Bersamaan dengan hadirnya rombongan remaja yang mengusik kesendirianku di air terjun Lubuak Tampuruang, aku pun memutuskan untuk cabut dari lokasi. Hari Jum’at siang (12/12/2014) dan aku “merasa” masih punya banyak waktu untuk menikmati suasana pedesaan di bumi Andalas.
Yuk Pembaca kita jalan-jalan sebentar. Seperti apa sih kiranya suasana pedesaan di Sumatra Barat? Hehehe. #hehehe
“Bang, mampir dulu Bang.”
Tawaran Bu Sawelni di warungnya yang sederhana itu sungguh sulit untuk aku tolak, mengingat bekal perjalanan yang aku beli di Pasar Belimbing tadi sudah terkuras habis sepanjang perjalanan menuju air terjun. Aku pun mampir tanpa perlu diminta dua kali. Segelas teh hangat manis dan satu kue bola manis seharga total Rp3.000 aku gadang masuk perut.
“Itu bukan jeruk Bang. Itu pinang.”
Betapa kupernya diriku ini, nggak tahu yang namanya buah pinang, hahaha. #senyum.lebar Sembari menjaga warung, Bu Sawelni mengupasi buah pinang untuk diambil isinya. Beliau dibantu oleh putrinya yang masih kecil. Lucu juga melihat bocah kecil ini berusaha membantu aktivitas ibunya dengan caranya sendiri. Sayang, waktu itu aku tidak sempat berkenalan dengan gadis mungil ini.
Jalan yang menurun membuat perjalanan pulang ini terasa lumayan cepat daripada saat berangkat (ya iyalah! #hehehe). Aku hitung, hanya butuh sekitar 13 menit dari warungnya Bu Sawelni untuk sampai di dasar tanjakan. Selanjutnya, karena nggak ada ojek di sekitar sana, aku memutuskan untuk lanjut jalan kaki saja ke jalan raya untuk kemudian mencegat ojek.
Baru beberapa meter melangkah perhatianku tertarik oleh aktivitas sekumpulan bocah yang sedang bermain air di Bendung Sungai Gua. Begitu melihat DSLR aku keluarkan dari tas, bocah-bocah itu lantas berpose dengan meloncat nyebur dari ketinggian. Atraksi yang menarik #senyum.lebar. Sayangnya, karena gerimis jadinya aku nggak bisa berlama-lama memotret aksi mereka.
Gerimis beranjak turun, tapi aku tetap teguh pada pendirianku untuk lanjut jalan kaki menuju jalan raya. Sempat ada ojek yang lewat dan menawarkan jasanya, tapi aku tolak. Kapan lagi coba bisa kegerimisan di Padang? #hehehe
Tapi ya, kalau dipikir-pikir konyol juga, karena waktu itu aku lagi flu dan ingusku nggak berhenti meler sepanjang perjalanan. Bener-bener nyari penyakit namanya, hahaha. #senyum.lebar
Lanjut ya cerita jalan-jalannya! Di suatu sudut desa aku berjumpa dengan suatu jembatan kayu unik karena ditudungi oleh atap gadang khas rumah Minang. Kok di Jogja aku nggak pernah ketemu jembatan yang ada atapnya kayak gini ya? Kan lumayan bisa buat tempat berteduh pas hujan, hehehe. #hehehe
Mendekati jalan raya aku sempat mengabadikan pemandangan suatu bukit yang dikeruk tanahnya. Nggak bisa dipungkiri, kalau maraknya geliat pembangunan turut mendongkrak kebutuhan tanah sebagai media urukan. Sempat kepikiran, suatu saat nanti, jangan-jangan bukit-bukit pada menghilang semua karena tanahnya habis dikeruk.
Sedih ya... #sedih
Abang ojek yang kebetulan melintas di jalan raya aku cegat untuk mengantarkanku kembali ke Pasar Belimbing. Ndilalah, aku dapat tarif “diskon” Rp7.000. Sebelumnya pas berangkat kan tarifnya Rp10.000. Mungkin karena aku nyegatnya di jalan raya ya?
Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan bapak-bapak yang jualan ember sambil jalan kaki. Menyaksikan yang seperti ini, bikin aku merasa bersyukur dengan hidupku saat ini. Ah, semoga rezekimu dilancarkan Gusti Allah SWT ya Pak. Aamiin.
Sesampainya di Pasar Belimbing, aku naik angkot warna merah menuju Pasar Raya. Sengaja aku duduk di depan di samping pak sopir supaya bisa memotret piranti yang digunakan untuk nge-mix lagu, hahaha #senyum.lebar. Sepintas peralatannya sederhana, tapi efek output-nya bisa bikin barisan jok belakang joget-joget sepanjang perjalanan, hehehe. #hehehe
Memasuki kota Padang, aku sempatkan blusukan di Pasar Raya untuk mencari camilan untuk penghuni kamar hotel yang aku telantarkan hari ini #hehehe. Saat sore hari, Pasar Raya mulai terasa keramaiannya. Suasananya mirip pasar tumpah, 11-12 lah dengan suasana pasar Sunday Morning di kawasan UGM sana.
Nggak sulit untuk menemukan penjaja camilan di seputaran Pasar Raya. Yang menarik perhatianku adalah Abang penjual roti goreng. Di gerobaknya penuh sama roti tangkap yang sudah diisi dengan berbagai macam isian. Benar-benar seperti roti all-you-can-eat, tinggal comot terus dimakan deh. Eh, sayangnya yang ini mesti bayar, hehehe #senyum.lebar. Tapi ya murah kok. Harga sepotong roti cuma Rp2.000. Makan 2 sudah kenyang.
Dari Pasar Raya aku jalan kaki balik ke hotel. Selesai sudah blusukan di Padang hari ini. Ternyata begitu toh suasana pedesaan di Padang. Nggak terlalu jauh berbeda dengan suasana pedesaan di Jawa. Yang terasa beda hanya satu, warga desa bercakap-cakap dengan bahasa Minang yang aku nggak ngerti sama sekali, hahaha. #senyum.lebar
Pembaca sudah pernah blusukan ke desa? #senyum.lebar
Btw, iyo bener, ternyata podo ae. Cuman jembatan kui sing menarik enek atape. Nek wong Jowo kui mesti wis akeh cah cah nom cangkrukan.
(kapan sih aku gak penasaran sama makanan -____-)
Wah, kayaknya setiap jalan ke kota-kota agenda mblusuk ke desa ide bagus :D.
Apalagi yang nanti cita-citanya jadi pemimpin negara biar tahu animo rakyatnya kayak gimana. :D
Eh, sekarang di modernisasi, pakai tembok dan seperti layaknya jembatan biasa .. sayang banget ....
Kemudian masalah bukit itu... emm... kalo di Yogya contoh gampangnya di Bukit Breksi, Sleman... trus bukit kapur di Gunungkidul... entah keadaannya sekarang tinggal seperti apa...
Lanjut... angkotnya nggak sempet difoto Mas? Soalnya angkot Padang sudah kayak mobil balap dandanannya... :D