navigation

PEKOK ke Curug Banyunibo Patuk

terbit Kamis, 24 Maret 2011, 07:50 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

https://mblusuk.com/gambar/2011/lain-lain-2011/cbanyunibohead.jpg

Satu hal yang sempat bikin aku penasaran (lagi) bahwa ada suatu air terjun alias curug di kabupaten Gunungkidul. Tepatnya, berada di Kecamatan Patuk yang selalu dan selalu kami lewati jika bersepeda di seputar wilayah Gunungkidul. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa melewatkan air terjun ini?

 

papan petunjuk kecamatan Patuk, Gunungkidul di zaman dulu tahun 2011
Rupanya masih ada PR di Kecamatan Patuk, Gunungkidul.

 

Maka dari itu, di hari Rabu (16/3/2011) tim PEKOK Ranger–aku, Angga, Pakdhe Timin, Anwar, dan Yudhis–bersepeda ke Curug Banyunibo alias Air Terjun Banyunibo alias Grojogan Banyunibo… terserah bagaimana Pembaca menyebut air terjun deh #senyum.lebar.

 

Yang jelas ini bukan candi yang ada di Prambanan sana. #senyum

 


Pekok Ranger menjajah Gunungkidul! #senyum.lebar

 

Kami berkumpul di seputar wilayah Susuh Manuk Kidul yakni di Indomaret Sorogenen di timur Jl. Raya Yogyakarta – Solo selepas AAU. Meski Pakdhe Timin menetapkan jam berkumpul pukul 6 pagi, nyatanya kami baru berangkat pukul 8 pagi. Ah ya, lupa aku kalau ini PEKOK yang menganut paham WIP (Waktu Indonesia PEKOK) yakni jam berangkat bisa molor sesuai ke-PEKOK-an peserta, hehehe. #hehehe

 

Dari titik kumpul, kami bergerak ke selatan menuju Piyungan dan dimulailah tantangan kami yang pertama; menaklukkan tanjakan bukit bintang menuju Patuk!

 

Jujur, banyak di antara kami yang tersendat-sendat ketika menanjak. Cuaca yang panas (tapi Alhamdulillah biru cerah), asap knalpot truk, dan ditambah tanjakan yang jahanam benar-benar menguras stamina kami. Hingga kami sempat merindukan tanjakan ke Selo yang walaupun terjal namun adem ayem. #hehehe

 


Sarapan sambil istirahat di Patuk. Nasi sayur + telur ceplok cuma Rp5.000! Murah banget!

 

Sesuai dengan panutan petunjuk di blog yang kami baca, titik tujuan berikutnya adalah Desa Wisata Kerajinan Topeng Batik di Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk. Jaraknya hanya sekitar 5 km dari kota Kecamatan Patuk. Medan jalannya juga berupa turunan. Sejauh ini nggak ada masalah berarti.

 

Masalah berat baru muncul ketika kami tiba di gerbang masuk Desa Wisata Bobung. Segera kami mantapkan niat. Sebab, jalan yang kami hadapi tidak lain adalah tanjakan jahanam, hahahaha! #senyum.lebar

 


They said we are slow walker, but we will never walk back!

 

Sepanjang perjalanan menanjak, kami melewati kebun-kebun cokelat. Sempat pula berhalusinasi kalau di ujung tanjakan bakal ada kafe yang menyajikan menu es cokelat. Nyam! Tapi toh hal itu tak pernah ada. #sedih

 

Pada kesempatan ini pula kami bertemu dengan Oki, seorang siswa kelas 2 SD Sendangsari yang tiap hari pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki melahap tanjakan. Lha kami yang sudah dewasa dan bersepeda lewat sini saja capeknya bukan main, bagaimana dengan Oki? Salut untuk Oki! Tetap bersekolah ya Oki! #senyum.lebar

 


Oki yang jalan kaki ke sekolah. Semangat Oki!

 

Kami tiba di Dusun Batur, lokasi di mana Curug Banyunibo berada. Warga setempat dengan ramah memandu kami menemukan jalan menuju air terjun. Jadi, kami harus mengambil arah kiri di  sebuah pertigaan di suatu jalan menanjak. Fiuh… untunglah kami tak perlu melanjutkan menanjak. >.<

 


Jalan desa menuju Curug Banyunibo.

 


Petunjuk samar-samar menuju air terjun.

 

Kami menumpang parkir sepeda di rumah salah satu warga. Kemudian berjalan kaki masuk hutan sekitar 300 meter. Akhirnya, sampailah kami di Curug Banyunibo. Horeee! #senyum.lebar

 

Sekadar info. Curug Banyunibo terletak di ketinggian 180 meter dpl. Sedangkan Patuk di ketinggian 325 meter dpl.

 


Jalan kaki masuk hutan dulu.

 


Air terjun sudah dekat! #senyum.lebar

 

Untuk bisa mendekat ke Curug Banyunibo, kami harus melewati berbagai bongkahan batu yang super-besar. Alhasil, mulailah kami mencari celah diantara celah batu-batu besar itu, merayap di pinggir jurang, dan bahkan memanjat batu seperti yang Pakdhe Timin dan Yudhis lakukan.

 


Efek samping terlalu banyak memanjat batu adalah merasa sebagai Spiderman. #hehehe

 


Alamaaaak! Masih ada rintangan batu-batu besar banget...doh!

 

Menurut penuturan warga setempat yang tengah mencari kayu, batu-batu besar ini rubuh saat gempa bumi DIY-Jawa Tengah tahun 2006 silam. Debit Curug Banyunibo ini bertambah seiring dengan datangnya musim hujan (juga kalau banjir, hehehe #hehehe). Sayangnya, air terjun ini tidak mendukung untuk kegiatan bermain air dan mandi. #hehehe

 

Jadi, kalau Pembaca ingin mengunjungi Curug Banyunibo, sebaiknya di akhir musim penghujan saja. Sebab, airnya masih jernih dan belum keruh berwarna kecokelatan.

 


Air terjun ini terlihat dari seputaran Gunung Purba Nglanggeran lho!

 

Apa cerita selesai setelah kami sampai di air terjun?

 

Jelas tidak!

 

Sesuai prinsip PEKOK, bahwa rute pulang adalah hal yang tidak kalah pekok! Dari Curug Banyunibo, kami berencana mampir ke Luweng Sampang yang terletak di kecamatan Gedangsari. Jadilah kami kembali menyusuri Jl. Wonosari ke arah Wonosari. Di pertigaan Sambipitu, kami mengambil cabang jalan menuju Gedangsari.

 


Nuntun is legal! #senyum.lebar

 

Setelah perjalanan panjang tak berujung, tibalah kami di suatu desa bernama Hargomulyo yang merupakan kota kecamatan Gedangsari. Saat itu, Angga mulai merasa ada yang nggak beres dengan kondisi sekitar.

 

“Wij, di sini kok dikelilingi gunung ya?”

 

Pakdhe Timin pun menimpali, “Argo kan artinya gunung. Seperti di Cangkringan kan ada desa Argomulyo di kaki Merapi juga toh?”

 

Modyar! Artinya untuk lolos dari Gedang Sari kami harus menembus pegunungan yang mengelilinginya! Artinya…tanjakan lagi! Doh! >.<

 


Seneng banget sampai di puncak tanjakan Gedangsari. #senyum.lebar

 

Kami tiba di puncak pegunungan (ketinggiannya 405m dpl) dengan bersusah payah. Namun segala penderitaan kami terbalaskan dengan panorama matahari terbenam yang sangat indah. Subhanallah! Nggak heran, banyak muda-mudi desa yang melewatkan senja di puncak ini.

 


Menikmati matahari terbenam setelah sekian lama melibas tanjakan.

 


Lokasi favorit remaja setempat untuk nongkrong sore-sore.

 


Pemandangan selepas senja di suatu tempat di kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

 

Dari puncak kami turun ke Kecamatan Gantiwarno di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Selebihnya, kami tinggal mencari arah menuju Jl. Raya Yogyakarta – Solo dan bersepeda ke arah barat menuju Jogja. Selesai deh! #senyum.lebar

 

Aku sendiri tiba kembali di rumah sekitar pukul 10 malam. PEKOK kali ini memang tidak se-pekok saat mengelilingi Merapi. Tapi, tetap saja pekok karena tujuan yang semestinya dekat bisa dibuat lama. Mungkin karena aku nggak piawai mengoperasikan GPS milik Paklik Turtlix. #sedih

 

Pembaca sudah pernah berkunjung ke Curug Banyunibo di Patuk ini? Atau mungkin lewat jalan menuju arah Gedangsari?

NIMBRUNG DI SINI