HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Candi Cangkuang

Selasa, 21 Juli 2009, 07:08 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Coba tanya ke orang-orang apa yang pertama kali terpikirkan begitu mendengar nama Kabupaten Garut di Jawa Barat. Mayoritas orang pasti bakal menyebut makanan Dodol Garut. Betul? #senyum.lebar

 

Nah, maka dari itu, mari sekarang kita ubah anggapan tersebut! Sebabnya, Garut nggak hanya terkenal dengan dodol Garut, melainkan juga candi Hindu yang dikelilingi pemandangan yang indah banget. Candi di Garut yang aku maksudkan itu adalah Candi Cangkuang. Sesuai namanya, letak candi ini ada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

 

Yuk! Kita ke Garut! #senyum.lebar

 

Rute dari Bandung ke Garut Mencari Candi

Kebetulan, hari Minggu yang lalu (12/7/2009) aku sedang liburan di Bandung, hehehe #hehehe. Oleh sebab itu, aku sempatkan diri untuk singgah di Candi Cangkuang. Untuk mencapai Candi Cangkuang dari Kota Bandung itu gampang banget. Terutama, bagi Pembaca yang membawa kendaraan pribadi. Berikut ini panduannya.

 

  1. Bila Pembaca tinggal di Kota Bandung, silakan arahkan kendaraan masuk tol via Gerbang Tol Pasteur. Kemudian menempuh jalan tol sejauh 30 km dan keluar di Gerbang Tol Cileunyi. Bayar Rp6.000 buat biaya tol (soalnya aku naik mobil).
  2. Dari sana, ikuti saja Jl. Raya Rancaekek menuju Garut. Oh iya, di Jl. Raya Rancaekek km 25 juga ada situs purbakala menarik bernama Candi Bojongmenje.
  3. Bila Pembaca melintasi Jl. Raya Rancaekek ke arah Garut ini nanti bakal tiba di Nagreg. Sudah tau dong kontur jalan di Nagreg? Jelas wujudnya tanjakan yang panjang dan curam #senyum.lebar. Kondisi kendaraan harus prima kalau nggak mau tersiksa melewati jalanan terjal selepas Pasar Nagreg. Saranku sih berangkat ke Garutnya pagi saja. Supaya jalan di Nagreg ini nggak terlalu padat sama kendaraan.
  4. Dari Nagreg ini tetap mengikuti petunjuk ke arah Garut. Tepatnya ke Kecamatan Leles. Nah, selepas masuk wilayah Kabupaten Garut, ikuti papan petunjuk yang mengarah ke obyek wisata Situ Cangkuang.

 

Eh, tunggu dulu! Dalam bahasa Sunda, kata situ itu kan artinya danau. Lha, bukannya kita sekarang sedang nyari candi ya? Kok malah tujuannya ke danau ini gimana?

 

Eits! Tenang dulu! #senyum.lebar

 

Yang penting nikmati saja perjalanan sejauh 46 km dari Kota Bandung ini. Mumpung pemandangan di Garut masih sedap dipandang mata. Apalagi pas pagi. Langitnya biru! Subhanallah!

 


Nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan? Hidup Garut! #senyum.lebar

 

Ke Candi Cangkuang Naik Perahu

Nah, sampailah kita di obyek wisata Situ Cangkuang, suatu danau dengan pemandangan indah yang terletak di Kecamatan Leles. Setelah itu, bayar dulu parkir kendaraan Rp5.000 buat mobil dan Rp2.000 buat motor. Sedangkan bagi pengunjung ditarik biaya masuk Rp2.000 per orang.

 

Silakan belalakkan mata! Lihatlah hamparan pemandangan indah danau yang dikelilingi pegunungan dan sawah yang merona hijau. Cantik betul! Subhanallah! Bagus lho buat obyek foto! #senyum.lebar

 


Lagi-lagi! Garut kok punya banyak tempat-tempat indah sih?

 

Tapi lagi-lagi, di mana sih Candi Cangkuangnya?

 

Candi Cangkuang ada di pulau di tengah danau!

 

Candi di kaki gunung ada.
Candi di tengah sawah ada.
Candi di kebun salak ada.

 

Semua pernah aku lihat. Tapi candi di pulau di tengah danau? Wow! Baru sekali ini aku ngerti. Kayaknya menarik ya Pembaca? #senyum.lebar

 

Cara untuk menyebrang ke pulau yang letaknya di tengah Situ Cangkuang ini adalah dengan naik perahu. Tarif angkutnya sih murah. Hanya Rp3.000 per orang. Tapiii, harus nunggu penuh 25 orang dulu baru perahunya mau jalan. Beh! Payah!

 

Lha terus gimana kalau mau bergerak cepat? Apa ada ide lain? Ada lah! Negosiasi saja sama paguyuban pendayung perahu! #senyum.lebar

 


Pakai perahu gethek buat nyebrang ke pulau di tengah Situ Cangkuang.

 

Nah, waktu itu aku sampai di Situ Cangkuang kan kepagian. Sekitar pukul 08.00 gitu dan penumpang yang di perahu baru ada 7 orang (8 orang kalau dengan aku). Setelah negosiasi sama Aa pendayung, diputuskanlah bayar Rp7.000 per orang asal perahunya segera berangkat.

 

Kalau aku sih nggak apa-apa bayar sedikit mahal. Untungnya bukan aku yang negosiasi, hahaha #senyum.lebar. Soalnya kan, aku sama sekali nggak bisa bahasa Sunda!. #hehehe

 

Oh iya, semisal kita ingin pulang dari pulau, kita bisa ngomong ke Aa pendayung perahu. Nanti bakal dianterin balik dan dirinya bakal balik ke pulau lagi nunggu penumpang lain yang belum kembali. Pokoknya jangan khawatir nggak bisa balik deh.

 

Semisal Pembaca mabuk danau (eh, masak ada ya? #hehehe) bisa juga ke pulau dengan trekking menyusuri jalan pegunungan. Tapi rutenya lebih jauh dan pastinya lebih menantang.

 

Sekilas Candi Cangkuang

Candi Cangkuang terdiri dari satu bangunan induk tanpa didampingi candi perwara. Bangunan candi memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah timur. Di dalam bangunan induk terdapat arca Dewa Siwa.

 


Sayang nggak bisa masuk ke dalam bilik Candi Cangkuang! hiks...

 

Penemuan Candi Cangkuang dilaporkan pada tahun 1893 oleh pria berkebangsaan Belanda bernama Vorderman. Ia melaporkan bahwa di pulau di tengah Situ Cangkuang terdapat makam kuno dan arca yang rusak. Pada tahun 1966, Tim Sejarah Leles beserta BP3 mulai meneliti situs purbakala tersebut.

 

Dari penelitian, terungkap adanya struktur kaki candi. Sayang, batu-batu candi sudah banyak yang lenyap. Beberapa di antaranya malah beralih fungsi sebagai batu nisan. Jadi, batu asli Candi Cangkuang yang masih tersisa hanya sekitar 40% saja. Proses pemugaran Candi Cangkuang berlangsung dari tahun 1974 – 1976.

 

Asimilasi Islam dan Adat di Kampung Pulo

Keberadaan candi Hindu di pulau ini menandakan bahwa dahulu kala terdapat di sekitar sini terdapat suatu pemukiman penduduk. Lha ya nggak mungkin dong kalau jauh dari pemukiman. Nanti siapa yang bangun candinya? Jin? Hehehe. #hehehe

 

Keberadaan pemukiman penduduk di dekat Candi Cangkuang ini bisa ditilik dari keberadaan suatu nisan kuno yang letaknya ada di sisi utara candi. Nisan kuno ini merupakan bagian dari makam tua Embah Dalem Arif Muhammad. Beliau adalah salah satu pimpinan prajurit Kesultanan Mataram yang mengasingkan diri karena kalah perang melawan Belanda.

 


Makam Mbah Dalem Arif Muhammad yang dipagari supaya nggak didekati pengunjung.

 

Di pulau di tengah Situ Cangkuang ini, Embah Dalem Arif Muhammad melewatkan sisa hidupnya dengan berdakwah ajaran Islam pada penduduk setempat yang kala itu beragama Hindu. Ada juga penduduk yang masih menganut ajaran animisme dan dinamisme. Buah dari aktivitas dakwah beliau adalah terbentuknya suatu komunitas adat yang bernama Kampung Pulo.

 


Suasana pemukiman adat Kampung Pulo di kawasan Situ Cangkuang.

 


Salah satu rumah tradisional di Kampung Pulo yang memakai atap ijuk.

 

Meskipun warga Kampung Pulo hidup berlandaskan ajaran Islam, namun mereka masih kental mempraktekkan adat serta tradisi yang diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Salah satu contohnya, bangunan di Kampung Pulo ini hanya terdiri dari satu masjid dan 6 rumah. Masing-masing rumah ditempati oleh satu kepala keluarga dan diwariskan pada anak perempuan. Bila ada anak lelaki Kampung Pulo yang menikah, maka selambat-lambatnya 2 minggu setelah pernikahan, anak tersebut beserta keluarga barunya harus segera pergi dari Kampung Pulo.

 


Masjid yang nggak terlalu besar. Lha jamaahnya juga sedikit kok.

 


Dahulu kalanya ini batu-batu Candi Cangkuang. #sedih

 


Ternyata di kawasan Kampung Pulo ini banyak makam-makam keramat. Hiii...

 

Buku Panduan Rasa Skripsi

Aku puas dengan kunjungan singkat ke Candi Cangkuang dan juga Situ Cangkuang. Selain karena ada candinya (hohoho #senyum.lebar) pemandangan alamnya indah, kombinasi cantik danau, gunung, dan sawah. Aku perhatikan masyarakat sekitar khususnya warga Desa Cangkuang cukup tanggap dengan potensi wisata yang mereka miliki. Sebab, ada banyak usaha-usaha kecil di sekitar lokasi yang semata-mata membuat wisatawan merasa nyaman. Sukses deh menerapkan konsep desa wisata. #senyum.lebar

 


Di sini banyak pemandangan indah. Pokoknya mata terpuaskan deh! #senyum.lebar

 

Oh iya. Di pulau ini juga terdapat Site Museum yang menyajikan banyak informasi dan berbagai peninggalan seputar Candi Cangkuang dan Kampung Pulo. Termasuk di antaranya Al-Qur’an milik Embah Dalem Arif Muhammad dan foto "penampakan" di Candi Cangkuang. Hiiii. #horror

 


Site museum, tempat informasi Kampung Pulo dan isi buku tamu #hehehe.

 


Al-Qur'an tua peninggalan Mbah Dalem Arif Muhammad.

 


Penampakan... eh, yang mana sih?

 

Oh ya artikel ini merujuk kepada buku berjudul Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, karangan Zaki Munawar SH yang dapat diperoleh di Site Museum seharga Rp20.000. Nggak sia-sia deh aku beli buku ini karena memuat banyak informasi menarik. Uniknya, buku ini menganut format skripsi! Dimulai dari Kata Pengantar, BAB I PENDAHULUAN, sampai BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Serasa baca skripsi jadinya, hahaha. #senyum.lebar

 

Salut deh buat Aa Zaki Munawar SH (sarjana hukum, bukan sarjana arkeologi lho! #hehehe) atas karyanya ini.

 

Asal-Usul Nama Cangkuang...

Nama cangkuang berasal dari nama jenis pohon pandan, Pandanus furcatus, yang dahulu kala banyak tumbuh di tempat ini.

NIMBRUNG DI SINI