HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Lapangan Koran

Jumat, 27 November 2009, 14:56 WIB

Pagi hari berlangit biru di Idul Adha 1430 H ini aku sempatkan untuk salat Ied di alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Walau nggak seramai Idul Fitri kemarin, tapi toh alun-alun utara tetap padet-jipet. Penuh dengan kendaraan bermotor dan manusia-manusia berbusana muslim.

 

Tentu saja, perlengkapan yang tak boleh tertinggal kalau salat di lapangan itu adalah kertas koran dan sajadah. Kenapa? Karena lapangan alun-alun utara itu nggak dilapisi karpet beludru, alias hanya beralas tanah-pasir. Apalagi kalau musim hujan begini bisa-bisa jadi becek.

 

Salat berjalan tertib dan lancar. Nggak ada makmum yang mendahului gerakan Imam. Mungkin karena Imam ndak pakai baca Surat Yasin #hehehe. Tapi eh tapi, setelah salat usai barulah makmum punya hak kuasa mendahului Imam.

 


Kau tinggalkan aku (koran) tanpa kau menyimak khutbah...

 

Mungkin dikiranya khutbah Imam nggak gaul alias bikin bosen dan mati gaya. Maka dari itu sebagian (besar) makmum langsung balik arah meninggalkan alun-alun utara. Yang bertahan cuma beberapa, termasuk diriku yang sibuk mengagumi dua gunung di arah utara.

 

Tapi toh semua makmum itu baik kok. Mau yang langsung pergi atau yang bertahan mendengarkan khutbah. Mereka sama-sama meninggalkan cindera mata untuk alun-alun utara. Apa itu? Kertas koran!

 


Kau biarkan nenek renta ini memungut aku (koran), teganya kau...

 

Katanya semboyan, kebersihan itu sebagian dari iman. Artinya, kalau kita nggak bersih, berarti kita kehilangan sebagian iman kita. Secara logis lah, manusia saja suka dengan yang bersih-bersih. Masak ya Tuhan malah suka dengan yang kotor-kotor? Betul nggak Pembaca?

 

Ironisnya, kertas koran yang ditinggalkan itu malah jadi sumber pendapatan buat para pemulung kertas. Lumayan kan bisa dikilokan? Apa ya kita perlu berterima kasih kepada mereka, karena mereka itulah yang telah mengopeni cindera mata kita. Sehingga Alun-alun terbebas dari predikat lapangan koran.

 

Tapi...bukannya itu malah jadi dilematis ya? Di satu sisi kalau kita mentaati semboyan nanti para pemulung itu nggak beroleh penghasilan dunk? Tapi kalau kita tinggalkan itu koran sama artinya kita buang sampah sembarangan dunk?

 

Bertele-tele nggak sih? Tapi toh ya nggak ada tuh makmum yang dengan sukarela menghampiri pemulung dan berkata ”Pak/Bu/Mas/Mbak ini ada kertas koran bekas, silakan dipergunakan.” Yang ada malah langsung saja makmum ngacir pergi.

 


Kau tidak hanya kau saja, kalian semua membuang kami (koran) ... apa mau kalian?

 

Namun itulah berkah Idul Adha. Pemulung dapat koran. Kaum miskin dapat daging. Yang kelaperan dapat sate kambing #hehehe.

 

Nah, gimana dengan aku sendiri? Itu koran kubawa pulang lagi. Kok? Lumayan tuh buat bungkus ikan asin kucingku #senyum.lebar.

 

Nah Pembaca, berapa lembar kertas koran yang anda sia-siakan di salat ied kemarin? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI