Selepas April 2017 – setelah menggunakan dua kali hak pilih Pilkada – sebetulnya nggak ada lagi alasan buatku untuk tetap mempertahankan KTP Jakarta.
Hidup sudah sepenuhnya berpusat di Jogja. Kebutuhan dengan Jakarta sebagai “kota halaman” juga sudah menurun drastis.
Apalagi, Desember 2017 aku menikah. Otomatis, setelahnya aku bakal meyambangi Dinas Dukcapil untuk membuat Kartu Keluarga baru. KTP Jakarta pun bakal berganti menjadi KTP Yogyakarta.
Walaupun demikian, Jakarta tetaplah rumah. Di Jakarta masih ada rumah yang menjadi saksi hidup seorang Wijna belasan tahun. Rumah besar yang kini hanya dihuni berdua oleh Bapak dan Ibu tercinta.
Ya, Jakarta tetap menyimpan alasan sebagai tempat pulang.
Dengan segudang aktivitas di Yogyakarta, kepulangan ke Jakarta yang dulu sering tak terencana sekarang menjadi (lebih) terencana. Termasuk pula kepulangan singkat pada Sabtu (6/7/2019) yang lalu.
Tak begitu banyak perasaan nostalgia yang membuncah tatkala pagi itu menjejakkan kaki di ibu kota. Mungkin karena baru setahun yang lalu singgah. Mungkin pula karena Stasiun Pasar Senen tak berubah. Ia tetap menjadi saksi bisu para pelancong dengan berbagai kerinduan.
Akan tetapi, kali ini tak hanya rindu bersua Bapak dan Ibu yang mempercepat langkah. Ada gejolak hasrat untuk segera tiba di Halte TransJakarta Bundaran Hotel Indonesia.
Setelah menumpang bus TransJakarta koridor 2 disambung koridor 1, Patung Selamat Datang pun menyambut. Di hadapannya berdiri instalasi seni bambu Getah Getih yang sempat menuai kontroversi itu.
Hati semakin berdebar ketika menyeberangi pelican crossing ke arah Plaza Indonesia. Kaki seakan ingin melompat kegirangan ketika melihat gerbang besar dengan papan bertuliskan Bundaran HI didampingi logo MRT Jakarta di sisi kanannya.
Ya Allah! Alhamdulillah akhirnya Jakarta punya MRT!
Sayang, jeritan syukur di dalam hati itu secepat kilat berganti dengan “ketakjuban” saat tiba di depan gerbang.
Ya Allah! Kok anak tangga turunnya banyak banget!
Mana ini memanggul tas carrier berat pula.
Di koridor bawah tanah, pandangan pun tersapu ke kanan-kiri. Rasa girang dan rasa tidak percaya masih bercampur aduk.
Reaksi yang boleh dibilang lebay . Tapi, sebagai orang yang belasan tahun hidup besar di Jakarta, kehadiran MRT bagaikan mimpi transportasi publik yang menjadi nyata.
Proyek monorel yang dimulai sejak semester pertama kuliah dan kemudian berakhir mangkrak seakan membuyarkan harapan bahwa Jakarta bakal memiliki transportasi publik yang modern, aman, dan tertib.
Kini harapan itu mulai bangkit lagi.
Dengan konsep MRT yang serupa seperti di negara tetangga, tak ada canggung dan bingung saat hendak menumpang sang Ratangga. Apalagi kami sudah membekali diri dengan kartu uang elektronik. Alhasil, urusan tiket hanya tinggal tap di mesin gerbang. Simpel.
Kehadiran MRT ini juga seakan menjawab kegusaran sang istri terlucyu sejak kami keluar dari Stasiun Pasar Senen.
“Gimana nanti kalau telat sampai rumah Laav?”
Nyatanya, perjalanan naik TransJakarta dari Pasar Senen ke Bundaran HI ditempuh sekitar 30 menit. Sementara perjalanan naik MRT dari Bundaran HI ke Blok A hanya memakan waktu sekitar 17 menit.
Waktu tempuh 47 menit dari Pasar Senen hingga Blok A itu sungguh luar biasa! Tanpa kena macet!
Eh, bisa jadi ini juga disebabkan oleh lenggangnya lalu lintas Jakarta pada Sabtu pagi itu.
Ketika turun di Halte MRT Blok A, pemandangan suasana kumuh menjadi santapan. Dari ketinggian peron terlihat lahan kosong bekas Pasar Blok A dipakai sebagai tempat pembuangan sampah. Sejumlah gerobak dan sepeda motor turut diparkir di sana-sini.
Sebetulnya, ini adalah pemandangan yang cukup jamak di Jakarta. Suasana kumuh kerap bersanding dengan suasana elit pada suatu ruang pandang yang sama. Ini tanda bahwa pesatnya pembangunan di ibu kota masih tetap menyisakan jurang pemisah yang dalam.
Kabarnya, di lahan bekas Pasar Blok A ini bakal dibangun bangunan pasar modern yang berkonsep Transit Oriented Development (TOD). Akan tetapi hingga saat ini perkembangannya masih belum jelas.
Dari Halte MRT Blok A, perjalanan ke rumah dilanjut dengan menyusuri trotoar Jl. RS Fatmawati yang Alhamdulillah sudah tertata apik. Untung sang istri nggak protes bahwa rumah tercinta membutuhkan waktu tempuh sekitar 15 menit berjalan kaki.
Singkat cerita, selepas siang tugas sang istri sebagai pembawa serah-serahan calon mempelai pria pun usai. Kami sekeluarga tiba kembali di rumah menjelang magrib.
Malamnya, Bapak mengajak kami dan seluruh anggota keluarga Klaten yang menginap di rumah untuk makan di luar. Sebagai seorang pakdhe dan eyang yang baik, Bapak rupanya ingin memberikan mereka pengalaman naik MRT.
Coba, kapan lagi orang dari “Jawa” bisa naik MRT kalau tidak pada momen acara khusus seperti ini?
Jadilah selepas menunaikan salat Magrib, kami berempat belas berjalan kaki dari rumah menuju Halte MRT Haji Nawi. Ternyata, Halte Haji Nawi lebih dekat dari rumah ketimbang Halte Blok A.
Di tengah perjalanan Ibu bercerita bahwa keberadaan MRT kini membuat mereka “manja”. Ke mana-mana lebih enak naik MRT karena praktis dan murah (terutama ke Blok M ). Apalagi setiap halte MRT dilengkapi lift sehingga memudahkan langkah Bapak dan Ibu.
Sepertinya, Bapak dan Ibu inilah model orang yang diharapkan oleh para penggerak transportasi publik. Mereka kini lebih sering ke mana-mana naik transportasi umum. Semoga perilaku yang seperti ini juga tertular kepada warga yang lain.
Suasana ramai memenuhi halte dan kereta yang kami tumpangi. Malam Minggu agaknya menjadi pemikat warga untuk berwisata dengan MRT. Hilang sudah kesan MRT sepi peminat yang sempat mencuat pagi tadi.
Kali ini, karena khawatir saldo kartu uang elektronik tidak cukup, dibelilah kartu MRT single trip. Kartu ini bisa dibeli dari loket atau mesin tiket otomatis yang lahap menyantap uang.
Sayang, jumlah penyedia tiket tidak berimbang dengan jumlah calon penumpang. Mungkin pada masa mendatang kartu uang elektronik adalah satu-satunya solusi tanpa antrian.
Adapun hal yang membuat perjalanan dengan MRT pada malam ini menjadi kurang nyaman adalah masalah mesin gerbang. Antrian panjang calon penumpang tampak menjejali beberapa gerbang. Rupanya, mesin gerbang tidak sukses membaca kartu uang elektronik yang di-tap oleh pengantri terdepan.
Yah, mungkin MRT Jakarta ini belum secanggih MRT negara tetangga. Untuk amannya, tap kartu harus dilakukan secara perlahan dan agak lama sekitar 2-3 detik. Semoga saja bunyi bip dari mesin gerbang senantiasa terdengar.
Perjalanan malam dengan MRT ini pun berakhir di Halte MRT Senayan. Lagi-lagi, perasaan kagum menyeruak tatkala menyaksikan trotoar Jl. Sudirman yang lebar nan apik. Walaupun, ada rasa kecewa juga mengetahui pohon-pohon besar di Jl. Sudirman telah tiada.
Jadilah kini bertambah lagi alasan pulang ke Jakarta. Melampiaskan rindu kepada Bapak dan Ibu tercinta dengan menumpang Ratangga.
Perjalanan pulang ke “kota halaman” tidak pernah semenyenangkan dan secepat ini.
NIMBRUNG DI SINI
istri nih, pake ter-ter an segala?
hehe... :-)