Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Coba tanya ke orang-orang apa yang pertama kali terpikirkan begitu mendengar nama Kabupaten Garut di Jawa Barat. Mayoritas orang pasti bakal menyebut makanan Dodol Garut. Betul? #senyum.lebar
Nah, maka dari itu, mari sekarang kita ubah anggapan tersebut! Sebabnya, Garut nggak hanya terkenal dengan dodol Garut, melainkan juga candi Hindu yang dikelilingi pemandangan yang indah banget. Candi di Garut yang aku maksudkan itu adalah Candi Cangkuang. Sesuai namanya, letak candi ini ada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Yuk! Kita ke Garut! #senyum.lebar
Rute dari Bandung ke Garut Mencari Candi
Kebetulan, hari Minggu yang lalu (12/7/2009) aku sedang liburan di Bandung, hehehe #hehehe. Oleh sebab itu, aku sempatkan diri untuk singgah di Candi Cangkuang. Untuk mencapai Candi Cangkuang dari Kota Bandung itu gampang banget. Terutama, bagi Pembaca yang membawa kendaraan pribadi. Berikut ini panduannya.
- Bila Pembaca tinggal di Kota Bandung, silakan arahkan kendaraan masuk tol via Gerbang Tol Pasteur. Kemudian menempuh jalan tol sejauh 30 km dan keluar di Gerbang Tol Cileunyi. Bayar Rp6.000 buat biaya tol (soalnya aku naik mobil).
- Dari sana, ikuti saja Jl. Raya Rancaekek menuju Garut. Oh iya, di Jl. Raya Rancaekek km 25 juga ada situs purbakala menarik bernama Candi Bojongmenje.
- Bila Pembaca melintasi Jl. Raya Rancaekek ke arah Garut ini nanti bakal tiba di Nagreg. Sudah tau dong kontur jalan di Nagreg? Jelas wujudnya tanjakan yang panjang dan curam #senyum.lebar. Kondisi kendaraan harus prima kalau nggak mau tersiksa melewati jalanan terjal selepas Pasar Nagreg. Saranku sih berangkat ke Garutnya pagi saja. Supaya jalan di Nagreg ini nggak terlalu padat sama kendaraan.
- Dari Nagreg ini tetap mengikuti petunjuk ke arah Garut. Tepatnya ke Kecamatan Leles. Nah, selepas masuk wilayah Kabupaten Garut, ikuti papan petunjuk yang mengarah ke obyek wisata Situ Cangkuang.
Eh, tunggu dulu! Dalam bahasa Sunda, kata situ itu kan artinya danau. Lha, bukannya kita sekarang sedang nyari candi ya? Kok malah tujuannya ke danau ini gimana?
Eits! Tenang dulu! #senyum.lebar
Yang penting nikmati saja perjalanan sejauh 46 km dari Kota Bandung ini. Mumpung pemandangan di Garut masih sedap dipandang mata. Apalagi pas pagi. Langitnya biru! Subhanallah!
Ke Candi Cangkuang Naik Perahu
Nah, sampailah kita di obyek wisata Situ Cangkuang, suatu danau dengan pemandangan indah yang terletak di Kecamatan Leles. Setelah itu, bayar dulu parkir kendaraan Rp5.000 buat mobil dan Rp2.000 buat motor. Sedangkan bagi pengunjung ditarik biaya masuk Rp2.000 per orang.
Silakan belalakkan mata! Lihatlah hamparan pemandangan indah danau yang dikelilingi pegunungan dan sawah yang merona hijau. Cantik betul! Subhanallah! Bagus lho buat obyek foto! #senyum.lebar
Tapi lagi-lagi, di mana sih Candi Cangkuangnya?
Candi Cangkuang ada di pulau di tengah danau!
Candi di kaki gunung ada.
Candi di tengah sawah ada.
Candi di kebun salak ada.
Semua pernah aku lihat. Tapi candi di pulau di tengah danau? Wow! Baru sekali ini aku ngerti. Kayaknya menarik ya Pembaca? #senyum.lebar
Cara untuk menyebrang ke pulau yang letaknya di tengah Situ Cangkuang ini adalah dengan naik perahu. Tarif angkutnya sih murah. Hanya Rp3.000 per orang. Tapiii, harus nunggu penuh 25 orang dulu baru perahunya mau jalan. Beh! Payah!
Lha terus gimana kalau mau bergerak cepat? Apa ada ide lain? Ada lah! Negosiasi saja sama paguyuban pendayung perahu! #senyum.lebar
Nah, waktu itu aku sampai di Situ Cangkuang kan kepagian. Sekitar pukul 08.00 gitu dan penumpang yang di perahu baru ada 7 orang (8 orang kalau dengan aku). Setelah negosiasi sama Aa pendayung, diputuskanlah bayar Rp7.000 per orang asal perahunya segera berangkat.
Kalau aku sih nggak apa-apa bayar sedikit mahal. Untungnya bukan aku yang negosiasi, hahaha #senyum.lebar. Soalnya kan, aku sama sekali nggak bisa bahasa Sunda!. #hehehe
Oh iya, semisal kita ingin pulang dari pulau, kita bisa ngomong ke Aa pendayung perahu. Nanti bakal dianterin balik dan dirinya bakal balik ke pulau lagi nunggu penumpang lain yang belum kembali. Pokoknya jangan khawatir nggak bisa balik deh.
Semisal Pembaca mabuk danau (eh, masak ada ya? #hehehe) bisa juga ke pulau dengan trekking menyusuri jalan pegunungan. Tapi rutenya lebih jauh dan pastinya lebih menantang.
Sekilas Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terdiri dari satu bangunan induk tanpa didampingi candi perwara. Bangunan candi memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah timur. Di dalam bangunan induk terdapat arca Dewa Siwa.
Penemuan Candi Cangkuang dilaporkan pada tahun 1893 oleh pria berkebangsaan Belanda bernama Vorderman. Ia melaporkan bahwa di pulau di tengah Situ Cangkuang terdapat makam kuno dan arca yang rusak. Pada tahun 1966, Tim Sejarah Leles beserta BP3 mulai meneliti situs purbakala tersebut.
Dari penelitian, terungkap adanya struktur kaki candi. Sayang, batu-batu candi sudah banyak yang lenyap. Beberapa di antaranya malah beralih fungsi sebagai batu nisan. Jadi, batu asli Candi Cangkuang yang masih tersisa hanya sekitar 40% saja. Proses pemugaran Candi Cangkuang berlangsung dari tahun 1974 – 1976.
Asimilasi Islam dan Adat di Kampung Pulo
Keberadaan candi Hindu di pulau ini menandakan bahwa dahulu kala terdapat di sekitar sini terdapat suatu pemukiman penduduk. Lha ya nggak mungkin dong kalau jauh dari pemukiman. Nanti siapa yang bangun candinya? Jin? Hehehe. #hehehe
Keberadaan pemukiman penduduk di dekat Candi Cangkuang ini bisa ditilik dari keberadaan suatu nisan kuno yang letaknya ada di sisi utara candi. Nisan kuno ini merupakan bagian dari makam tua Embah Dalem Arif Muhammad. Beliau adalah salah satu pimpinan prajurit Kesultanan Mataram yang mengasingkan diri karena kalah perang melawan Belanda.
Di pulau di tengah Situ Cangkuang ini, Embah Dalem Arif Muhammad melewatkan sisa hidupnya dengan berdakwah ajaran Islam pada penduduk setempat yang kala itu beragama Hindu. Ada juga penduduk yang masih menganut ajaran animisme dan dinamisme. Buah dari aktivitas dakwah beliau adalah terbentuknya suatu komunitas adat yang bernama Kampung Pulo.
Meskipun warga Kampung Pulo hidup berlandaskan ajaran Islam, namun mereka masih kental mempraktekkan adat serta tradisi yang diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Salah satu contohnya, bangunan di Kampung Pulo ini hanya terdiri dari satu masjid dan 6 rumah. Masing-masing rumah ditempati oleh satu kepala keluarga dan diwariskan pada anak perempuan. Bila ada anak lelaki Kampung Pulo yang menikah, maka selambat-lambatnya 2 minggu setelah pernikahan, anak tersebut beserta keluarga barunya harus segera pergi dari Kampung Pulo.
Buku Panduan Rasa Skripsi
Aku puas dengan kunjungan singkat ke Candi Cangkuang dan juga Situ Cangkuang. Selain karena ada candinya (hohoho #senyum.lebar) pemandangan alamnya indah, kombinasi cantik danau, gunung, dan sawah. Aku perhatikan masyarakat sekitar khususnya warga Desa Cangkuang cukup tanggap dengan potensi wisata yang mereka miliki. Sebab, ada banyak usaha-usaha kecil di sekitar lokasi yang semata-mata membuat wisatawan merasa nyaman. Sukses deh menerapkan konsep desa wisata. #senyum.lebar
Oh iya. Di pulau ini juga terdapat Site Museum yang menyajikan banyak informasi dan berbagai peninggalan seputar Candi Cangkuang dan Kampung Pulo. Termasuk di antaranya Al-Qur’an milik Embah Dalem Arif Muhammad dan foto "penampakan" di Candi Cangkuang. Hiiii. #horror
Oh ya artikel ini merujuk kepada buku berjudul Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, karangan Zaki Munawar SH yang dapat diperoleh di Site Museum seharga Rp20.000. Nggak sia-sia deh aku beli buku ini karena memuat banyak informasi menarik. Uniknya, buku ini menganut format skripsi! Dimulai dari Kata Pengantar, BAB I PENDAHULUAN, sampai BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Serasa baca skripsi jadinya, hahaha. #senyum.lebar
Salut deh buat Aa Zaki Munawar SH (sarjana hukum, bukan sarjana arkeologi lho! #hehehe) atas karyanya ini.
Nama cangkuang berasal dari nama jenis pohon pandan, Pandanus furcatus, yang dahulu kala banyak tumbuh di tempat ini.
untuk dikunjungi, saya belum pernah kesana padahal
lokasi tinggal saya di rancaekek tidak terlalu jauh
dari garut. Mungkin liburan ini saya akan kesana. Btw
..terima kasih infonya
Seneng udah bisa mampir kesini, salam hangat dari afrika barat..
Mungkin tinggal masyarakat dan pemerintahnya untuk meningkatkan pemeliharaannya untuk menjaga kelestariaanya.
hatur nuhun kanggo ka Pak Zaky anu parantos ngajajap abdi.
Republik ini memang jagonya situs2 budaya..
Dimana2 selalu ada..
Dan tak pernah sama pula..
Hehehe..
Bagus potonya mas..
Skalian promo budaya.. :D
indaaaaah bgt...
Trims buat pujiannya.
Iya nih, wisna makin pinter aja ngiming2-i pembaca...:D
\"Mau cari sawah yang pemandangannya gunung?\" - Kalo nur sih mending pulang kampung. Latar sawahnya Gunung Kawi. Fufufu...
Btw yang nulis juga Sarjana Matematika lho bukan Sarjana Arkheologi...hehehe...
kemampuan mas ini bertutur dengan dokumentasi foto yg lengkap membuat blog ini menarik.
ini blog yg bagus, beneran!
saya suka sekali lihat foto teratai (even banyak sampah) dan foto gunung itu.... serasa cuci mata...