HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Nyepeda Setinggi 1363m dpl ke Ketep

Jumat, 4 Juni 2010, 15:16 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Apa? 1.363 meter di atas permukaan laut? Seperti apa itu?

 

Kalau sekiranya Pembaca bertanya seperti itu, mungkin jawaban berikut yang akan aku lontarkan.

 

Kalau bernapas, bakal terlihat asapnya!

 

Nah, kebayang kan dinginnya seperti apa? Hehehe. #hehehe

 

 

Obsesi untuk mencari air terjun yang lebih sensasional dari air terjun di Kebumen, menggiring aku, Paklik Turtlix, Indomielezat, Pipink, Angga, dan Pakdhe Timin untuk menjelajah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tersebutlah suatu nama air terjun, Kedung Kayang, yang konon berparas elok.

 

Di peta, lokasi air terjun itu hanya berjarak 3 kilometer dari obyek wisata Ketep Pass. Berhubung Ketep Pass itu berada di kaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, yah...sudah pastilah jalan menuju ke sana itu menanjak.

 

Demi menghemat tenaga, kami berencana bermalam di rumah kerabatnya Pakdhe Timin yang bertempat di Kecamatan Pakis, Magelang. Jadi, ini kegiatan bersepeda yang dilangsungkan selama 2 hari 1 malam. #senyum.lebar

 

Pada hari Jum’at (28/5/2010), bertepatan dengan perayaan Waisak, kami berenam berangkat dari Jogja menuju Pakis. Kami tak menyangka bahwa ini adalah bikepacking tergila yang bakal kami lakukan. #senyum.lebar

 


Rapat dulu, menentukan rute, dan menyiapkan mental melahap tanjakan.

 

Etape 1, Jogja – Mungkid (45 km)

Kami menyusuri Selokan Mataram ke arah barat hingga sampai di Bendungan Karang Talun. Dari Bendungan Karang Talun dilanjutkan bersepeda ke Kecamatan Mungkid via Jl. Kalibawang – Muntilan. Halangan utamanya adalah Tanjakan Bendo di Bendo, Kalibawang yang panjang dan terjal.

 


Titik mulai di rumahnya Indomielezat di Jl. Magelang.

 


Pose dulu di Selokan Van Der Wijck, dekat dengan Bendungan Karang Talun.

 

Etape 2, Mungkid – Blabak, Rumah Pipink (6 km)

Prosesi waisak membuat suasana di Mungkid ramai oleh para peziarah. Mau tak mau kami harus putar otak mencari jalan kampung untuk bisa menembus keramaian. Beruntunglah karena waisak, maka cuaca saat itu terik cerah. #hubungannya.apa

 

Dari Mungkid kami mampir dulu ke rumahnya Pipink. Jadi, Pipink ini punya 2 rumah, satu di Jogja dan satunya di Magelang. Di rumahnya Pipink ini kami istirahat siang (salat + makan) dan meminta ijin Ibunda Pipink untuk menculik putri semata wayangnya itu untuk diajak bersepeda, hahaha. #senyum.lebar

 


Sukses meminang Pipink untuk diajak bersepeda. #senyum.lebar

 

Etape 3, Blabak, Rumah Pipink – Kota Magelang (7 km)

Dari rumahnya Pipink menuju kota Magelang itu gampang banget. Ikuti saja Jl. Raya Yogyakarta – Magelang. Tapi sayangnya, hari itu Jl. Raya Yogyakarta – Magelang sedang diperbaiki. Lajurnya jadi sempit deh!

 


Jl. Raya Yogyakarta – Magelang yang sedang diperbaiki. Sempit dan bikin maceeet!

 

Oleh karena kami tak mau tersenggol oleh truk dan bus antar kota, terpaksalah kami pindah jalur ke pinggir jalan raya yang medannya berupa jalan tanah yang rusak. Doh! Serasa offroad!

 


Foto bareng dulu sebelum nanjak...

 

Etape 4, Kota Magelang – Pakis (17 km)

Inilah medan yang paling ganas beringas jahanam sepanjang perjalanan di hari Jum'at itu. Dari kota Magelang ke kota Kecamatan Pakis itu jaraknya sekitar 17 km. Medan jalannya FULL TANJAKAN JAHANAM!

 

Lebih parahnya lagi, hujan deras dan kabut akhirnya datang menyambut. Kami sempat berhenti berteduh tapi sempat pula hujan-hujanan. Lha kalau berteduh terus kapan sampainya? Apalagi sebentar lagi sudah magrib.

 


Dua orang saksi mata yang beruntung melihat aku cegukan dan muntah-muntah. #hehehe

 

Di kondisi nanjak, basah, dan dingin seperti ini kondisi badanku drop. Alhasil aku cegukan dan muntah-muntah di sekitar km 16. Nggak hanya aku, beberapa kawan juga mengalami hal-hal aneh sepanjang perjalanan. Seperti Angga yang merasa melihat "penampakan".

 

Hiiii....

 

Etape 5, Pakis – Desa Kajangkoso, Rumah Pendeta Sabar (4 km)

Kami sampai di kota kecamatan Pakis pas banget menjelang magrib. Alhamdulillah juga langsung disambut oleh warung angkringan persis di pinggir jalan raya. Jadinya kami berhenti dulu di angkringan. Mengisi "bensin perut" sambil bersenda-gurau tentang pengalaman melibas tanjakan yang kurang ajar barusan. #senyum.lebar

 


Angkringan tenda oranye akan selalu terkenang di hati. #senyum.lebar

 

Selepas beristirahat di angkringan, kami pun lanjut bersepeda malam ke Desa Kajangkoso, menuju rumah Pendeta Sabar yang merupakan kerabatnya Pakdhe Timin. Lumayan ngeri juga bersepeda malam ke sana. Sebabnya, jalan menuju Desa Kajangkoso itu penuh turunan curam plus gelap gulita alias nggak ada penerangan jalan. Ketinggian saat ini sekitar 864 meter di atas permukaan laut.

 

Bermalam di Rumah Pendeta Sabar di desa Kajangkoso

Hmm, dari info yang aku peroleh, Desa Kajangkoso ini menyimpan candi yang konon lebih besar dari Candi Borobudur. Ada yang berkata, kalau candi di Desa Kajangkso ini terkuak, maka Candi Borobudur akan runtuh. Namun, aku tak sempat menjelajah Desa Kajangkoso. Sebab, harus istrahat untuk esok hari yang sepertinya masih penuh rute menanjak.

 


Dingin bok! Kalau dinginnya seperti ini kayaknya maling juga males keluar malam.

 

Bangun pagi di hari Sabtu (29/5/2010) dengan hawa yang dingin bikin menggigil. Ini toh rasanya hidup di desa di lereng Gunung Merbabu. Setelah sarapan, mandi, dan menghangatkan badan, kami pamit kepada Pendeta Sabar sekeluarga untuk melanjutkan perjalanan menuju Ketep Pass. Waktu menunjukkan sekitar pukul setengah sepuluh siang.

 


Rombongan siap melibas tanjakan di hari yang baru. #senyum.lebar

 

Etape 6, Desa Kajangkoso, Rumah Pendeta Sabar – Desa Kaponan (8 km)

Dari rumah Pendeta Sabar menuju Desa Kaponan masih dihiasi rute tanjakan jahanam. Yang menjadi penyemangat adalah rambu hijau penunjuk arah ke Ketep di Desa Kaponan. Alhamdulillah karena nggak hujan dan nggak kedinginan kondisi badanku normal-normal saja. #senyum.lebar

 


Jalan masih panjang, berkelok, dan nanjak!

 

Kami sampai di Desa Kaponan sekitar pukul setengah 12 siang. Ketinggian mencapai 1.241 meter di atas permukaan laut.

 

Etape 7, Desa Kaponan – Ketep Pass (16 km)

Dari Desa Kaponan, kami bersepeda mencapai titik tertinggi, yaitu 1.363 meter di atas permukaan laut. Medan jalan setelah titik tertinggi itu berubah menjadi penuh dengan turunan tajam.

 

Pemandangan pun berubah. Semula dihiasi permainya kebun-kebun sayur. Saat melintasi Taman Nasional Gunung Merbabu, ganti terpuaskan oleh pemandangan hutan pinus yang cantik.

 


Hutan Pinus nggak cuma ada di Mangunan. Di Merbabu juga ada toh.

 

Sekitar jam satu siang sampailah kami di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu. Di sini Indomielezat sempat memborong buah stroberi untuk oleh-oleh orang rumah. Pas di warung stroberi ini kami mengalami kejadian aneh. Hujan mendadak turun tapi tidak merata. Berbataskan jalan raya, di satu sisi hujan, sementara di sisi yang lain malah tidak hujan. Aneh...

 


Masuk Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu.

 


Harga stroberi jelas lebih murah di sini daripada di Jogja.

 

Etape 8, Ketep Pass – Air Terjun Kedung Kayang (3 km)

Sekitar setengah jam kemudian, Alhamdulillah, sampai juga di Ketep Pass! YES!

 


Sampai Ketep Pass!!! #senyum.lebar

 

Di seputar Ketep Pass ini kami bertemu dengan Mark, warga Australia yang juga seorang pesepeda. Di hari Sabtu itu Mark telah menempuh rute Jogja – Selo dan mampir di Ketep. Sebelum melanjutkan perjalanan ke obyek utama Air Terjun Kedung Kayang, kami istirahat makan dan salat di rumah makan langgananku.

 


Bertemu dengan Mark, pesepeda Australia di Ketep Pass. #senyum.lebar

 


Harga mahal sedikit nggak apa-apa lah. Yang penting sudah sukses sampai Ketep Pass. #senyum.lebar

 

Rute menuju Air Terjun Kedung Kayang masih diwarnai tanjakan, turunan, dan kelokan tajam setiap bertemu dengan sungai. Untuk masuk ke Air Terjun Kedung Kayang, pengunjung dikenakan tarif Rp2.250 per orang.

 

Pengunjung dapat memilih rute untuk naik ke atas air terjun atau ke dasar air terjun. Kami sendiri memilih opsi yang terakhir. Jalan menuju dasar air terjun berupa jalan tanah dan cukup licin di musim hujan.

 


Kalau ke air terjun jalannya bagus begini kan enak.

 


Yah! Ketemu sama jalan tanah juga. Awas kepleset!

 

Air Terjun Kedung Kayang sendiri sebenarnya sangat elok. Ada dua air terjun besar dan banyak air terjun kecil di lokasi yang sama. Sayangnya, kebersihannya kurang terjaga. Ada banyak sampah tersebar di mana-mana. Airnya sendiri berwarna kecokelatan, tidak jernih. Mungkin karena semalam diguyur hujan lebat jadi sungainya banjir.

 


Air terjunnya sih besar, sayangnya airnya cokelat dan lingkungan sekitarnya kotor.

 

Misi sudah terlaksana, saatnya pulang ke Jogja. Namun, hujan deras yang mengguyur lokasi air terjun dan padatnya jadwal Pipink dan Pakdhe Timin di Sabtu malam, membuat kami memutuskan untuk loading ke Jogja dari Muntilan.

 


Misi dinyatakan selesai! #ketok.palu

 

Etape 9, Melarikan Diri dari Air Terjun Kedung Kayang (20-an km)

Di tengah hujan lebat, kami harus menaklukkan tanjakan untuk kembali ke Ketep. Dari Ketep, kami melaju hati-hati menuruni jalan raya yang berlubang parah. Di Muntilan, sudah menanti Pak Mul dengan mobil pickup-nya, siap mengantar kami kembali ke Jogja.

 


Cara tercepat dan ternyaman kembali ke Jogja. #senyum.lebar

 

Kami semua naik mobil pickup kecuali Angga. Dirinya memang nggak berniat naik pickup dan tetap bersepeda sampai Jogja. Yang membuat kaget kami, Angga dengan sepedanya berhasil mendahului kecepatan mobil pickup. Wedalah...

 


Pernyataan Angga yang kontroversial dan menuai prestasi itu...

 

Air Terjun Kedung Kayang sudah sukses dijelajahi. Dengan rute yang penuh tanjakan, tak kami rekomendasikan kepada pesepeda pemula, maupun pesepeda yang tak kuat menanjak.

 

Jadi, besok ke air terjun mana lagi ya? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI