Siapa pun orang yang pernah tinggal lama di Jogja pastilah pernah yang namanya makan soto. Termasuk pula para mahasiswa. #senyum.lebar
Dulu, pas masih jadi mahasiswa aku sering juga sarapan soto. Biasanya sih setelah jam kuliah pagi di warung soto yang dekat-dekat kampus karena nggak sempat sarapan di rumah.
Tapi, karena dulu akunya belum rajin keluyuran, jadinya ya hanya tahu perkara warung soto di seputaran kampus UGM thok. Nggak gaul banget lah dulu perkara soto-sotoan. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Nah, baru-baru ini, setelah punya istri yang jebolan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), aku jadi tahu soto-soto di dekat UNY yang sering disantap istri pas masih jadi mahasiswi. Salah satunya adalah Soto Rembang.
Konon katanya, Soto Rembang ini termasuk soto legendaris di UNY. Orang UNY pastilah pernah makan soto ini. Hmmm....
Pada hari Jumat (27/4/2018) silam, dengan dibimbing oleh Dwi si istri terlucyu #hoeks, mampirlah kami sarapan di warung Soto Rembang.
Arahnya dari Gang Guru lurus terus ke timur melewati kampus Fakultas Ilmu Sosial-nya Dwi. Terus belok masuk gang yang terletak persis di sebelahnya restoran Bebakaran. Habis itu nanti ketemu pertigaan yang banyak sepeda motor pelanggan Soto Rembang. Sampai deh. #senyum.lebar
Eh, karena letak warungnya di pinggir gang sempit, jadi ya parkirnya cuma muat untuk sepeda motor. Itu pun hanya bisa menampung belasan sepeda motor.
Sebelum bersantap di sini aku sudah lebih dahulu di-briefing Dwi. Soto Rembang ini bukan soto yang asalnya dari Rembang, Jawa Tengah. Kata rembang di sini diartikan Dwi sebagai singkatan dari remahan brambang alias remahan bawang merah. Tapi, di internet kata rembang katanya singkatan dari sarem brambang alias bawang merah asin.
Apa pun singkatan rembang yang dimaksud, pas semangkuk soto hadir di meja yang tampak mencolok memang adalah remahan bawang merah goreng. Pelengkap lain yang turut menyemarakkan soto adalah potongan daging ayam negeri, soun, serta kecambah.
Sebagai kawan pendamping menyantap Soto Rembang adalah tempe goreng. Tempe gorengnya berbalut tepung. Tapi kok ya agak kenyal pas digigit. Jadi menurutku membenamkan tempe goreng ke kuah soto adalah cara yang pas untuk menikmatinya.
Terus gimana rasanya Soto Rembang?
Menurutku sih, rasa Soto Rembang agak kurang gurih. Tapi, dengan menambahkan sejumput garam dan kecap manis yang disediakan di atas meja, rasa gurih soto bisa terdongkrak sedikit.
Mungkin karena konsumen utamanya adalah golongan berkantong cekak #hehehe, jadinya soto ini terkecap minim bumbu. Yang penting semangkuk Soto Rembang itu menyegarkan sekaligus mengenyangkan #senyum.lebar. Bisa-bisa habis makan malah ngantuk, hehehe. #hehehe
Sambil makan, tak lupa kami mengobrol. Aku ingin tahu seperti apa warung Soto Rembang di masa lampau.
“Kamu dulu seangkatan pernah menjajah tempat ini Wi?” tanyaku ke Dwi yang asyik mengunyah cuilan tempe goreng.
“Pernah. Tapi nggak seangkatan juga. Makan ramai-ramai empat meja besar,” jawabnya sambil pandangannya mengarah ke meja di sisi timur.
“Dulu apa ya warung sotonya bentuknya seperti ini?” tanyaku penasaran.
“Iya, sama seperti ini,” jawab Dwi. “Bedanya, dulu bangunan depannya tempat parkir motor itu belum ada. Di sana dulu itu tanah kosong, ada gubuknya. Kalau pas lagi ramai makannya gelar tikar di sana itu.”
Pas tadi sebelum belok masuk ke parkiran warung sempat terlihat penampakan tiga orang mahasiswi makan soto di pos ronda. Jadi bisa membayangkan lah, seperti apa penampakan warung ini pas dibanjiri pelanggan. #senyum.lebar
Kesimpulannya?
Untuk harga semangkuk soto Rp7.500, tempe goreng Rp500 per potong, dan es jeruk Rp2.500 per gelas, Soto Rembang memang akan tetap menjadi pilihan kuliner mahasiswa yang murah dan mengenyangkan.
Selama UNY masih berdiri, warung Soto Rembang nggak bakal gulung tikar. #senyum.lebar
Oh iya, pas malam hari warung Soto Rembang berubah menjadi warung bakmi lho!
bakal gak pernah tau warung ini seumur hidup
Zamanku kuliah belum pernah makan di sini...