HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Museum Dieng Kailasa

Sabtu, 10 Januari 2009, 01:03 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Kalau ingin tahu lebih dalam tentang seluk-beluk percandian di Dataran Tinggi Dieng, silakan sambangi Museum Dieng Kailasa! Nama Kailasa berasal dari nama gunung yang menjadi rumah Dewa Siwa.

 

Museum Dieng Kailasa beroperasi dari pukul 8 pagi sampai pukul 3 sore. Tarif masuk Museum Dieng Kailasa cukup murah, yaitu Rp2.000 per orang. Sepertinya juga nggak jauh berbeda dengan tarif masuk ke candi-candi kecil di Jawa Tengah. Museum Dieng Kailasa juga dilengkapi fasilitas kafe serta teater.

 

Ruangan Pertama

Memasuki ruang pertama museum kita akan disambut oleh tatanan arca-arca dari candi-candi di Dataran Tinggi Dieng. Suasananya sedikit-banyak mengingatkanku pada Museum Nasional di Jakarta.

 

Arca-arca yang dipajang nggak begitu banyak. Sebagian besar bentuknya sudah nggak mulus lagi. Yah, lapuk dimakan zaman ya.

 


Penataan koleksi Museum Dieng Kailasa di ruangan pertama.

 

Aku nggak tahu mengapa arca-arca ini nggak dipindahkan ke candinya saja. Apa kalau disimpan di museum bakal lebih terawat? Eh, apa mungkin juga untuk menghindari tangan-tangan tak bertanggung-jawab? #hehehe

 

Ruangan Kedua di Lantai Dua

Pengunjung harus naik tangga untuk tiba di ruangan kedua. Eh, kok ruangannya gelap ya? Mungkin karena di hari Kamis sore itu (25/12/2008) Museum Dieng Kailasa sedang sepi pengunjung, makanya lampu-lampunya dimatikan.

 

Akan tetapi, begitu pak petugas menghidupkan lampunya. WOW! Isi dan penataan ruangannya lebih bagus dari ruangan pertama tadi. Kata pak petugas ruangan ini baru diresmikan oleh Pak Jero Wacik pada tahun 2006 silam. Pantas saja terkesan lebih modern.

 


Penataan koleksi Museum Dieng Kailasa di ruangan lantai dua yang terkesan lebih modern.

 

Sekilas penataan ruangan ini mengingatkanku pada ruang informasi di Ketep Pass. Menurut pak petugas lagi, penataan ruangan ini diseragamkan bentuk dan tata-letaknya dengan ruang informasi di obyek wisata lain yang mulai dibangun pada tahun 2006. Yang menata ruangan ini kata adalah Bu Nia dari Arkeologi UGM.

 

Asal-Usul Dataran Tinggi Dieng

Ada banyak informasi yang dipaparkan di ruangan ini. Dari mulai kisah awal-mula Dataran Tinggi Dieng hingga kisah candi-candinya. Berikut adalah cuplikannya.

 

Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik yang terbentuk secara bertahap sejak 2 juta tahun yang lalu. Tahap pertama, aktivitas erupsi dan vulkanik membentuk kawah dan pegunungan. Tahap kedua, sebagian kawah nggak aktif lagi dan berubah menjadi kantong-kantong penadah air hujan. Tahap ketiga, aktivitas vulkanik di dalam bumi masih terus berlangsung dan pengaruh larutan hidrotermal menyebabkan terjadinya mata air panas dan kawah-kawah baru hingga saat ini.

 


Penjelasan seputar mitos anak bajang dan rambut gimbalnya.

 

Beberapa panel menyajikan informasi seputar kehidupan warga di Dataran Tinggi Dieng. Ada panel yang bercerita tentang gaya hidup warga Dieng, pertanian mereka, keragaman masjid dan mushalla di Dieng, kesenian lokal, hingga mitos anak bajang.

 

Panel-panel yang lain lebih banyak menyajikan informasi seputar Dataran Tinggi Dieng sebagai pusat aktivitas agama Hindu. Sebagian besar di antaranya menyajikan informasi seputar candi-candi di Dieng. Nggak ketinggalan dijelaskan pula asal-usul nama Dieng yang berasal dari kata "Di" yang berarti gunung dan "Hyang" yang berarti Dewa. Jadi Dieng berarti gunung tempat dewa tinggal.

 

Lebih Dalam Tentang Candi di Dieng

Panel-panel mengenai candi mengulas seluk-beluk arsitektur candi di Dataran Tinggi Dieng dan Jawa Tengah. Seperti bagan bagian-bagian candi, perbandingan arsitektur candi, teknik konstruksi candi, dan lain sebagainya. Mayoritas penjelasan mengacu ke candi-candi Hindu. Sebagai pelengkap informasi panel disajikan juga artifak-artifak dan arca-arca penunjang.

 

Dari panel informasi ini pula aku baru tahu bahwa mayoritas penduduk Dieng di masa lampau memuja dewa Siwa yang identik dengan dewa pemusnah. Nggak hanya di Dieng saja, penyembah dewa Siwa sebenarnya juga banyak di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Oleh sebab itu, nggak heran kalau candi-candi Hindu di Yogyakarta dan Jawa Tengah banyak memiliki arca lingga yoni yang merupakan perwujudan dewa Siwa.

 

Oh iya, ternyata arca dewa Siwa di Dieng memiliki penggambaran yang berbeda-beda, seperti Siwa Trisirah dan Siwa Nandisawahanamurti.

 


Koleksi arca dewa.
Atas: Arca-arca dewa Siwa yang beraneka bentuk.
Tengah: Arca Durga, Ganesha, dan Agastya yang umum terdapat pada bangunan candi Hindu.
Bawah: Arca Kudu yang langka dan sering jadi buronan maling #hehehe.

 


Arca-arca hewan yang menjadi ornamen penghias candi.

 


Batu-batu candi disusun tanpa perekat, melainkan dengan teknik sambung-kait seperti di atas.

 

 


Prasasti yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng.

 


Aksesori aksamala yang kini dikenal sebagai tasbih.

 

 

Bagi penggemar arkeologi (seperti aku, hehehe #hehehe) Museum Dieng Kailasa ini memberi banyak informasi seputar candi. Meskipun ya terbatas untuk candi-candi Hindu di Dataran Tinggi Dieng saja.

 

Sebenarnya museum sejenis ini banyak. Sebagai contoh museum di kompleks Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Jadi, kalau mau belajar sejarah bangsa kita nggak mesti jauh-jauh pergi ke Dieng kan? Tapi kalau Pembaca mampir ke Dieng, haram hukumnya bila melewatkan kunjungan ke Museum Dieng Kailasa. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI