HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Candi Abang

Sabtu, 2 Agustus 2008, 09:14 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Di hari Kamis sore (31/7/2008), selepas singgah dari Candi Gana, aku dan Alpat melanjutkan perjalanan menuju Candi Abang. Dari penuturan Dessy (Math ’06), rute termudah adalah melalui Jl. Raya Prambanan – Piyungan dari arah pasar Prambanan. Nanti, di sekitar KM 8, Pembaca bakal berjumpa dengan papan hijau penunjuk arah yang mencantumkan arah ke Candi Abang dan Gua Sentono.

 

Ikuti saja jalan yang diarahkan oleh papan tersebut. Misal Pembaca ragu-ragu, alangkah baiknya Pembaca bertanya kepada warga sekitar untuk memastikan jalan tersingkat menuju Candi Abang.

 

Candi Abang terletak di puncak suatu bukit yang tidak setinggi Candi Ijo. Sayangnya, jalanan di lereng bukit masih berwujud bebatuan. Sangat tidak nyaman bila dilalui oleh kendaraan bermotor.

 

Bagi Pembaca yang singgah di Candi Abang menggunakan kendaraan bermotor bisa memarkir kendaraan di rumah warga terdekat, kemudian melanjutkan perjalanan mendaki bukit dengan berjalan kaki. Secara administratif, Candi Abang terletak di Dusun Candi Abang, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

 


Bukan seperti candi-candi yang biasa kita jumpai.
Lebih mirip bukit Teletubbies atau wallpaper Windows XP. #eh

 

Sesampainya puncak bukit, aku harus menjelaskan kepada Alpat bahwa gundukan bukit yang terlihat besar di depan kami itulah yang dimaksud sebagai Candi Abang. Di sini Pembaca tidak bakal menjumpai wujud fisik candi sebagaimana umumnya candi-candi yang ada di sekitar Yogyakarta.

 


Batu bata merah yang menyusun Candi Abang ukurannya jauh lebih besar dari batu bata modern.

 

Sesuai namanya, candi ini disebut sebagai Candi Abang karena batuan penyusunnya menggunakan batu bata merah (abang dalam bahasa Jawa berarti merah). Hal ini berbeda sekali dengan batu penyusun candi-candi di Yogyakarta yang mayoritas memakai batu andesit.

 


Tumpukan batu bata merah yang belum berubah wujud. Apakah ini bangunan lain ataukah bagian bangunan induk ya?

 

Oleh karena sifat batu bata merah yang mudah lapuk dan kembali lagi menjadi tanah, alhasil dalam kurun waktu ratusan tahun Candi Abang seakan kembali seperti penyusun asalnya, yaitu gundukan tanah.

 


Susunan batu bata merah Candi Abang yang samar-samar masih terlihat.

 

Dari literatur yang aku temukan di internet, bentuk Candi Abang ini menyerupai suatu piramida dengan ukuran alas kira-kira 36 x 34 meter. Tinggi bangunan Candi Abang sendiri belum bisa diperkirakan, mengingat bentuknya yang tak lagi utuh. Sejumlah literatur menyebutkan adanya penemuan yoni di situs Candi Abang. Hal ini menguatkan dugaan bahwa Candi Abang adalah candi Hindu.

 


Puncak Candi Abang yang berbentuk kawah. Dahulunya ada lubang semacam sumur.

 

Bagian tengah Candi Abang berupa sumur. Terdapat juga sisa-sisa tangga masuk yang terbuat dari batu putih (gamping). Sejumlah batu andesit juga bisa ditemukan tersebar di sekitar situs Candi Abang. Belum jelas apa bentuk asli dan fungsi dari batu-batu andesit terbut.

 


Semacam tempat dudukan arca yang pecah dan terpendam.

 


Batu andesit penyusun candi yang juga dapat ditemui di sekitar situs Candi Abang.

 

Ada sejumlah pihak yang meyakini bahwa di dalam Candi Abang ini tersimpan harta karun. Karenanya, pada tahun 2002 pernah terjadi penggalian di situs Candi Abang yang turut berdampak pada rusaknya sejumlah benda purbakala di sekitar situs. Benar-benar hal yang patut disayangkan. #sedih

 


Anak-anak desa yang menemani kami menjelajah situs Candi Abang.

 


Batu unik di dekat Candi Abang yang dinamakan Watu Payung. Tahu kan kenapa dinamai seperti itu? #senyum.lebar

 

Candi ini dikelilingi oleh hutan dan lembah. Di dalam hutan juga terdapat sebuah batu yang menurut anak-anak yang kami temui bernama watu payung. Kurang tahu apakah batu tersebut juga merupakan peninggalan purbakala atau bukan.

 


Selain kambing-kambing yang merumput, juga ada remaja yang pacaran di sini. Beh!

 

Aku heran mengapa tidak ada pos BP3 di Candi Abang ini? Apakah memang candi ini sengaja dibiarkan begitu saja? Lantas, bagaimana jika kasus penggalian untuk mencari harta karun terulang kembali?

 

Kemungkinan besar, mustahil untuk bisa mengkonstruksi kembali kemegahan bangunan Candi Abang seperti di masa lampau. Akan tetapi, dengan kondisi situs Candi Abang yang seperti ini, minimal kita bisa menjaganya agar kelak di kemudian hari kondisi Candi Abang tidak jauh berubah dari hari ini.

 

Pembaca apa sudah pernah ke Candi Abang?

NIMBRUNG DI SINI