navigation

Trio PEKOK Nyepeda ke Gua Lawa

terbit Selasa, 26 Mei 2015, 09:37 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Ratusan tahun berlalu semenjak Raden Rangga mengurung Nagabumi di Gua Lawa. Kini, di hari Minggu (23/11/2014) yang cerah, giliran Trio PEKOK (Mbah Gundul, Pakdhe Timin, dan aku) yang menyerbu Gua Lawa. Siapa tahu, Nagabumi bangkit lagi dan harus ditumpas lagi.

 

Misinya PEKOK toh? Hehehe. #hehehe

 

Oh iya, Gua Lawa (artinya Gua Kelelawar) yang jadi tujuan bersepeda kami ini berlokasi di Dusun Nogosari, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Warga Jogja yang senang jalan-jalan pasti sudah kenal dengan Desa Selopamioro. Hanya saja, mungkin jarang ada yang blusukan sampai Dusun Nogosari karena letaknya yang lumayan terpencil di puncak bukit.

 

Jalan ke sana? Ya TANJAKAN lah! #hehehe

 

 

Kepanasan di Tanjakan Siluk

Kami bertiga berangkat bersepeda dari Kota Jogja sekitar jam 7 pagi. Rutenya lewat Jl. Imogiri Timur sejauh 21 km ke selatan hingga sampai di Jembatan Siluk. Seperti biasa, kami mengisi bensin perut dulu sebelum nanjak di rumah makan favoritnya Mbah Gundul. Sayang, niatnya Mbah Gundul sarapan wader urung terlaksana.

 

Rute menuju Gua Lawa mirip sama rute menuju Panggang. Artinya, mau nggak mau ya mesti lewat Tanjakan Siluk. Untung Gua Lawa masih masuk wilayah Bantul. Jadinya cuma setengah dari Tanjakan Siluk yang mesti dilibas. Ya kurang lebih sekitar 4 km nanjak lah.

 


Sepanjang Tanjakan Siluk.

 

Sialnya, hari itu cuacanya PANAS BANGET! Padahal masih sekitar pukul 8.30 pagi. Cuaca panas yang seperti ini jelas bikin stamina cepat habis. Mana jalannya nanjak lagi! DOH! Makanya, aku sering banget berhenti buat ngadem. Sejuk banget lah rasanya.

 


Persetan dengan tanjakan! Leyeh-leyeh is the best!

 

“HOI! Ayo Wis lanjut, jangan malah tidur-tiduran! Nanti kalau Pakdhe Timin nyampe sini dan ngelihat kamu istirahat, nanti dia ikut-ikutan berhenti! Nyampenya bakal lama ini nanti! Ayo bangun, bangun! Tu, wa, ga!”, perintah Mbah Gundul yang udah mirip komandan perang

“Aduh Mbah! Cuacanya panas banget ini! Nggak kuat aku nanjak kalau kayak gini!”

“Halah alesan! Ayo gek ndang mangkat!"

“Wealah Mbah! Mbok cuacanya dikondisikan Mbah biar nggak panas kayak gini...”, pintaku iba

“Dikondisikan gimana?”

“Yang kayak ritualmu pas nikahannya Paklik sama Indomie itu lho! Dibuat mendung sedikit gitu Mbah...”

“Udah-udah! Sana lanjut. Itu Pakdhe udah kelihatan! Ayo cepet-cepet! Nanti dia ikut-ikutan berhenti!”

 

Wealah Mbah Gundul nggak kooperatif banget! Ya sudahlah, dibawa sabar saja. Pokoknya, nanti di tugu dusun Nawungan I aku bakal berhenti pakai lama kalau cuacanya masih panas kayak gini. Hadeh...

 


Mana sempat ada kejadian hape jatuh lagi. Apa kualat gara-gara kebanyakan istirahat ya?

 

Misteri Rokok di Tugu Dusun Nawungan I

Sekitar pukul 9.30 pagi sampai juga di tugu Dusun Nawungan I. Cuacanya masih panas pakai banget. Aku langsung terkapar tak berdaya. Selang beberapa saat, Pakdhe Timin datang juga. Bodo amat deh kalau Pakdhe melihat aku terus jadi ikut-ikutan istirahat lama. #hehehe

 

“Pokoknya kalau ngajak aku, jangan suruh buat cepet-cepet Mbah, tapi pokoknya sampai!”, protes Pakdhe Timin sambil ikutan leyeh-leyeh

 


Trio PEKOK di tugu dusun Nawungan I.

 

Mungkin karena melihat dua rekan PEKOK-nya ini kepayahan di tanjakan, akhirnya Mbah Gundul pun turun tangan. Sebatang rokok ia sulut. Sejenak ia hisap. Kemudian ditinggalkannya begitu saja di atas pecahan kaca. Ritual mistis kah ini Mbah? #mistis

 

Anehnya, selang beberapa saat, matahari yang sedari tadi terik bersinar mulai tertutup awan tebal. Cuaca pun tak lagi panas. Kalau adem begini kan enak dipakai buat bersepeda nanjak, hehehe. #hehehe

 


Biasanya pakai dupa, ternyata bisa juga pakai rokok.

 

Pas masuk pemukiman Dusun Nawungan I, kami sempat berhenti di warung buat ngisi perbekalan. Satu botol air kemasan ukuran 1,5 liter harganya Rp4.000 (biasanya Rp3.000). Sedangkan satu plastik minuman saset harganya Rp2.000 (biasanya Rp1.000). Ini kayaknya dampak dari naiknya harga BBM deh.

 


Beginian kok Rp2.000? Mahal ya?

 

Masuk Dusun Nogosari Tapi Nyasar

Tepat jam sepuluh pagi (atau siang ya?) kami sampai di pertigaan jalan raya yang bercabang ke arah Sekolah Polisi Negara (SPN) Selopamioro. Dusun Nogosari itu searah dengan SPN. Alhamdulillah medannya turunan! Eh, tapi nanti baliknya jadi nanjak dong? #hehehe

 


Belok kiri ke dusun Nogosari. Kalau nanjak lurus terus sampai Panggang.

 

Sekitar 100 meter dari pertigaan kami ketemu dengan suatu sendang (mata air) tak bernama di pinggir jalan. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, mampir dulu di sendang untuk sekadar kekeceh. Dari banyaknya sampah bungkus sampo dan detergen, sepertinya sendang ini sering dimanfaatkan oleh warga setempat.

 


Sendang tak bernama di bawah pohon tua.

 

Sekitar 5 menit bersepeda dari sendang tak bernama, sampailah kami di Dusun Nogosari. Ketemu lah sama petunjuk-petunjuk seperti foto di bawah ini.

 


Arahnya sudah jelas toh?

 


Sudah disambut hangat sama Nagabumi.

 

Intermezzo sedikit nih. Berhubung di bulan November 2014 sedang musim mangga, hampir semua pohon mangga yang kami jumpai berbuah lebat. Apalagi hampir setiap rumah punya pohon mangga yang pendek-pendek. Jadinya nggak perlu susah-susah manjat buat metik mangga deh. #senyum.lebar

 

Selain pohon mangga ada juga pohon alpukat dan pohon kelapa yang pendek-pendek. Bener-bener godaan berat kalau lewat sini pas musim buah, hahaha. #senyum.lebar

 


Mangga!

 


Alpukat!

 

Jalan menuju Gua Lawa awalnya berwujud jalan cor-coran semen dua lajur seperti yang biasa ada di dusun-dusun. Tapi baru sebentar, wujud jalannya berubah jadi jalan full batuan karang yang mirip sama jalan penderitaan pas ke Laut Bekah. Eh nggak tahunya jalannya ganti wujud lagi jadi jalan hutan. Bener-bener banyak jalan menuju Gua Lawa ini, hahaha #senyum.lebar.

 


Kalau di pelosok jalannya bagus malah jadi heran toh?

 

Di dalam hutan kami bingung. Jalan bercabang jadi dua. Satunya nanjak dan satunya lagi datar. Di sekitar sana nggak ada orang buat diwawancara. Nggak ada juga papan petunjuk arah. Gimana ini?

 

Di tengah kebingungan ini, Mbah Gundul menyimpulkan kalau jalan menuju Gua Lawa itu jalan yang nanjak. Mbah Gundul bisa bilang gitu karena di sepanjang jalan nanjak itu ada tali rafia biru yang mirip sama petunjuk jalan outbond.

 

Aku lak yo manut-manut saja toh? Lha wong  Mbah Gundul kan ilmu penerawangannya sudah level tinggi. Beda sama aku yang meleng sedikit aja nyasar, hehehe. #hehehe

 


Yakin ngikutin beginian bisa sampai ke Gua Lawa?

 

Tapi, setelah sekian menit menerabas jalan nanjak di dalam hutan kok ya masih belum ketemu sama Gua Lawa ya? Mbah Gundul masih bersikeras mengikuti petunjuk tali rafia biru. Simbah bilang nanti juga pasti bakal ketemu ujungnya. Ya memang benar, setelah 15 menit jalan kaki ketemu juga ujungnya. Bukan Gua Lawa tapi malah jalan raya!

 


Bingung toh Pakdhe? Aku ya juga bingung kok.

 

Kebetulan, di tengah peristiwa janggal tersebut lewat lah mas-mas yang juga lagi bersepeda. Sebagai sesama pesepeda aku pun berinisiatif bertukar sapa dengan dirinya.

 

“Mas, Mas, njenengan ini bersepeda mau ke arah mana Mas?”, tanyaku 

“Ke Panggang Mas!”, jawabnya

“Lho ini tadi lewat jalan aspal ini dari mana Mas? Selopamioro?”

“Bukan Mas. Ini jalan dari Playen Mas.”

 

HAH!? Playen? Kecamatan di Gunungkidul itu? Weee...

 

Aku kaget. Mbah Gundul dan Pakdhe Timin juga jelas kaget. Untung di dekat jalan itu ada rumah warga. Mbah Gundul pun mampir dan tanya arah.

 

“Ini sudah masuk wilayah Gunungkidul Mas. Ini di dusun Sumber, Girisuko, Panggang. Kalau mau ke Gua Lawa mestinya jangan ambil jalan yang nanjak Mas.”, kata warga desa memberi pencerahan

 


Semua ini karena Mbah Gundul! Pakai petunjuk smartphone yang ada malah nyasar!

 

AAARGH Mbah Gundul! Gundulmu menyesatkan jalan! >.<

 

Demi Kuncinya Juru Kunci Gua Lawa

Balik lagi deh jalan kaki ke tempat sepeda diparkir dan sekarang ngambil cabang jalan datar. Ternyata Gua Lawa itu deket banget dari pertigaan yang bikin bingung itu. Coba tadi ambil jalan datar dulu…duh duh duh!

 


Hanya tinggal ini cabang jalan yang tersisa.

 

Sampai lah kami di mulut Gua Lawa yang mana tertutup oleh papan kayu. Pintunya digembok. Niat kami buat masuk Gua Lawa pun surut. Apalagi Mbah Gundul dan Pakdhe Timin bilang nggak tahan sama bau kotoran kelelawar. Ya sudah lah, foto-foto saja deh di mulut gua.

 

Tapi, pas aku lagi siap-siap masang tripod, ujug-ujug Mbah Gundul berubah pikiran. Dia ingin masuk ke dalam Gua Lawa. Katanya, nggak afdol kalau bersepeda jauh-jauh ke Gua Lawa tapi akhirnya cuma nongkrong di luar gua.

 

Hadeh Mbah! ....

 


Kalau digembok begini kan malah jadi bikin tambah penasaran sebenernya di dalam ada apa?

 

Kebetulan waktu itu ada empat dedek-dedek unyu yang juga mampir ke Gua Lawa. Mereka ini warga sekitar Dusun Nogosari. Dari mereka diperolehlah info sang juru kunci yang bernama Pak Sutar. Mbah Gundul pun lantas bersabda.

 

“Wis! Sana kamu pergi nyari juru kunci! Aku sama Pakdhe Timin biar jaga di sini. Capek bolak-balik desa lagi!”

 

DOH! Bilang aja Mbah mau nyepik dedek-dedek unyu... #hehehe

 

Berbekal petunjuk dari dedek-dedek unyu aku keluar hutan nyari rumah sang juru kunci. Katanya, depan rumah juru kunci itu ada angkringan. Ternyata ya nggak jauh-jauh amat kok.

 

“Itu juru kuncinya Bapak saya Mas, namanya Pak Slamet. Rumahnya di belakang sini. Nanti biar dianter sama anak saya saja.”, ujar Pak Sutar

 

Ditemani putra Pak Sutar yang bernama Pur (kalau nggak salah inget) (berarti Pur ini cucunya Pak Slamet), kami berdua pun meluncur ke rumah Pak Slamet. Untung Pak Slamet ada di rumah. Setelah njagongan sebentar, aku balik lagi ke Gua Lawa bareng Pak Slamet dan segerombolan bocah desa termasuk Pur.

 


Pak Slamet and the boys.

 

Sesampainya di mulut gua, Pak Slamet dan Mbah Gundul bercakap-cakap, lantas pintu gua yang digembok pun dibuka. Mbah Gundul yang duluan masuk. Seumpama mencolot Nagabumi dari dalam, biar Mbah Gundul duluan yang digigit, hahaha #senyum.lebar.

 

Aku sih nunggu Pak Slamet masuk dulu. Beliau masih sibuk nyari-nyari sesuatu di dalam tasnya. Apa sesajen buat Nagabumi ya? Apa mesti ada ritual lain kalau mau masuk Gua Lawa?

 


Mbah Gundul ngapain masuk guanya nyeker? Pak Slamet juga nyariin apaan sih di tasnya?

 

“Ini nyari baterai (senter .red) Mas. Di dalam gelap soalnya.”


#gubrak

 

Penampakan di Dalam Gua Lawa

Bener seperti yang dibilang sama Pak Slamet. Di dalam Gua Lawa itu gelap banget! Tapi di dalam sana aku sama sekali nggak nyium bau menyengat kotoran kelelawar. Hawanya juga nggak pengap. Mungkin karena langit-langit Gua Lawa ini lumayan tinggi dan ukuran gua sepanjang 65 meter ini cukup luas.

 


Dedek-dedek unyu memilih mundur. Semoga kalian sampai di mulut gua dengan selamat ya dek!

 

Di ujung gua kami lihat ada altar untuk menaruh sesajen. Mbah Gundul pun melangsungkan ritualnya seperti biasa. Sementara itu, Pakdhe Timin sibuk merekam video pakai smartphone-nya dan aku memfoto sana-sini. Hasil fotonya kurang bagus karena kondisi Gua Lawa memang gelap banget dan cuma mengandalkan penerangan dari tiga senter.

 


Ya ampun! Nagabumi juga dikasih sesajen fanta merah? Kenapa mendadak aku jadi haus ya? #glek

 

“Ini namanya Gua Dendeng Mas. Ini konon nyambung ke Laut Selatan.”, ujar Pak Slamet sambil menujukkan lubang kecil di dalam gua

 


Eh, memang ada yang pernah masuk sini? Lha wong celahnya kecil banget.

 

Sebelum beranjak meninggalkan gua, kami sempat menemukan tumpukan kotoran kelelawar. Katanya Mbah Gundul, kotoran kelelawar itu bagus buat pupuk dan kalau dijual harganya mahal.

 

“Ini dibiarin gini saja Mas. Nggak boleh dibawa keluar gua.”, kata Pak Slamet

“Lho kenapa Pak? Ada pantangannya kah?”

“Nggak. Kalau ada warga yang diberi ijin menjual, nanti warga yang lain ikut-ikutan pingin.”

 


Mungkin ini alasannya mulut gua digembok biar nggak ada yang bisa ngambil kotoran kelelawar.

 

Eh, di dalam gua dekat pintu masuk juga ada batu unik yang bentuknya mirip sama tempurung kura-kura lho!

 


Katanya Pak Slamet ini tempat semadi.

 

Kembali di mulut gua, Pak Slamet pun duduk bercerita seputar asal-usul Gua Lawa. Konon, Gua Lawa ditemukan oleh sekumpulan anak gembala saat Dusun Nogosari baru memiliki 12 rumah. Entah tahun berapa itu. Yang jelas, Gua Lawa sudah populer sebagai tempat petilasan sejak zaman Hamengkubuwono (HB) I. Bahkan katanya Pak Slamet, HB IX pernah semadi 40 hari 40 malam di dalam Gua Lawa ini. Beda banget ya dari legenda Gua Lawa sendiri.

 


Mendengarkan ceritanya Pak Slamet tentang Gua Lawa.

 

Baru kemarin malam Gua Lawa ini kedatangan peziarah dari Purwokerto. Para peziarah umumnya menyepi sambil berdoa di dalam gua. Biasanya mereka berdoa memohon keselamatan diri, sehat anak-keturunan, dan rejeki lancar. Terlepas dari hal-hal klenik, aku sih mikirnya gua yang sepi dan gelap ini tempat yang cocok untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

 

Setiap lima tahun sekali digelar kenduri rasulan di Gua Lawa. Umumnya di bulan Dzulkaidah atau sebelum musim tanam tembakau. Wilayah Selopamioro ini ternyata terkenal dengan tembakau dan bawang merahnya lho.

 

Sebelum Pulang

Menjelang jam 1 siang kami pamit pulang ke Pak Slamet. Katanya beliau, belum lengkap bilamana dari Gua Lawa tapi belum mampir ke Sendang Sari Mulyo yang konon adalah petilasan Dewi Nawangwulan. Berhubung masih termasuk wilayah Dusun Nogosari dan cuma 100 meter dari papan arah ke Gua Lawa, kami pun menyempatkan mampir. Lagi-lagi, membasuh peluh dengan dinginnya air sendang rasanya nyesss banget...

 


Berhenti lagi buat main air lagi, hehehe #hehehe.

 

Dari Sendang Sari Mulyo kami pulang lewat rute yang sama, yaitu Tanjakan Siluk yang kini bersalin nama jadi Turunan Siluk, hehehe #hehehe. Kalau pas berangkat butuh 1,5 jam bersepeda nanjak, turunnya itu hanya butuh waktu 7 MENIT! Ckckck...tanjakan...tanjakan...

 

Sampai di dasar turunan, kami makan siang di rumah makan favoritnya Mbah Gundul lagi. Akhirnya, Mbah Gundul kesampaian juga makan wader.

 

Pembaca pernah masuk gua dan melihat hal gaib di dalam gua? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI