HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Siapkan Semangat! Nyepeda PEKOK ke Puncak Suroloyo!

Jumat, 20 Juli 2018, 03:00 WIB

Apa itu Puncak Suroloyo?

 

Puncak Suroloyo adalah puncak (yang konon) tertinggi di Perbukitan Menoreh. Tempat ini terletak di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta yang berbatasan dengan Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

 

Bagi para peminat laku kebatinan, Puncak Suroloyo terkenal sebagai tempat keramat. Konon, di tempat ini Sultan Agung mendapat wangsit untuk menjadi raja tanah Jawa. Nggak hanya itu, Puncak Suroloyo juga dikenal sebagai singgasana dari Batara Guru, sang maha dewa dalam dunia mitologi Jawa.

 

Oleh sebab itu, nggak heran jika banyak pesemadi memfavoritkan Puncak Suroloyo. Ibaratnya, jika seseorang ingin berkomunikasi lebih intim dengan Zat Yang Maha Esa, maka Puncak Suroloyo adalah tempat yang tepat.

 

 

Tak hanya identik sebagai tempat yang sakral dan keramat, Puncak Suroloyo pun memiliki tempat yang spesial di hati para pesepeda yang tak pernah puas dengan segala macam tanjakan jahanam di Yogyakarta #takabur. Itu ya tidak lain karena Puncak Suroloyo kan menyandang gelar sebagai puncak (yang konon #hehehe) tertinggi di Perbukitan Menoreh. #hehehe

 

Barangkali, sang maha dewa akan tergoda turun dari singgasananya ketika melihat seseorang manusia bersepeda ke Puncak Suroloyo. Barangkali, sang maha dewa akan menampakkan dirinya dan mengagetkan si pesepeda dengan pertanyaan,

 

“Karepmu opo kurang gawean ngepit tekan kene? Mesti kesel toh?” #senyum.lebar

 

Mari ber-PEKOK Ria ke Puncak Suroloyo!

Seperti yang sudah-sudah, jika menyinggung kawan kegiatan bersepeda PEKOK yang senantiasa berpakem, “ngepit adoh kurang gawean: mangkate isuk, mulehe wengi”, maka manusia yang pas untuk diajak bertualang nggak lain dan nggak bukan adalah Mbah Gundul. #senyum.lebar

 

Kata Mbah Gundul, dirinya sudah bolak-balik ke Puncak Suroloyo. Sebetulnya, dulu tahun 2009 aku juga sudah pernah ke Puncak Suroloyo. Tapi, dulu itu aku ke Puncak Suroloyo dibonceng naik sepeda motor. Karena sudah 8 tahun yang lalu, aku pun lupa jalan menuju ke sana.

 

Nah, karena itu kenapa nggak diulang ke Puncak Suroloyo lagi?

 

Tentunya ke sananya pakai sepeda dong! #senyum.lebar

 

 

Berangkat pukul setengah tujuh pagi dari Tugu Pal Putih, Mbah Gundul sebagai pemandu arah memilih rute berangkat ke Kulon Progo dengan menyusuri Selokan Mataram sisi barat. Jika dibandingkan Jl. Godean atau Jl. Kebon Agung, jalan Selokan Mataram sisi barat memang lebih sepi kendaraan.

 

Gusti Allah SWT sepertinya meridai kegiatan bersepeda kami berdua pada hari Rabu (17/5/2017) ini. Buktinya, langitnya cerah pakai BANGET! Jangankan bulan, lha wong Gunung Merapi, Merbabu, dan Sumbing saja kelihatan jelas kok.

 

Hmmm... benar-benar cuaca yang sangat-sangat ciamik buat bersepeda dan motret. #senyum.lebar

 

 

Di tengah perjalanan aku sempat memotret empat orang bocah yang berenang di Selokan Mataram. Waw, berani juga mereka main air di sana ya? Untung saja sejauh ini nggak pernah ada cerita buaya yang hidup di Selokan Mataram. Kalau cerita mistis sih banyak. #hehehe

 

Aku nggak lama-lama berhenti buat motret. Soalnya, nanti pasti ditinggal Mbah Gundul. #hehehe

 

 

Perjalanan menyusuri Selokan Mataram sisi barat akhirnya berujung di perbatasan wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sekitar pukul setengah sembilan pagi, kami tiba di Jembatan Duwet. Jembatan antik ini adalah penghubung wilayah Kulon Progo dengan Magelang.

 

Sebelum menyeberangi jembatan, kami sempat berhenti sarapan. Di dekat Jembatan Duwet ada seorang simbah putri yang menjajakan nasi dan lauk-pauknya di muka rumah. Cerita tentang simbah putri ini bisa disimak pada artikel di bawah.

 

 

 

Perut sudah terisi. Tenaga sudah kembali penuh. Saatnya melanjutkan perjalanan! #senyum.lebar

 

Kata Mbah Gundul, cabang jalan ke Puncak Suroloyo itu ada banyak. Sepanjang jalan aku menebak-nebak cabang jalan mana yang bakal Simbah pilih.

 

Setiap kali terlihat cabang jalan di ruas Jl. Raya Kalibawang – Ngluwar yang mengarah ke Perbukitan Menoreh, aku selalu bertanya ke Mbah Gundul apakah itu cabang jalan yang dipilih. Tapi, Mbah Gundul selalu bilang bukan. #doh

 

 

Eh, jebul ternyata Mbah Gundul memilih cabang jalan yang bermuara di sebelah Rest Area Pasar Bendo. Tentu untuk ke sana terlebih dahulu harus melibas tanjakan Bendo yang legendaris. #hehehe

 

Kenapa legendaris? Itu karena tanjakan Bendo adalah tanjakan jahanam pertama yang aku temui pada waktu awal-awal bersepeda tahun 2009 silam. #senyum.lebar

 

 

Jikalau berpatokan pada keterangan di papan arah yang berdiri tegak di seberang Rest Area Pasar Bendo, jarak menuju Puncak Suroloyo “hanya tinggal” 8 km lagi. Pikirku, 8 km itu nggak jauh. Lha wong sehari-hari aku masih rajin bersepeda dari rumah ke Sarang Penyamun yang sekali pergi total jaraknya 7 km lebih kok? #hehehe

 

Delapan kilometer itu kan “cuma” 7 km ditambah 1 km yang nggak berasa. #hehehe

 

Tapi, baru beberapa puluh meter masuk ke cabang jalan dari jalan raya, Mbah Gundul mengucapkan informasi penting,

 

“Habis ini jalannya mulai nanjak banget lho!”

 

GLEK!

 

Kalau begitu berhenti dulu barang sebentar ya Mbah! Aku mau menyiapkan mental nanjak dulu. #hehehe

 

Kok ya cobaan datangnya secepat ini sih? #hehehe

 

 

Rentetan Tanjakan Jahanam Menuju Puncak Suroloyo

Pukul sembilan pagi lebih sedikit, dimulailah agenda utama PEKOK bulan April 2017, yaitu bersepeda nanjak ke Puncak Suroloyo! #senyum.lebar

 

Aku blas sama sekali nggak tahu securam apa tanjakan ke Puncak Suroloyo. Apalagi tadi Mbah Gundul bilang kalau bakal nanjak banget. Alhasil, satu-satunya penyemangatku bersepeda nanjak yang medannya nggak aku ketahui ini hanyalah keterangan jarak 8 km di papan arah di seberang Rest Area Pasar Bendo tadi.

 

 

Jebul ternyata, tanjakannya sudah curam sejak awal! Wah, konyol ini! Karena itu ya seperti biasa, proteslah mulut ini di sepanjang tanjakan. #hehehe

 

Mbah Gundul berdalih bahwa dirinya sudah memilihkan rute ke Puncak Suroloyo dengan tanjakan yang “manusiawi” alias ramah dengkul. Lha, tapi menurutku kemiringannya nggak jauh beda dengan ruas Jl. Kaliurang km 16 mendekati Pasar Pakem. #hehehe

 

Alhamdulillah di sepanjang jalan banyak tempat istirahat. Setelah setengah jam nanjak, yaitu sekitar pukul setengah 10 siang, kami istirahat sejenak di Embung Banjaroya. Ceritanya bisa disimak pada artikel di bawah ini.

 

 

 

Selang setengah jam kemudian, yaitu sekitar pukul 10 siang, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Jalannya tetap jalan beraspal yang masih menanjak. Syukurnya pula jalan aspalnya mulus, nggak serusak jalan penderitaan ke Laut Bekah atau Pantai Timang. #hehehe

 

Beberapa menit kemudian kami pun tiba di suatu pertigaan yang bernama Pertigaan (Dusun) Bolon. Di sini jalan bercabang tiga, menuju Sendangsono, Dlinseng, dan Puncak Suroloyo.

 

Di Pertigaan Bolon inilah semangatku menanjak menjadi agak surut saat melihat tulisan di papan arah yang disponsori Indomie. Di papan itu tertulis jarak ke Puncak Suroloyo MASIH 10 KM LAGI!

 

HAH!?

 

 

HADUUUH!

 

Jadi HOAKS dong itu jarak 8 km yang tadi tertulis di papan arah di seberangnya Rest Area Bendo!?

 

Modyar! Modyaar! Modyaaar! Mana jalannya masih nanjak pula....

 

Istimewanya lagi, selang beberapa puluh meter setelah mengambil cabang arah ke Puncak Suroloyo, rambu kuning berikut datang menyambut....

 

 

Pelan-pelan, serpihan-serpihan semangat yang jatuh berceceran itu kembali dikumpulkan. Semangat untuk tetap maju harus tetap digelorakan. Terlalu sering berhenti walaupun fisik masih kuat sedikit-banyak membuat semangat memudar.

 

Di tengah kepayahan bersepeda melewati jalan yang menanjak ini, suara-suara tak berwujud datang silih berganti, mengiang di sanubari,

 

Piye? Wis kapok urung? Penak nyerah wae toh? #hehehe

 

Kok yo kurang gawean tenan dirimu ngepit tekan Suroloyo?
Uripmu ki cen selo banget po piye?
#hehehe

 

Tapi ya bukan seorang Wijna namanya kalau di tengah ke-PEKOK-an ini balik mundur. #hehehe

 

Tetap maju dong walaupun jalannya semakin nanjak! #hehehe

 

 

Dusun Bolon sepertinya adalah tempat yang pas untuk menenangkan diri sebelum menghadapi serangkaian tanjakan ke Puncak Suroloyo. Kalau mau menimbun perbekalan, di Dusun Bolon ada sejumlah warung.

 

Suasana di pinggir jalan didominasi pemandangan hutan dan semak setelah masuk ke Dusun Tanjung, Wonotawang dan Madigondo. Sesekali, rumah-rumah warga masih terlihat. Termasuk juga warung dan pos ronda. Tapi, ya tetap lebih banyak didominasi pemandangan hutan dan semak-semaknya.

 

Biasanya, suasana sepi dengan jalan menanjak seperti ini adalah duet maut yang melemahkan semangat bersepeda. Untungnya, kali ini bersepedanya nggak sendirian. Untungnya pula, Mbah Gundul mau direpoti menunggui aku yang banyak minta berhenti istirahat dan juga banyak “mengoceh” pas melihat tanjakan curam. #hehehe

 

 

Tempat istirahat menarik lain di tengah jalan yang menanjak ini adalah Curug Watu Jengger. Cabang jalan menuju Curug Watu Jengger terletak di pertigaan sebelum Warung Kopi Menoreh Mbak Mar.

 

Berhubung sudah jauh-jauh bersepeda sampai di sini, kami pun menyambangi Curug Watu Jengger. Tiba di lokasi sekitar pukul 11 siang kurang beberapa belas menit. Sekitar satu jam kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan.

 

Cerita tentang Curug Watu Jengger bisa disimak pada artikel di bawah. #senyum

 

 

 

Di bawah matahari yang semakin lama semakin terik, kami pun melanjutkan bersepeda menghabiskan setengah jarak yang tersisa ke Puncak Suroloyo. Menurut keterangan di papan arah, Puncak Suroloyo tinggal berjarak 5 km lagi. Medan jalan masih tetap (dan semakin #hehehe) menanjak.

 

Di tengah jalan, kami sempat melihat papan tempat wisata yang bernama Watu Tekek. Tapi, karena hari sudah semakin siang dan tenaga semakin menipis, kami nggak mampir dan tetap melanjutkan perjalanan menuju Puncak Suroloyo.

 

 

Selain papan tempat wisata Watu Tekek, di tengah jalan terlihat pula sejumlah warga yang sedang menjemur biji-biji kopi. Kalau nggak di halaman rumah, ya biji-biji kopinya dijemur di pinggir jalan.

 

Beberapa anak kecil juga mulai menampakkan batang hidungnya. Mereka duduk bermain di pinggir jalan dan menyapa kami yang lewat. Ini adalah hal yang cukup memberi keceriaan di tengah perjuangan melintasi jalan menanjak. #senyum.lebar

 

 

Sedari awal, aku bersepeda dengan perasaan yang agak was-was. Soalnya, Mbah Gundul bilang ada beberapa tanjakan yang nanjak banget. Mana dirinya nggak ingat pula letak dan berapa jumlah tanjakannya. Hadeh.... #hehehe

 

Tapi aku sendiri sudah nggak mau ngoyo. Semenjak kembali dari Curug Watu Jengger (yang ternyata ke sananya juga menguras tenaga #hehehe) aku pun turut kembali ke kebiasaan lama, yaitu menuntun sepeda di tanjakan. Terutama tanjakan yang kemiringannya susah dinalar dengkul dan betis, hahaha. #senyum.lebar

 

Sedangkan Mbah Gundul seperti biasa. Dirinya sangat gagah perkakas bersepeda nanjak tanpa berhenti-berhenti dan meneteskan keringat. Luar binasa sekali.... #hehehe

 

 

Semakin mendekati puncak, hembusan udara dingin Perbukitan Menoreh seakan bersaing sengit dengan pancaran terik matahari. Aku pun semakin “mengoceh” nggak karu-karuan, tanda mulai stres menghadapi rentetan tanjakan terjal yang seakan tak berujung. Banyak menuntun sepeda dan lama berhenti pun kian tak terelakkan. #hehehe

 

Seiring dengan itu, pikiranku mulai digentayangi beragam jenis minuman yang rasa-rasanya sangat nikmat diteguk seusai bersepeda nanjak. Pingin es campur. Pingin es jeruk. Pingin es teh. Ah, sebetulnya diberi air putih rebusan ceret pun aku terima dengan senang hati. #hehehe

 

Untungnya, tanda-tanda keberadaan Puncak Suroloyo mulai bermunculan. Tanda yang paling jelas adalah penampakan Gunung Kendil. Dari sini jarak ke Puncak Suroloyo paling ya hanya sekitar 1 km lagi. Setelah melewati Gunung Kendil terlihat pos tiket masuk (yang sepi) dan jejeran warung-warung.

 

 

Akhirnya! Puncak Suroloyo!

Akhirnya... akhirnya… akhirnya!

 

Pukul setengah dua siang, kami tiba di kawasan Puncak Suroloyo! Perjuangan bersepeda nanjak sejauh 10 km (sepertinya malah lebih jauh deh #hehehe) akhirnya selesai juga! Alhamdulillah!

 

 

Demi membungkam mulutku yang mengoceh kelaparan, Mbah Gundul mengajak aku ke warung kopi Suroloyo-nya Mas Win di dekat patung Punakawan (yang katanya ada jin penunggunya #mistis). Di sana, segelas teh hangat akhirnya menjadi minuman pelampiasan. Tapi, karena masih panasss jadinya nggak bisa langsung diminum. Hiks....

 

Sudah dapat minum, tapi belum dapat makan. Eh, jebul ternyata warung kopi Suroloyo-nya Mas Win nggak menyediakan makanan berat. Tapi, kemudian Mas Win menawarkan mie instan rebus dicampur telur. Jelas tawaran menarik itu nggak aku sia-siakan! #senyum.lebar

 

Aaah… terima kasih Gusti Allah SWT! Segala puji aku panjatkan kepada-Mu untuk nikmat semangkuk mie instan rebus dicampur telur dan segelas teh panas Menoreh. #senyum.lebar

 

Hmmm... syedappp! Nikmat Tuhanmu mana yang bakal kamu dustakan? #senyum.lebar

 

 

Kurang afdal rasanya sudah capek-capek bersepeda ke Puncak Suroloyo tapi nggak benar-benar menyambangi puncaknya. Jadi, aku pun meninggalkan Mbah Gundul yang masih asyik bercengkrama di warung dan meniti ratusan anak tangga ke Puncak Suroloyo.

 

Hadeh… capek kuadrat kalau begini ceritanya. #hehehe

 

 

Setibanya di puncak, aku terpesona dengan sajian pemandangan indah. Di sisi timur laut terhampar pemandangan indah hijaunya persawahan. Sedangkan di sisi barat, tersaji pemandangan hijaunya gugusan Perbukitan Menoreh. #senyum.lebar

 

Eh, rupanya Candi Borobudur juga kelihatan lho dari Puncak Suroloyo! Bangunan purbakala ini memang agak sulit dilihat mata dari kejauhan. Tapi, dengan bantuan lensa kamera yang panjangnya 200 mm hingga 300 mm, Candi Borobudur dapat diamati lebih jelas. Untuk mengetahui letak Candi Borobudur, cari saja atap berwarna biru muda yang merupakan atap kios-kios suvenir di pintu keluar candi. #senyum

 

Sayang, aku nggak bisa bebas mengamati pemandangan dari Puncak Suroloyo karena ada seorang bapak-bapak yang sedang “menjajah” pendopo sebagai tempat semadi. Masak aku ya wira-wiri motret pemandangan di depan si bapak? Kan ya nggak sopan sekali? #hehehe

 

 

“Wis! Cukup! Kowe meh nggolek opo meneh?”

 

Suara nggak berwujud itu mengiang kembali di sanubariku. Aku pun tersenyum. Tanjakan mana lagi di Yogyakarta yang lebih tinggi dari tanjakan ke Puncak Suroloyo? Sepertinya, ini pencapaian tertinggiku setelah sekian tahun lamanya bersepeda di Yogyakarta. #senyum.lebar

 

Hanya tanjakan ke Puncak Suroloyo lah yang bisa membuat kedua kakiku gemetaran pas beristirahat di warung kopi Suroloyo-nya Mas Win. Eh, mungkin gemetarannya karena lapar belum makan? #hehehe

 

Yang jelas, bersepeda ke Puncak Suroloyo sangat tidak dianjurkan bagi para pesepeda pemula. Soalnya, ya harus siap menghadapi rentetan tanjakan terjal dengan panjang belasan kilometer. Selain itu kondisi sepeda harus dipastikan siap dipakai menanjak.

 

Tapi, andaikan menyerah di tengah jalan ya nggak apa-apa kok. Kan jalan pulangnya jadi turunan panjang, hehehe. #hehehe

 

 

Kami baru turun dari Puncak Suroloyo sekitar pukul 4 sore dan tiba kembali di rumah tercinta pukul 8 malam. Pulangnya sore karena di kawasan Puncak Suroloyo, Mbah Gundul ngajak aku keliling-keliling buat menuntaskan misi khususnya. #hehehe

 

Hadeh si Mbah....

NIMBRUNG DI SINI