Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pada suatu siang, aku dipanggil sama Bapak yang sedang menonton televisi sambil ditemani Ibu yang sedang menyetrika. Kebetulan, pada waktu itu beliau-beliau ini sedang singgah di Jogja.
“Le, itu ada Sendang Ayu,” kata Bapak.
“Nggg? Rumah makan di Kalasan itu?” tanyaku balik.
“Bukan, itu sendang beneran.”
Aku perhatikan, yang terlihat di layar televisi memang tayangan yang menampilkan sendang alias mata air. Hooo... baru tahu aku Sendang Ayu itu ada mata airnya betulan. Tapi, aku cuma melihat tayangan itu sebentar karena ilfeel kalau kelamaan menyimak gerak-gerik sang presenter yang rodo lebay. #hehehe
Mencari Sendang Bareng Pakdhe Timin
Selepas itu, perkara Sendang Ayu pun terlupakan. Sampai akhirnya, nama Sendang Ayu kembali mencuat pada Minggu pagi (7/9/2015), saat Pakdhe Timin mengajak bersepeda di sekitaran Prambanan... tapi dirinya nggak tahu tujuannya mau ke mana!
Doh, Pakdhe! #hehehe
“Blusukan ke Sendang Ayu aja po Pakdhe?” tanyaku.
“Sendang Ayu rumah makan itu?” tanya Pakdhe Timin balik.
“Bukan, Sendang Ayu itu ada sendangnya betulan. Kayaknya ada di belakangnya rumah makan.”
“Hmmm, di utaranya itu ya?”
“Kok di utara Dhe?”
“Di selatannya kan Jalan Solo?”
“Oh iya ya” #hehehe
Singkat cerita, dari kediamannya Pakdhe Timin, kami berdua bersepeda menyusuri Jl. Raya Jogja – Solo sampai kemudian berhenti persis di seberangnya Rumah Makan Sendang Ayu. Semua warga Jogja yang sering bolak-balik Jl. Raya Jogja – Solo di sekitaran Prambanan pasti ngertilah rumah makan ini. Mungkin juga Pembaca sudah pernah mampir? #senyum.lebar
Di pinggir jalan raya itu kami menyapukan pandangan ke sekeliling Rumah Makan Sendang Ayu yang masih tutup. Kami bukan mau mencari celah untuk menyusup ke dalam rumah makan tanpa dipergoki oleh mbak-mbak pelayan yang sedang menyapu halaman lho ya! Tapi kami mencari-cari keberadaan pohon besar yang sekiranya kondusif sebagai sumber mata air Sendang Ayu. Asal Pembaca tahu, di seputar Jogja ini ada pakem yang menyatakan:
Pohon besar dan mata air adalah dua hal yang umumnya saling berkorelasi.
Setelah mencurigai satu pohon besar yang sekiranya berpotensi, kami pun lanjut memutar otak mencari rute menuju ke sana. Satu-satunya pilihan adalah melewati gang kecil di sampingnya masjid An-Nurumi alias "Masjid “Kremlin”-nya Kalasan yang tersohor dengan kubahnya yang berwarna-warni itu.
Eh, sekadar info, kalau pas bulan Ramadhan, takjil di Masjid An-Nurumi ini enak-enak lho! #hehehe
Lowrider Sang Penyelamat
Dari Rumah Makan Sendang Ayu, kami pun lanjut memutar balik arah demi blusukan di Dusun Candisari Bendan. Dusun ini adalah lokasi di mana masjid An-Nurumi berada. Jalan demi jalan kampung kami lewati guna mendekat ke pohon besar yang disasar.
Eh, tapi kok ya malah nyasar!? Doh! #hehehe
“Bu, nuwun sewu, njengan ngertos Sendang Ayu mboten Bu? Sanes rumah makan lho! Mata air,” aku bertanya ke seorang ibu yang kebetulan sedang stand-by di pekarangan rumahnya.
“Wah, jalannya lewat mana ya? Kalau dari sini nanti jalan kaki Mas. Tapi persisnya saya kurang tahu,” jawab si ibu ragu-ragu.
We, la, da, la...
“Aku ngerti Mas! Yoh, rene tak anter!” ujar suara kecil di dekat kami.
Hooo, rupanya suara kecil itu terlontar dari mulut seorang bocah kelas 3 SD bernama Rasya. Dia ini cucu dari ibu yang aku tanyai barusan. Kebetulan banget lah Rasya mengerti lokasi Sendang Ayu. Alhasil, kami pun meluncur menuju Sendang Ayu dengan dipandu Rasya yang juga menunggang sepeda.
Weh! Kecil-kecil anak sepeda juga dia... #hehehe
Ternyata, hanya sekitar 3 menit bersepeda dari rumah neneknya Rasya, kami pun tiba di Sendang Ayu. Di sana ada sejumlah ibu-ibu dan mbak-mbak yang sedang mencuci pakaian sambil ngerumpi (biasa lah ya #hehehe). Untung saja mereka nggak sekalian mencuci sambil mandi. Kan nanti kami jadi enak canggung. #hehehe
“Di sini sendangnya ada dua Mas. Yang satu lagi bisa dipakai buat berenang. Aku sering berenang di situ. Sini tak tunjukin,” ajak Rasya.
We e e e... menarik sekali omongan bocah cilik ini! Ayo kita selidiki! #senyum.lebar
Ada Sendang Lain yang Katanya Bisa Buat Berenang
Lagi-lagi, dengan dipandu Rasya, kami pun berjalan kaki melewati jalan setapak menuju sendang kedua yang katanya bisa dipakai buat berenang. Jadi penasaran, seluas apa sih sendang kedua ini?
Di sepanjang jalan setapak menuju sendang kedua, aku melihat banyak kolam ikan. Sepertinya, air yang mengalir dari Sendang Ayu turut dimanfaatkan warga untuk mengairi kolam-kolam ikan. Walaupun musim kemarau, air Sendang Ayu masih melimpah ruah.
Lagipula enak banget ya kalau punya kolam ikan dekat rumah? Bisa buat mancing sesuka hati, hahaha. #senyum.lebar
Jebul ternyata, sendang yang katanya Rasya bisa dipakai buat berenang itu nggak seluas Sendang Klangkapan atau Sendang Ngembel. Luasnya hanya sekitar 8 meter x 3 meter. Kedalamannya hanya sepahaku. Ya sekitar 1 meter kurang sedikit lah. Jelas untuk bocah setinggi Rasya, kedalaman sendang segini ini ya masih bisa dipakai buat berenang. Kalau yang nyemplung setinggi aku, paling ya cuma nyaris bikin sempak basah saja. #apa.sih
“Kalau mau berenang, berenang aja Mas. Nggak apa-apa kok. Enak kan buat basah-basahan? Kalau nggak itu ambilin tiga karet gelang yang ada di situ dong,” tunjuk Rasya ke arah karet-karet gelang di dasar sendang yang dekat dengan kakiku.
Ngapain juga bisa ada karet gelang di dasar sendang?
Ngapain juga aku mau-maunya nurutin Rasya ngambilin karet gelang?
Berhubung sudah setengah nyemplung ya hajar bleh! #senyum.lebar
Tapi “licik” juga si Rasya ini, hehehe #hehehe. Kalau aku membungkuk untuk mengambil karet gelang dengan tanganku, nanti bisa-bisa pakaianku basah semua. Untung aku sadar dan nggak terjebak omongannya, hahaha. #senyum.lebar
Jadi, aku pun mengandalkan jurus cengkeraman jari kaki buat ngambil karet-karet gelang yang diminta Rasya. Serasa praktek jurus kungfu kaki melingkar. #komik #kungfu.boy
Eh ternyata, selain karet gelang, di dalam sendang aku juga menemukan kunci sepeda motor lho! WAOW! Kira-kira apa lagi ini yang tersembunyi di dasar sendang ya? Jangan-jangan, kalau dasar pasirnya dikorek-korek aku bakal menemukan STNK atau bahkan sepeda motornya sekalian? #senyum.lebar
“Mas, tunggu di sini ya! Aku balik sebentar. Nanti aku berenang di sini,” kata Rasya lalu berlari meninggalkan kami.
Rasya sepertinya tergiur juga untuk nyemplung ke sendang setelah melihat aku nyemplung. Apa dia pulang minta ijin ke neneknya untuk ikut nyemplung ya?
Ah, whatever! Berhubung dari tadi aku nyemplung kan jadinya aku nggak bisa motret sendang yang nggak bernama ini. Aku lantas naik ke permukaan dan siap-siap untuk motret. Eh, tiba-tiba, tanpa ucapan permisi, tanpa ada sambaran petir, dan tanpa ada ba-bi-bu-be-bo ...
si bapak (yang ikut mejeng di foto atas) mendadak BUGIL!
WADUH! Untung saja sempat kepotret belum sempat motret. Bisa-bisa fotonya banyak sensor ini nanti. #hehehe
Membaca Aksara Jawa di Sendang Ayu
Karena situasi di sendang tak bernama sudah menjurus ke arah saru, aku dan Pakdhe Timin pun menyingkir ke Sendang Ayu. Kan tadi karena diajak Rasya jadinya juga belum sempat nguprek-uprek Sendang Ayu lebih jauh. Sekaligus juga nunggu Rasya balik lagi, karena sepeda lowrider-nya masih teronggok terparkir bersama sepeda-sepeda kami.
Yang mencolok dari Sendang Ayu ini sudah jelas adalah bangunan berbentuk gunungan yang ukurannya besar banget! Tingginya kira-kira sekitar 10 meter dengan lebar 4 meter. Awalnya, aku menerka bangunan ini dipahat dari batu andesit. Tapi ternyata cuma konstruksi batu bata dengan semen biasa.
Beh! Bukan peninggalan purbakala dong! Pemirsa kecewa! #hehehe
Pada permukaan gunungan terlihat adanya tiga baris tulisan beraksara Jawa. Berhubung aku blogger yang baik hati (hueks cuih!), aku mencoba membacakan ketiga baris tulisan itu untuk Pembaca sekalian. Mosok sebagai orang Jawa KW aku nggak bisa baca tulisan Jawa sih? Mau ditaruh di mana itu harga diri? #hehehe
Padahal ya pas membaca ini masih sering buka-buka buku Kawruh Pepak Basa Jawa, hahaha. #senyum.lebar
Tulisan Jawa yang paling atas itu adalah angka tahun, yaitu “1993”.
Tulisan Jawa yang di tengah dan yang paling besar sendiri, sudah jelas bisa ditebak dibacanya “Sendang Ayu” (tulisannya: Sendang Hayu).
Sedangkan tulsian Jawa terpanjang di paling bawah, dibaca “Wedha ning trusa harum manunggal”. Kira-kira artinya apa ya?
Berpindah ke belakang gunungan, kami menemukan benda yang nggak kalah menarik. Ada dua buah batu kecil, masing-masing disertai tulisan Jawa. Sayangnya, kondisi tulisannya sudah nggak begitu jelas.
Di batu bundar, aku menduga tulisan Jawanya berbunyi “sangpen”. Entah apa artinya.
Sementara itu, untuk batu berbentuk plakat segi empat, hanya baris teratas dan tengah yang masih bisa terbaca. Masing-masing berbunyi “hawya samar” dan “dunung nge”. Aku juga bingung apa artinya.
Eh, apa aku yang salah baca ya?
Kalau sekiranya Pembaca bisa membaca tulisan Jawa mbok aku dibantu, hehehe. #hehehe
Berbagai Pertanyaan yang Masih Jadi Misteri
Oh iya, Sendang Ayu ini termasuk sendang yang mistis lho. Di tempat ini ada bekas dupa dan juga sesajen. Selain itu, ada pula gulungan tikar.
Hmmm, sepertinya ada saja orang yang melakukan tirakat atau semadi di tempat ini. Menurut penuturan ibu yang sedang mencuci baju, Sendang Ayu ini pernah dipakai sebagai lokasi tayangan uji nyali salah satu acara televisi.
Weh! Semistis itukah Sendang Ayu? Tapi, kok ya warga pada masih bernyali untuk mencuci di sini ya? Apa mungkin pas siang dhemit-nya Sendang Ayu sedang istirahat? Jadinya aman dipakai untuk nyuci? Hahaha. #senyum.lebar
Kurang jelas juga asal-usul atau sejarahnya Sendang Ayu ini. Menurut si ibu, barangkali dengan mencuci wajah dengan air Sendang Ayu bisa membuat wajah menjadi cantik. Lha kalau buat cowok apa ya bisa bikin wajah jadi cantik juga ya? Hehehe. #hehehe
Hmmm, apa mungkin diberi nama Sendang Ayu karena dahulu sendang ini tempat mandinya seorang wanita berparas ayu? Soalnya, di dekat sumber mata air terdapat patung wanita yang membawa kendi. Patungnya sih jelas kelihatan buatan masa kini.
Selain patung wanita, di dasar sendang, dekat kaki patung, terdapat patung lain berbentuk semacam ikan lele. Apa hubungannya patung ikan lele dengan patung wanita itu juga masih tanda tanya. Benar-benar Sendang Ayu yang penuh misteri deh.
“Wis, kuwi ng patung e ono kodok!” tunjuk Pakdhe Timin sambil menunjuk ke ketiak patung.
Hooo? Apa jangan-jangan kodoknya itu jelmaan dari “penunggu” Sendang Ayu? Yang bilamana dicium nanti berubah jadi wanita berparas ayu? Hahaha. #senyum.lebar
Selang beberapa lama Rasya pun datang. Sepertinya dia nggak dapat izin untuk berenang di sendang. Dirinya pun berlalu bersama eyang kakungnya yang datang menjemput.
Berhubung semakin siang malah semakin banyak warga yang mencuci pakaian di Sendang Ayu, jadi sepertinya sudah nggak mungkin untuk memotret Sendang Ayu dengan kondisi yang sepi. Ah, ya sudah lah. Mending lanjut bersepeda saja dengan misi mencari sarapan di Prambanan.
Nah, buat Pembaca yang pernah bersantap di Rumah Makan Sendang Ayu, mungkin baru tahu juga kan kalau ada Sendang Ayu betulan yang tersembunyi dari popularitas rumah makan dan hiruk-pikuknya Jl. Raya Jogja – Solo? #senyum.lebar
Rasya ekpresinya lucu banget ih waktu nawarin jadi penunjuk arahnya, gemes.
((Bapaknya kok bugil gitu))
Mas, saru itu apa ya, saya tadi bingung mbacanya hihihi.
Sekarang banyak bermunculan komunitas-komunitas pencari atau pemburu curug... harusnya juga ada komunitas pemburu sendang... :D
BTW .. kemasan sendang-nya bener-bener mistis ... hiyyy
Spot penak dinggo kungkum, hihihi.
Wah dek Rasha pemandu sejati Mas hehe.... soalnya ijin dulu hehe... anak yang baik itu Mas...
Kalau gak ijin bukan ciri anak yang baik T.T Wah aku ikie hehe pizz
Btw, wong ndeso kok gak nduwe isin ya? Udo sak karepe dewe, hahahhaa.
Mungkin merga kebiasa wong sak desa wis dianggep sedulur e dewe, dadine ra isinan, hahaha. :D
Sampeyan kudune nunggu sik Mas. Jangan-jangan mbak-mbak yang pulang dari nyuci jadi ayu banget. :p
RM Sendang Ayu itu pemain lama. Jadi, promosinya paling sudah dari mulut ke mulut. Tapi, aku juga kalau nggak pernah diajak makan bareng rame-rame pas kuliah juga nggak bakal tahu ada apa di sana, hahaha. :D
Wah, mestinya nunggu dulu ya? Tapi kalau nanti dipelototin sama ibu-ibu yang mau nyuci kok ya gimanaaa gitu, wekekeke. :D