Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Terkadang, kita gagal pada kesempatan pertama. Tapi, ndilalah-nya sukses pada kesempatan kedua. #senyum
Ketika gagal, boleh jadi kita lantas terpuruk. Akan tetapi, setelah menenangkan hati dan berdamai dengan diri sendiri, terlantunlah seucap dua ucap doa dari mulut atau dari hati.
Doa yang mengandung kata “... semoga ...”. Yang kita panjatkan kepada Sang Khalik. Yang memohon agar sekiranya kita menjadi lebih baik dari kegagalan ini. #senyum
Demikian pula dengan seorang Wijna. Pada medio tahun 2014 silam, seorang Wijna ditakdirkan gagal menikmati matahari terbit dari puncak Bukit Sikunir. Padahal, perjuangan menuju ke sana benar-benar luar binasa! #senyum.lebar
Eh, atau boleh dibilang kurang gawean (kurang kerjaan) sih.... #hehehe
Cerita lebih lengkapnya silakan Pembaca klik tautan di bawah ini saja deh ya!
Nuwun! #senyum.lebar
Subuh Berkawan Dingin di Desa Sembungan
Pada tahun 2016, Gusti Allah SWT ternyata punya kehendak lain. #senyum
Hari Rabu (3/8/2016) pukul setengah 5 pagi, aku sudah terjaga dari tidur yang nggak begitu nyenyak di homestay-nya Mas Udin di Desa Sembungan di kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Tidurku nggak nyenyak bukan karena tempat tidurnya lho! Melainkan karena dari dulu sampai sekarang, hawa di Dieng pas menjelang subuh itu DINGIN BANGET! Jadinya aku sering kebangun-bangun deh. #sedih
Demi menghalau hawa dingin, aku lantas merapat ke tungku (anglo) yang semalam diletakkan Mas Udin di ruang tengah. Tapi sayang, ternyata bara apinya sudah mati! Ya wajar sih, soalnya arang di tungku yang menyala semalam suntuk ini nggak pernah di-refill. #hehehe
Walaupun gagal menghangatkan badan dengan tungku, untung teh di termos masih hangat. Lumayan lah ada yang bisa bikin hangat tubuh selain jaket, topi kupluk, sarung tangan, kaos kaki, dan selimut tebal. #hehehe
Saat aku sedang menyesapi segelas teh hangat dari termos, tiba-tiba terdengar suara dari belakang,
“Lho, Mas? Sudah bangun?”
Mas Udin masuk ke ruang tengah. Dirinya kaget mendapati aku sudah melek. Dimas sendiri masih terlelap di kamar. Aku duga sepertinya Mas Udin berbaik hati ingin membangunkan kedua tamunya supaya nggak telat menikmati pesona fajar dari Bukit Sikunir.
“Iya e Mas, dingin, jadinya kebangun-bangun terus,” jawabku sambil menahan dingin.
“Hahaha, padahal ini masih kalah dingin dari pagi kemarin lho Mas!”
Waduh! Masih ada pagi yang lebih dingin lagi di Dieng!?
SILAKAN DIBACA
Suara azan subuh yang mengalun dari musala memecah obrolan ringan pada pagi buta itu. Mas Udin sepertinya hendak bersiap menunaikan salat subuh berjamaah.
“Kalau salat subuh dulu, masih keburu nggak Mas dapat sunrise-nya?” tanyaku sambil beranjak berdiri.
“Masih, masih,” jawab Mas Udin yakin.
“Yo wis, ayo subuhan dulu!”
Sebelum aku dan Mas Udin berangkat ke musala, aku sempat masuk kamar dan membangunkan Dimas. Ah, coba lemakku sebanyak Dimas, mungkin aku bakal lebih tahan dingin dan tidurku bakal jadi lebih nyenyak, hahaha. #senyum.lebar
Omong-omong, salat subuh di musala Desa Sembungan dengan hanya berkaos katun sepertinya bukan pilihan yang tepat! Hawa di dalam musala ternyata nggak lebih hangat dari di homestay! Sama-sama DINGIN! Apalagi sehabis berwudu! DINGIN BANGET! #nasib
Para jamaah pria umumnya salat subuh dengan kostum jaket, syal, dan bahkan kaos kaki! Sedangkan aku pingin rasanya salat subuh sambil kemulan selimut. Lha ya masak salat sambil memeluk anglo kan ya nggak mungkin toh? #hehehe
Kalau di Jogja perjuangan buat bangun salat subuh itu berat. Maka di Dieng perjuangan salat subuhnya lebih berat lagi! Tapi buatku, mau itu salat subuh di Jogja kek atau di Dieng kek, tetap saja selalu berhiaskan adegan ingus meler di tengah-tengah rakaat, hahaha. #senyum.lebar
Demi Cercah Surya di Ufuk Timur
Tepat pukul 5 pagi, aku dan Dimas berangkat ke Bukit Sikunir. Berhubung jarak homestay dan Bukit Sikunir terbilang dekat, kami pun memutuskan ke sana dengan berjalan kaki.
Mas Udin nggak ikut menemani karena dirinya yakin aku sudah tahu jalan menuju Bukit Sikunir. Ya mana mungkin nyasar? Lha wong jalan dari Desa Sembungan ke Bukit Sikunir kan hanya ada satu, yaitu ruas jalan utama desa. #hehehe
“Ini langitnya cerah, semoga di sana nanti dapat sunrise.”
Ucapan Mas Udin itu memompa semangatku untuk bergegas mendaki Bukit Sikunir. Gemintang yang berpendar memudar turut mengiringi langkah. Suasana sepi nan syahdu ini sangat-sangat berbeda dengan kunjunganku pada tahun 2014 silam. Pada waktu itu, jalan yang aku tapaki ini ramainya mirip pasar!
Jam menunjukkan pukul 5 lebih 15 menit ketika aku dan Dimas tiba di dasar jalur pendakian menuju puncak Bukit Sikunir. Aku agak kaget melihat belasan mobil dan puluhan sepeda motor yang terparkir. Meskipun pada hari kerja, rupanya pengunjung Bukit Sikunir ini banyak juga ya? Padahal kan tempatnya jauh. #hehehe
Alhamdulillah, medan jalan pendakian menuju puncak Bukit Sikunir sudah tertata apik. Ruas jalan di awal jalur pendakian diperkokoh dengan paving block. Sedangkan ruas jalan sisanya berwujud jalan berundak yang diperkokoh dengan batu cadas.
Walau demikian, tetap dibutuhkan kehati-hatian dan kewaspadaan ketika mendaki Bukit Sikunir. Terlebih di pagi buta seperti ini karena kondisinya GELAP GULITA. Jadi, pengunjung yang hendak berburu sunrise sangat disarankan membawa alat penerangan seperti senter.
Untungnya, di sepanjang jalur pendakian juga sudah diberi pengaman berupa pagar kayu dan tali pembatas. Seenggaknya resiko musibah tergelincir ke jurang sudah diminimalisir. #senyum
Butuh waktu sekitar 10 menit berjalan kaki dari dasar Bukit Sikunir hingga tiba di lokasi pengamatan matahari terbit. Aku sendiri lumayan ngos-ngosan saat sampai di atas. Capek juga meniti ratusan anak tangga! Hawanya dingin pula! Wew....
Sesuai prediksiku, di lokasi sudah berkumpul puluhan pengunjung. Jelas mereka menanti kemunculan sang surya. #senyum.lebar
Sesuai prediksi pula, pengunjung didominasi oleh muda-mudi di kisaran usia 20-an tahun. Lha, tempat-tempat yang menyajikan pemandangan indah dengan medan yang menguras tenaga semacam ini kan hits-nya di kalangan anak-anak muda toh? #hehehe
Menyinggung perkara pemandangan indah, ternyata pemandangan sunrise di puncak Bukit Sikunir pada pagi hari itu nggak indah-indah amat. Penyebabnya? Langitnya agak MENDUNG! Sang surya yang semestinya terlihat bulat ceria justru bersembunyi di balik mega. #sedih
Tapi ya patut disyukuri juga karena di pagi hari itu keindahan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing tampak jelas terlihat mata. Subhanallah! #senyum.lebar
“Lha, dulu kamu berdoanya supaya bisa kesampaian melihat sunrise di Puncak Sikunir kan?
Bukan melihat sunrise pas langitnya cerah toh?”
Bisikan yang terdengar dari hati itu seakan-akan adalah candaan dari Gusti Allah SWT atas doa yang aku panjatkan 2 tahun silam.
Sekali lagi ya tetap Alhamdulillah. #senyum.lebar
Sisi Lain dengan Pemandangan Memesona
“Mas, apa betul ini puncak yang paling tinggi?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang mas mahasiswa kepadaku itu membuatku ikut bertanya-tanya di dalam hati,
"Memangnya tempatku menonton matahari terbit sekarang ini bukan puncak tertinggi di Bukit Sikunir ya?"
Berhubung aku juga baru pertama kali menjejakkan kaki di Bukit Sikunir dan karena di sepanjang jalur pendakian nggak ada petunjuk jalan yang menyinggung-nyinggung lokasi puncak, alhasil aku jawab saja pertanyaan si mas mahasiswa itu dengan jawaban,
“Kayaknya sih iya. Itu orang-orang ngumpulnya pada di sini.”
Dari raut wajahnya aku yakin si mas mahasiswa kurang begitu puas dengan jawabanku. Demikian pula dengan aku yang mulai terusik rasa penasaran akan puncak tertinggi di Bukit Sikunir.
Eh, memangnya puncaknya bukan ini ya?
Sekitar pukul 6 lebih 15 menit, aku dan Dimas undur diri dari tempat melihat sunrise. Matahari sudah semakin meninggi. Kondisinya sudah nggak ideal lagi buat memotret momen matahari terbit. Pada saat itulah aku mulai bisa jelas mengamati suasana di sekitar lokasi.
“Lha itu ada musala Wis! Tadi mestinya bisa subuhan di sana!” tunjuk Dimas.
Betul juga. Rupanya ada musala di atas Bukit Sikunir (lengkap dengan toilet). Ndilalah, di dekat musala aku lihat ada seorang mas-mas yang sedang membenahi sesuatu. Sepertinya si mas tersebut warga lokal. Jadi, aku hampiri dirinya dan bertanya perihal puncak tertinggi Bukit Sikunir.
“Mas, ini puncak tertingginya Sikunir di mana ya?”
“Di sana Mas. Masih nanjak lagi,” kata si mas warga sambil menunjuk jalan setapak yang mengarah masuk ke hutan.
Hooo, rupa-rupanya di sana masih ada jalan toh? Tadi pagi gelap sih. Karena hanya bermodal senter, jadinya jalan tanah ke hutan ini luput dari pandangan deh.
“Dim, naik ke puncak ternyata masih ke sana lagi,” aku memberitahu Dimas.
“Ya udah yuk sekalian aja! Mumpung udah sampai sini,” ajak Dimas.
Perjalanan mendaki ke puncak tertinggi Bukit Sikunir ini nggak terlampau berat dan juga nggak terlampau jauh. Sambil diselingi obrolan perihal kuliah dan jodoh #haisy akhirnya kami sampai juga di lokasi. Ya, sekitar 10 menit jalan kaki lah.
Ternyata, puncak tertinggi Bukit Sikunir ini lebih ramai dibanding lokasi menonton sunrise barusan. Mungkin karena di sekitar sini banyak pengunjung yang berkemah. Soalnya, di beberapa titik aku perhatikan ada tenda-tenda. Bagi pengunjung yang tertarik berkemah di Bukit Sikunir sepertinya lokasinya ya di sini ini.
Soal pemandangannya, ya karena ini puncak tertinggi jadinya pemandangan yang tersaji pun lebih luas. Nggak ada pohon-pohon yang sekiranya menghalangi sapuan mata dan mengganggu komposisi foto. #senang
Terlebih lagi, area puncak tertinggi Bukit Sikunir ini luas. Alhasil, pengunjung bisa lebih bebas memilih sudut-sudut untuk menikmati pemandangan. Tapi, mungkin kalau pas musimnya banyak orang camping ya semua sudut di sini bakalan padat dan sesak juga. #hehehe
Objek indah yang menyita perhatian adalah keanggunan Gunung Sindoro. Rasa-rasanya, Gunung Sindoro hanya berjarak sepelemparan batu dari Bukit Sikunir. Padahal, kalau ditarik garis lurus mungkin jarak sekitar 10 km ya ada. #senyum.lebar
Objek yang nggak kalah menarik adalah pemandangan bukit-bukit yang berhiaskan ladang-ladang warga. Umumnya warga berladang kentang di perbukitan dengan bentuk ladang yang berundak-undak.
Ada satu pemandangan yang amat sangat menyita perhatianku, yaitu pemandangan puncak bukit yang menyembul dari balik awan. Pemandangan ini buatku amat sangat mengagumkan. Aku jadi berpikir, mungkin pemandangan seperti inilah yang menginspirasi lagu Negeri di Awan-nya Katon Bagaskara yang liriknya seperti berikut.
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Di mana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kau bawa
Aku menuju ke sana
Aku tatap lekat “negeri di awan” yang ada di hadapanku.
Dalam hati aku berkali-kali mengucap syukur.
Bahwa Gusti Allah SWT menjawab doaku.
Dan membawaku menuju ke sana.
Alhamdulillah.
Subhanallah.
Doaku terjawab di puncak Bukit Sikunir. #senyum
Bagi yang Hendak Singgah di Bukit Sikunir
Seperti yang aku singgung di paragraf atas, Bukit Sikunir terletak lumayan jauh dari pusat hiruk-pikuk Dataran Tinggi Dieng di Desa Dieng Kulon. Jarak Bukit Sikunir dari ujung pertigaan Desa Dieng Kulon sekitar 8 km. Secara administratif, Bukit Sikunir terletak di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Bagi wisatawan yang tidak membawa kendaraan pribadi, untuk menuju Bukit Sikunir atau Desa Sembungan bisa dengan menyewa ojek di Pos Ojek Dieng Kulon. Tarif resminya di tahun 2014 itu Rp13.000.
Bagi Pembaca yang berniat menyaksikan sunrise dari puncak Bukit Sikunir aku sarankan menginap di Desa Sembungan karena jarak tempuhnya lebih dekat. Datanglah saat musim kemarau supaya langit pagi relatif bersih dari awan mendung, tidak berkabut, dan juga tidak hujan.
Apabila Pembaca ingin mengabadikan foto pesona matahari terbit dan belum pernah sama sekali ke Bukit Sikunir, aku sarankan Pembaca menghabiskan siang di Bukit Sikunir terlebih dahulu untuk memetakan mana saja sudut-sudut pengambilan foto yang dirasa elok. Terus terang, aku melihat ada banyak sudut-sudut menarik di Bukit Sikunir.
Oh iya, retribusi memasuki Bukit Sikunir sudah menjadi satu dengan retribusi memasuki kawasan Desa Sembungan. Pada tahun 2016, retribusi masuk ke Desa Sembungan adalah Rp10.000 per orang.
Menjelang pukul 7 pagi aku dan Dimas menyudahi kunjungan di Bukit Sikunir. “Pemanasan” sudah usai. Hari ini, agenda kami di Dieng masih panjaaang....
Yang cilaka justru kehilangan tripod satu hari sebelumnya. Akhirnya spotnya dipilih yang ada kayu-batu untuk sandaran kamera. Nasib ....
Nah, yang belum kesampaian itu moto milkyway di Dieng ato Sikunir ...
Dirimu beruntung berarti, ke Sikunir pada saat yang tepat.
Semoga dirimu dapat kesempatan ke Sikunir lagi, motret milkyway di sana tanpa mengorbankan tripod.
entah beruntung entah emang lagi pas
aja :D
Padahal hari sebelumnya pasti ujan.
melihat foto2 di blog ini (kurang adventurer nih :P). Itu biru langit gradasinya bagus banget,
pakai CPL ya Mas?
Padahal niat utamanya ya pingin liat sunrise. Iya bener, penentuan waktu yang tepat untuk ke sini itu penting.
Sepertinya aku juga perlu berdoa lagi biar terjawab suatu saat bisa ketemu sunrise Sikunir :) Aamiinkan