HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Kupu-Kupu dan Air Terjun Bantimurung

Senin, 2 April 2012, 16:00 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Hmmm, kupu-kupu dan air terjun. Sebagai seorang tukang khayal, menurutku dua hal tersebut adalah kombinasi yang cantik. Jadi, jangan salahkan aku kalau lantas aku langsung berkhayal akan ribuan kupu-kupu berterbangan menghiasi derasnya kucuran air terjun lengkap dengan suara-suara penghuni hutan yang lain.

 

Ah, amboinya...

 

Air terjun yang dimaksud bernama Air Terjun Bantimurung. Sayang sekali, letaknya bukan di pulau Jawa, melainkan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Air terjun ini termasuk bagian dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jaraknya 45 km dari Makassar atau hanya 45 menit dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

 

Rute menuju ke Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung cukup mudah. Dari kota Makassar arahkan kendaraan menuju Jl. Poros Makassar – Maros kemudian mengikuti arahan yang banyak tersebar di sepanjang jalan raya. Panduan menggunakan angkutan umum, bisa Pembaca simak di blog ini.

 

 

Sepanjang perjalanan, hamparan sawah nan hijau dan rumah-rumah adat menghiasi pemandangan. Sepintas aku merasa suasanya mirip di Jogja, terutama ketika menyusuri sungai yang berada di sepanjang tepi jalan raya. Mirip seperti suasana ketika menyusuri selokan Mataram.

 

Hanya saja, perasaan aneh mulai muncul. Sebab sedari tadi jalannya lurus-mulus alias tak ada tanjakan. Medan yang menyenangkan bagi para pesepeda. Namun apa ada air terjun yang letakknya tidak di ketinggian?

 

Menjelang memasuki wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung perasaan gundah itu sirna, berganti ketakjuban akan banyaknya bukit-bukit gamping yang berdiri kokoh di tengah hamparan persawahan. Hmmm...menarik, jadi di tengah perbukitan gamping ini ada air terjun yang dihuni oleh ribuan kupu-kupu kah?

 

 

Menurut blog ini, Bantimurung berasal dari bahasa Bugis, benti dan merrung. Benti berarti air, dan merrung berarti bergemuruh. Namun ada yang memelesetkan Bantimurung menjadi tempat untuk membanting kemurungan. Hehehe, ada-ada saja. #senyum.lebar

 

Tiket masuk Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung sebesar Rp10.000 untuk orang dewasa, anak-anak Rp5.000, dan turis asing Rp20.000. Berhubung aku berkunjung di hari Senin (24/10/2011) dan masih pukul 10.00 WITA, alhasil pengunjungnya nggak terlampau banyak. Tapi jangan salah, katanya pak petugas jaga, kalau di hari libur pengunjungnya padat banget! Seakan-akan seluruh orang Makassar ramai-ramai berwisata kemari >.<.

 

 

Suasana di dalam Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung cukup tertata rapi sebagai tempat wisata. Kenapa aku sebut “cukup”, sebab ya kualitasnya setara sebagai tempat wisata masyarakat desa yang sederhana. Sekilas mirip di Umbul Cokro, Klaten karena banyak kolam renang yang airnya berasal dari Sungai Pattunuang.

 

 

Di Sungai Pattunuang inilah Air Terjun Bantimurung berada. Tingginya “hanya” 15 meter. Jadi, arus airnya tidak terlampau deras.

 

Hanya saja, yang perlu diwaspadai adalah batu-batu di sekeliling air terjun yang sangat...licin. Pantas saja, ada penyewaan ban untuk bermain perosotan di antara bebatuan air terjun. Terlihat menyenangkan, tapi sayangnya tidak buatku! Sebab aku kan motret dan wajib hati-hati dalam melangkah supaya tidak terpeleset. Doh!

 

 

Di samping air terjun terdapat sebuah tangga yang mengarah ke puncak air terjun. Penasaran, aku pun menyusuri tangga tersebut dan tibalah aku di sisi lain dari taman nasional.

 

Suasana di sana 100% berbeda, karena benar-benar di tengah hutan. Jalan semen yang aku pijak masih terbentang panjang. Jadilah aku susuri jalan semen itu, trekking di tengah hutan tropis yang panasnya bukan main.

 

Di beberapa tempat terlihat beberapa kios warung dan bangku-bangku yang berjejer rapi. Sayangnya, tidak ada yang berjualan yang artinya aku harus makin sabar menahan haus. Nasib...

 

 

Kira-kira beratus-ratus meter kemudian, tibalah aku di sebuah pesisir Sungai Pattunuang yang dipagari. Bentuknya mirip danau yang disebut Danau Toakala. Menurut warga, katanya pernah ada pengunjung yang tewas berenang di sungai. Entah karena lalai dengan dasar sungai yang cukup dalam atau karena hal-hal lainnya. Bila dibandingkan dengan kondisi di Air Terjun Bantimurung, aku merasa tempat sunyi inilah yang paling banyak dihuni oleh kupu-kupu.

 

Bila kita melongok dari pagar akan tampak sebuah air terjun lagi, yang sepertinya terlarang untuk dikunjungi. Yah, mungkin air terjun itu adalah surga bagi para kupu-kupu yang nggak boleh diganggu oleh manusia, atau mungkin ada hal-hal lain yang aku tidak tahu?

 

Oh iya, kupu-kupu di air terjun ternyata tidak sebanyak yang kubayangkan. Yang tampak berterbangan sekitar belasan ekor saja. Air terjun Bantimurung sebagai surga kupu-kupu itu sepertinya hanya tinggal dongeng belaka.

 

 

Sebabnya? Hiruk-pikuk manusia yang kian padat (terutama di hari libur) sepertinya membuat para kupu-kupu menjauhi pesona air terjun. Yang demikian ini adalah buah simalakama dari pengembangan pariwisata, di mana kegiatan pariwisata akan menganggu lingkungan di sekitarnya.

 

Jadi mungkin sudah tak layak lagi Air Terjun Bantimurung mendapat predikat surga kupu-kupu. Ah, jangan-jangan predikat itulah yang memancing banyak orang untuk bertandang kemari dan pada akhirnya menggusur surga bagi para insekta bersayap indah itu.

 

Tentu Pembaca juga tertarik dengan air terjun yang menjadi surga bagi para kupu-kupu bukan? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI