navigation

Sarapan Tanjakan, eh, Mie Ayam di Samigaluh

terbit Selasa, 8 Maret 2016, 05:59 WIB

Mie ayam ya mie ayam. Dalam bayanganku, mie ayam paling ya bentuknya gitu-gitu aja. Rasanya juga paling juga gitu-gitu aja. Jadi, nggak ada yang istimewa deh dari mie ayam pada umumnya.

 

Eh, mungkin yang bisa bikin mie ayam jadi (lebih) istimewa itu bukan penampilan maupun rasanya, melainkan juga lokasi dan perjuangan ke sananya. Seperti misal mie ayam yang dijajakan di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo? Yang jaraknya kalau ditarik garis belok-belok dari Kota Jogja ada sekitar 35 km dengan... ehm... 7 km di antaranya berwujud tanjakan jahanam....

 

Alasan di Balik Misi Mie Ayam Samigaluh

Oke. Jadi, misi bersepeda di hari Rabu pagi (20/12/2015) ini adalah nanjak ke Samigaluh, sarapan mie ayam, pulang. Selesai!

 

Lha kenapa bersepeda di hari Rabu? Ya karena pingin aja sekali-kali anti-mainstream bersepeda pas hari kerja, hahaha #senyum.lebar. Lagipula jadwal kerjaku kan "agak" fleksibel, alias bisa dialih jadwal dari tengah hari sampai tengah malam. Yaa setiap orang kan ya punya plus-minus dengan pekerjaannya sendiri-sendiri lah ya. #hehehe

 

Apalagi pas waktu itu aku juga lagi mumet sama kodingan kerjaan. Pagi-pagi langsung kerja ngoding rasanya kok nggak banget. Karena kodingan yang bikin mumet itu kalau dipikir sambil ngendog nggak juga membuahkan endog solusi. Jadi, kayaknya mungkin perlu aku pikirkan sambil... ehm... nanjak...

 

Lha terus kenapa mesti ke Samigaluh? Karena ya aku rasa pas saja. #hehehe

 

Tanjakan Samigaluh kan tergolong salah satu tanjakan jahanam nan legendaris di provinsi DI Yogyakarta. Jaraknya dari Kota Jogja ya lumayan “dekat” (bersepeda jarak 35 km itu buatku terasa dekat #hehehe). Pemandangan menuju Samigaluh juga sedap dipandang mata. Jalan raya menuju ke sana juga nggak terlampau ramai kendaraan. Ya pokoknya pas lah dengan mood di hari Rabu pagi itu.

 

Lalu kenapa mesti mie ayam? Ya karena beberapa hari belakangan ini aku pingin saja menyantap mie ayam. Padahal, di dekat sarang penyamun juga ada warung mie ayam. Tapi nggak tahu kenapa, kok ya nggak kesampaian juga makan mie ayam. Seringnya pelarian ke mie instan. #hidupanakkos

 

Lagipula dari pengalamanku, di wilayah Kulon Progo itu kok jarang yang jual soto ya? Lebih banyak yang jual mie ayam atau bakso. Jadi, mungkin di Samigaluh sana lebih mudah sarapan mie ayam daripada sarapan soto.

 

Oke. Pengantar curhat artikel ini cukup sampai di sini! Setelah ini aku bakal cerita tentang perjalanan ke Samigaluh naik sepeda! #senyum.lebar

 

Dari Kota Jogja ke Samigaluh Lewatnya Jalan Kebonagung

Mungkin Pembaca yang dari luar Jogja atau bahkan Pembaca yang warga Jogja sendiri belum pernah ke Samigaluh? Takut-takut mau ke sana karena lokasinya dikelilingi hutan? Nah, aku harap artikel ini bisa memberi gambaran ke Pembaca semua tentang perjalanan ke Samigaluh dan juga dokumentasi tentang tanjakan Samigaluh yang legendaris itu. #senyum.lebar

 


Ada yang belum pernah foto di sini? #senyum.lebar

 

Perjalanan menuju Samigaluh dimulai pukul 05.43 WIB (jam DSLR) dari Tugu Pal Putih Kota Jogja yang ikonik itu. Pembaca pasti sudah kenal lah ya dengan landmark Kota Jogja ini. Bahkan mungkin sudah pernah berfoto narsis di sini? #senyum.lebar

 

Buat yang ingin berfoto di Tugu Pal Putih ini aku sarankan kalau berfoto pada rentang waktu pukul 3 hingga 4 pagi karena arus lalu lintas di rentang waktu tersebut cenderung sepi. Jadi kalau mau berfoto dengan gaya tiduran di badan jalan ya nggak terlalu rawan ditabrak kendaraan yang melintas, hehehe. #hehehe

 


Selepas gapura ini sudah masuk wilayah Kabupaten Sleman.

 

Dari Tugu Pal Putih Kota Jogja aku bersepeda menyusuri Jl. Magelang (Jl. Raya Jogja – Magelang) ke arah utara sampai Terminal Jombor. Jl. Magelang ini adalah jalan raya yang menghubungkan Kota Jogja dengan Kota Magelang, Jawa Tengah yang berjarak 40-an km.

 


Kalau mau naik bus tujuan Magelang, Semarang, dan sekitarnya berangkatnya dari Terminal Jombor.

 

Terminal Jombor sendiri adalah terminal angkutan dalam kota dan juga luar kota. Pembaca yang naik bus dari wilayah Jawa Tengah bagian barat laut seperti Magelang atau Semarang pemberhentian terakhirnya adalah di Terminal Jombor ini. Kalau Pembaca mau naik bus ke Candi Borobudur, ya naiknya juga dari Terminal Jombor ini.

 


Mungkin, 1, 3, atau 5 tahun dari sekarang sepanjang jalan isinya tempat usaha, bukan sawah lagi.

 

Di dekat Terminal Jombor ini ada jalan raya yang bernama Jl. Kebonagung. Sesuai namanya, Jl. Kebonagung ini adalah jalan raya yang berasal dari  (atau menuju ke) Dusun Kebonagung yang merupakan bagian dari Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman.

 

Kalau ditarik garis belok-belok, jarak dari Terminal Jombor ke Dusun Kebonagung ada sekitar 20 km dengan menyusuri Jl. Kebonagung. Sepanjang perjalanan, aku disuguhkan pemandangan pedesaan khas Yogyakarta. Di mana sawah-sawah kian berganti rupa menjadi lahan hunian dan tempat usaha... #efekmodernisasi

 


Masuk wilayah Kecamatan Seyegan, Sleman. Di sini suasananya lebih terasa pedesaan.

 

Pemandangan “hiruk-pikuk” pedesaan ini jamak disaksikan ketika berada di wilayah Kecamatan Mlati, Sleman. Ketika memasuki wilayah Kecamatan Seyegan, barulah pemandangan sawah-sawah nan hijau mulai mendominasi. Apakah kelak sawah-sawah di Seyegan akan bernasib serupa dengan yang ada di Mlati? Biarlah waktu yang menjawabnya...

 


Di masa mendatang, apakah jumlah petani yang ke sawah naik sepeda bakal menyusut?

 

Untuk urusan logistik, di sepanjang Jl. Kebonagung kita bakal berjumpa dengan banyak pasar tradisional, misalnya saja Pasar Cebongan, Pasar Balongan, dan Pasar Kebonagung. Di wilayah Sleman ini jam buka minimarket waralaba termasuk siang. Jadi, untuk urusan logistik pagi-pagi ya mengandalkan kios tradisional yang dikelola warga. Jangan lupa juga untuk nyetok jajanan tradisional yang murah dan lezat sebagai penambah tenaga.

 


Suasana di depan Pasar Cebongan, Mlati, Sleman.

 


Belakangan ini aku lebih senang beli jajanan pasar sebagai bekal bersepeda. #senyum.lebar

 


Kue cente warna-warni seharga Rp500 per buah.

 

Setelah perjalanan pajang yang tidak begitu melelahkan (ceileh! sok kuat #hehehe), akhirnya aku sampai di Jembatan Kebonagung sekitar pukul 07.37 WIB atau nyaris 2 jam sejak bersepeda dari Tugu Pal Putih. Kalau sedang diburu waktu, aku pernah bersepeda dari Tugu Pal Putih menuju Jembatan Kebonagung ini dalam waktu sekitar 1,5 jam. Eh, itu pas zaman aku masih muda dulu ya. Pas tenaga, waktu luang, dan semangat masih melimpah-ruah. Kalau sekarang ya mbuh... #hehehe

 


Satu di antara banyak jembatan yang menghubungkan Sleman dengan Kulon Progo.

 

Jembatan Kebonagung ini merupakan salah satu jembatan yang menghubungkan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Maka dari itu, so pasti di bawah jembatan ini mengalir Kali Progo yang berwarna cokelat keruh karena memang sedang musim hujan. Kalau kata orang Jawa, kaline banjir!

 


Kali Progo, batas alami Sleman dan Kulon Progo saat sedang banjir.

 

Setelah menyebrang Jembatan Kebonagung, sampailah aku di Perempatan Dekso yang lokasinya ada di Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Perempatan Dekso ini ibarat starting point penjelajahan Kulon di Progo. Di sini jalan bercabang tiga, ke arah Nanggulan, ke arah Samigaluh, dan ke arah Magelang.

 

Nah, rute bersepeda yang “menantang” itu pun dimulai...

 

Pemandangan Sepanjang Tanjakan Jahanam Samigaluh

Aku memilih cabang jalan ke arah Samigaluh. Kalau dari patok jalan, tertera jarak ke Desa Pagerharjo sekitar 17 km. Sedangkan jarak ke Kota Jogja tertera 26 km. Wah jauh juga ya ternyata?

 

Nah, lokasi di mana aku rencananya bakal sarapan mie ayam adalah di ibu kota Kecamatan Samigaluh yang (kalau nggak salah) bertempat di Desa Gerbosari. Letak Desa Gerbosari ini sebelum Desa Pagerharjo. Kira-kira ya sekitar 9 km lah dari Perempatan Dekso. Asik dong ya jarak yang 17 km itu dapat diskon 50%, hehehe. #hehehe

 


Jarak 26 kilometer itu kalau dari rumah sudah sampai pasirnya Pantai Parangtritis. #senyum.lebar

 

Tapi jangan salah! Karena wilayah Samigaluh ini letaknya ada di Perbukitan Menoreh, sudah pasti jarak yang “hanya” 9 km itu wujudnya ya... ehm... tanjakan. Jahanam pula! Hahaha #senyum.lebar.

 


Ini belum tanjakan jahanam. Tapi ya sudah mulai nanjak sedikit sih. #hehehe Bayangkan suasananya pas malam.

 

Sekitar dua kilometer pertama, kontur jalannya sih masih bersahabat. Sedikit menanjak tapi nggak sampai menguras tenaga. Pemandangannya juga masih sedap dipandang mata. Ada hamparan luas sawah hijau yang mirip-mirip seperti yang ada di Nanggulan.

 


Hamparan sawah hijau seperti permadani. Sayang kalau buat guling-guling nanti kotor lumpur. #senyum.lebar

 

Selain itu, di pinggir jalan raya kita bisa menyaksikan pemandangan Sungai Tinalah (yang entah kenapa) jauh lebih jernih dibandingkan Kali Progo. Duh, jadi pingin main di sungai. #hehehe

 


Sebanjir-banjirnya Sungai Tinalah kok ya airnya nggak cokelat ya?

 

Di pinggir jalan raya juga ada pemandangan unik lain lho! Ada patung pahlawan nasional yang aku yakin kita semua kenal, yaitu Pangeran Diponegoro. Patung Pangeran Diponegoro ini dalam posisi berdiri dengan tangan kanannya menunjuk ke suatu cabang jalan.

 


Mungkin maksudnya Pangeran Diponegoro nunjuk itu menyuruh supaya mampir ke Gua Sriti.

 

Dari pengalamanku bersepeda ke sini di tahun 2011 silam, cabang jalan ini mengarah ke Gua Sriti, salah satu gua persembunyian Pangeran Diponegoro ketika bergerilya melawan Belanda. Tapi saat ini kok yang tertera di cabang jalan itu malah Monumen Rumah Sandi Indonesia ya?

 


Pada suatu ketika saat manusia-manusia ini masih lajang dan senggang. #senyum.lebar

 

Hmmm... mungkin kapan-kapan perlu aku cek lebih lanjut tentang Monumen Rumah Sandi ini.

 


Fokus lihat ke gapuranya saja. Jangan ke jalan aspal yang nanjak itu. #eh

 

Objek menarik lain yang aku jumpai di pinggir jalan raya adalah arca Ganesha. Sayang, kepala dari arca Ganesha ini bernasib sama seperti kepala arca pada umumnya, hilang.

 

Kalau dari dugaanku sih arca Ganesha ini bukan benda purbakala. Soalnya aku nggak menemukan nomor registrasi dari BP3 yang biasa tertera di arca-arca.

 


Mengenaskan, arca Ganesha jadi penunggu jalan raya seperti ini.

 

Aku sendiri nggak terlalu lama mengamati arca Ganesha ini. Soalnya, persis di belakang arca ada rumah warga yang punya peliharaan anjing yang cerewet. Itu anjingnya nggak berhenti menggonggong sejak  aku berhenti mengamati arca Ganesha ini.

 

Padahal aku kan ya bukan maling... #sedih

 

Eh, tapi tingkahku memang mencurigakan sih... #hehehe

 


Ini kontur jalannya nanjak pakai banget. Cuma ya sayangnya di foto nggak terlihat ganas. #hehehe

 

Nah, selepas arca Ganesha ini kontur jalan raya Samigaluh pelan-pelan mulai berubah wujud menjadi tanjakan jahanam. Awalnya hanya tanjakan curam yang jaraknya pendek-pendek. Lama-lama berubah jadi tanjakan curam yang meliuk-liuk seperti hidungnya Petruk. Seingatku ada lah minimal 3 tanjakan hidung Petruk di jalan raya Samigaluh ini.

 

Seperti biasa, menghadapi medan yang seperti ini bikin aku mengibarkan bendera putih alias nuntun sepeda! Mau gimana lagi? Lha wong tanjakannya nggak manusiawi kok? Tapi sih mungkin buat pesepeda Bandung yang sering melibas trek ke Warung Bandrek, tanjakan seperti ini sih nggak ada apa-apanya...

 


Seenggaknya pas berhenti bisa sambil menikmati pemandangan indah seperti ini. Lumayan lah.

 

Meskipun medan jalannya tanjakan jahanam, yang membuat istimewa dari tanjakan jahanam legendaris ini adalah pemandangan berbagai air terjun kecil di sepanjang jalan. Aku hitung minimal ada 5 air terjun kecil lah.

 


Sempat ditanyai orang-orang pas berhenti di pinggir jalan, "Motret apa Pak?"
Oh yes, aku diundang Pak. #senyum.lebar

 

Kalau buat objek foto, hmmm... sepertinya kurang cocok ya, karena debit airnya cenderung kecil. Tapi untuk sekadar berbasah-basahan, ya... oke lah. Itu pun kalau nggak malu dilihat orang-orang yang lewat karena lokasinya ya benar-benar persis di pinggir jalan raya. #hehehe

 


Penampakan sejumlah air terjun musiman di pinggir jalan raya Samigaluh itu.

 

Pit stop di jalan tanjakan ini adalah Minimarket Semart yang terletak di Desa Gerbosari. Walau sudah masuk wilayah Desa Gerbosari, tapi belum masuk ke wilayah pusat pemerintahan Samigaluh. Aku masih harus menempuh jarak sekitar 3 km untuk benar-benar sampai di depan Kantor Kecamatan Samigaluh.

 


Toko kelontong seperti ini di tengah jalan tanjakan mesti jadi dambaan para pesepeda. #senyum.lebar

 

Alhamdulillah! Pukul 09.52 WIB akhirnya sampai juga di pusat Desa Gerbosari, Samigaluh!

 


Perjuangan keras bisa sampai sini. #senyum.lebar

 

Perjalanan menguras tenaga dari Perempatan Dekso memakan waktu 2 jam 15 menit dengan jarak yang “hanya” kurang-lebih 9 km. Mungkin karena aku juga kebanyakan berhenti buat foto-foto ya?

 

Mie Ayam Dalam Seuntai Doa

Berhubung perut sudah keroncongan kehabisan bensin melibas tanjakan, aku menyusuri jalanan mencari warung mie ayam di Desa Gerbosari yang sekiranya sudah buka. Untung kontur jalan di sini nggak nanjak-nanjak banget. Jadinya masih bisa lah dipaksa mengayuh 1-2 kilometer, hahaha. #senyum.lebar

 


Suasana di desa Gerbosari yang dibelah jalan raya.
Pelosok-pelosok begini, di sini ada minimarket waralaba lho!

 

Aku ketemu satu warung mie ayam yang sekiranya cukup representatif. Letaknya di dekat simpang empat Pasar Totogan. Eh, pas mampir, ternyata mas penjual mie ayamnya baru dasaran (siap-siap berjualan). Katanya, siapnya nanti menjelang zuhur. Haduh... lama nian.

 

Pas aku tanya apa ada warung mie ayam lagi di dekat sini, mas penjualnya bilang kalau ke arah Pasar Plono sepertinya ada. Haduh! Kok arahnya malah ke Pasar Plono sih mas!? Pikiranku bukan jarak ke Pasar Plono-nya itu berapa kilometer, melainkan ke sananya pasti bakal lewat tanjakan jahanam lagi. Soalnya, dulu pas PEKOK-an ke Grojogan Watu Jonggol aku sudah pernah lewat Pasar Plono. Kalau ke sana lagi, hari ini, ehm... nggak dulu deh. #hehehe

 


Andai aku bisa bersepeda secepat iklan koneksi internet… #menghelanapas

 

Jadi ya di tengah kondisi kelaparan nyari mie ayam ini aku putuskan untuk sejenak mendekatkan diri kepada sang pemilik nyawa. Siapa tahu bakal dapat pencerahan dari Gusti Allah SWT. Kan yang namanya keinginan itu, kalau sudah berusaha ya harus juga disertai dengan berpasrah diri ke hadirat-Nya, ya toh? #senyum.lebar

 


Di tas tersedia perangkat salat. Jadinya bisa mampir di masjid terdekat. #senyum.lebar

 

Alhasil, merapatlah aku di Masjid Jami’ Samigaluh. Salat Duha sambil berdoa semoga sekiranya diberi petunjuk aku mesti mengisi perut pakai bensin jenis apa…

 

GEBLEK!

 


Lagi-lagi, jajanan tradisional yang murah-meriah-mengenyangkan.

 

Di dekat Masjid Jami’ ini ada yang jual jajanan geblek ternyata. Geblek ini kuliner khas Kulon Progo dan Purworejo yang terbuat dari adonan tepung tapioka yang digoreng. Rasanya gurih. Enak dimakan pas masih hangat. Sedangkan kalau sudah dingin, beuh, sensasinya seperti nguyah ban sepeda #pengalaman #hehehe. Harganya murah pula. Beli Rp5.000 dapat banyak.

 

Yah, ibaratnya, kalau SPBU nggak jualan Pertamax ya ngisi pakai Premium boleh deh. Lumayan lah ada geblek buat ganjal perut. Nyari makannya nanti sajalah di seputaran Pasar Dekso. Nggak mie ayam juga nggak apa-apa lah.

 

Eh, ndilalah belum ada satu kilometer aku bersepeda turun, di sisi kiri jalan raya, sederet dengan Kantor Kecamatan Samigaluh ada warung mie ayam!

 

Alhamdulillah, ketemu mie ayam juga di Samigaluh. #senyum.lebar

 


Sarapan penuh perjuangan di hari ini. #senyum.lebar
Dari satu foto ini tersembunyi cerita panjang kurang-kerjaan. #senyum.lebar

 

Seperti yang aku omongkan di awal artikel ini. Yang bikin mie ayam ini istimewa sebenarnya bukan rasanya, melainkan perjuangan kurang kerjaan untuk bisa menyantapnya, hahaha. #senyum.lebar

 

Meski demikian, rasa mie ayam seharga Rp7.000 per porsi ini cukup bisa dipertanggung-jawabkan kok. It’s ok lah untuk rasa mie ayam pada umumnya. Eh, tapi sebetulnya aku pikir mie ayam di pelosok Yogyakarta seperti ini harganya masih boleh Rp6.000 per porsi. Tapi sudah jadi Rp7.000 per porsi seperti mie ayam di dekat sarang penyamun. Yah, namanya hidup, makin hari makin mahal ya?

 


 

Nah, demikianlah cerita panjang perjalanan sarapan mie ayam di Samigaluh, Kulon Progo. Sekadar info, aku sampai di rumah lagi pukul 1 siang dan lanjut ngoding kerjaan. #senyum.lebar

 

Pembaca kalau mau makan mie ayam harap merapat di warung mie ayam terdekat saja. Eh, bersyukurlah yang masih bisa makan mie ayam dengan harga di bawah Rp10.000 per porsi. Dengar-dengar di Jakarta, harga mie ayam jauh lebih mahal. Iya nggak sih?

NIMBRUNG DI SINI