota Batu. Aku merasakan kesan yang berbeda jika dibandingkan saat aku singgah di alun-alun Keraton di Kota Jogja. Dua pohon beringin yang berdiri di tengah alun-alun Keraton memberikan kesan mistis sekaligus sakral. Sedangkan di Kota Malang dan di Kota Batu, alun-alun adalah ruang terbuka yang memfasilitasi warga kota untuk saling bercengkrama.
Aku bukan ingin membanding-bandingkan. Akan tetapi, tetap heran saja mengapa perasaan yang berbeda ini bisa terjadi. Padahal, Kota Malang dan Kota Batu, keduanya bukan ibu kota kabupaten. Jaraknya pun lumayan jauh dari ibu kota provinsi Jawa Timur yakni Surabaya. Geliat kehidupan kotanya seakan tak mau tertinggal dari Surabaya.
Hingga pada akhirnya yang muncul adalah sebuah pengandaian. Akankah konsep yang serupa dapat terwujud di kota-kota lain? Sehingga ibu kota provinsi tak akan banyak terbebani oleh manisnya arus urbanisasi?
NIMBRUNG DI SINI
butuh referensi liburan dikota dingin..
Pemandangannya WOW banget ^^b
nya gak wis?
waktu aku kesana sih lumayan bagus tempatnya, terutama di lampion garden..cocok
untuk rekreasi keluarga sih...