HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pertama Naik Gunung, Pertama ke Prau via Kalilembu

Rabu, 8 April 2020, 10:02 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Selalu ada pengalaman pertama bagi setiap orang. Tidak terkecuali bagi seorang Wijna.

 

Salah satunya adalah naik gunung. #senyum

 

 

Agustus 2016 silam Dimas touring ke Yogyakarta. Ketika Dataran Tinggi Dieng disebut dalam daftar lokasi kunjungannya, aku sudah mencium aroma bahwa Gunung Prau pastilah hendak ia sambangi. #hehehe

 

Ralat! Bukan hanya “ia”, melainkan “kami”, yaitu aku dan dia. #hehehe

 

 

“Wis, loe kuat naik gunung kan?” tanya Dimas.

 

“Eh, kuat kayaknya. Gue kan belum pernah sama sekali naik gunung Dim,” balasku.

 

“Dicoba aja lah.”

 

 

Yah, dari hasil kepa-kepo ragam foto di media sosialnya, Dimas ini sudah menjamah banyak gunung. Jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang pernah ia daki macamnya Ciremai, Papandayan, dan Rinjani, Prau ini sepertinya kurang greget. #hehehe

 

Akan tetapi, bagi seorang Wijna mendaki gunung adalah sesuatu pengalaman baru sepanjang 30 tahun hidupnya di dunia. Ah, tentu Gunung Kelir dikecualikan dalam hal ini. #hehehe

 

 

Kenapa ya seorang Wijna tidak pernah tertarik mendaki gunung? 

 

Apa mungkin karena ia terjerumus ke dalam jurang pertemanan manusia-manusia yang lebih gemar mengayuh pedal sepeda? #hehehe

 

Mungkin pula karena bagi seorang Wijna, mendaki gunung adalah sesuatu yang merepotkan. Butuh banyak perabot dan waktu senggang. 

 

Konon katanya, indahnya pemandangan di gunung itu membuat para pehobi foto landscape bergairah menekan tombol shutter. Meskipun begitu, Kaliadem tetap menjadi pilihan seorang Wijna ketika terbesit rindu pada gunung.

 

Merapi senantiasa mengawe-awe. Bahkan dari Kota Jogja sekalipun. #hehehe

 

 

Dengan demikian agenda mendaki gunung tidak pernah mewujud ke alam nyata jika pada Agustus 2016 silam Dimas tidak touring ke Yogyakarta dan menyertakan Dataran Tinggi Dieng dalam daftar kunjungannya.

 

Ya, kapan lagi coba bisa mendaki gunung? Penasaran juga sih. #hehehe

 

Apalagi ini bersama Dimas yang sekiranya sudah banyak mengecap asam garam mendaki gunung. Ibarat perasaan tenang menyambangi Gunung Kelir pada tengah malam Jumat bersama Ki Ageng Sekar Jagad. #hehehe

 

 

Jauh-jauh hari pun dilewati tanpa persiapan berarti. Hanya bersepeda ngalor-ngidul sebagai rutinitas transportasi harian bagi seorang warga negara yang tidak memiliki SIM C. #hehehe

 

Dimas pun merapat di Yogyakarta tanpa perabot pendakian sebagaimana yang jamak diusung para pendaki. Rencananya, pendakian Gunung Prau ini tanpa agenda berkemah. Berangkat dan pulang pada hari yang sama. Tik-tok istilahnya.

 

Weh, po yo aku kuat naik-turun gunung dalam sehari? #doh

 

 

Tibalah Rabu, 3 Agustus 2016 sebagai hari pendakian Gunung Prau. Menonton matahari terbit di puncak Bukit Sikunir dan berputar-putar mengitari Telaga Warna agaknya cukup menjadi pemanasan pagi sebelum mendaki. #hehehe

 

Akibat padatnya agenda pagi itulah pendakian Gunung Prau dimulai sekitar pukul 12 siang. Dari sekian banyak basecamp, terpilihlah basecamp Kalilembu.

 

Kenapa basecamp Kalilembu? Itu karena lokasinya yang paling dekat dengan gapura kawasan wisata Dieng. Basecamp Patak Banteng kejauhan! #hehehe

 

 

Sebelum mendaki Gunung Prau, kami makan siang dulu di salah satu warung sederhana di Dusun Kalilembu. Di atas kabinet terhampar perangkat makan, rice cooker, dan sebaskom sayur kentang. Kami memesan mie instan rebus plus telur.

 

Bersantap siang di warung sederhana (lebih tepatnya ruang tamu rumah warga #hehehe) ini serasa mengulur takdir pendakian. Semakin tegang. Semakin tegang. Semakin tegang!

 

Sambil celingak-celinguk menunggu pesanan datang, mata mengamati kertas di dinding warung. Ada doa sebelum mendaki rupanya. Jadi, dirapallah doa itu di dalam hati sebagai penawar tegang.

 

Maklum, namanya juga pendaki anyaran. #hehehe

 

 

Ketika dilakoni, ternyata mendaki gunung itu tak semenegangkan di bayangan. Bukan bermaksud meremehkan. Tapi, rasa-rasanya tak ubahnya seperti membelah hutan menuju air terjun. 

 

Pun mendaki gunung dengan tik-tok tanpa membawa perlengkapan merupakan hal yang sangat tidak dianjurkan. Terutama bagi pendaki pemula macamnya aku. Tapi, karena tidak mendaki seorang diri, jadinya kekhawatiran yang semestinya dikhawatirkan itu tidak muncul. #hehehe

 

Kami tidak seperti orang yang diburu waktu. Meski begitu kaki melangkah dengan ritme yang lumayan cepat. Bukan karena ingin segera tiba di puncak. Melainkan karena hanya segelintir manusia yang berpapasan sepanjang menyusuri jalan setapak membelah hutan.

 

 

Takut?

 

Tidak. Kan berdua dengan Dimas. 

 

Sesekali kami berpindah posisi antara depan dan belakang. Aku lebih sering tertinggal di belakang karena terjeda menanti rana kamera menutup. #hehehe

 

Di pikiran pun sempat terlintas, satu, dua, tiga kali, rupa-rupa mistis yang kerap dialami para pendaki gunung. Apakah kami juga bakal mengalami kejadian mistis?

 

Ah, kekhawatiran mistis ini kenapa lebih sering muncul ketimbang kekhawatiran ketidak-safety-an mendaki tanpa perlengkapan? #hehehe

 

Aneh. Ketika masuk-keluar hutan mencari air terjun, kok sama sekali tidak pernah terpikirkan hal-hal mistis ya? Padahal suasananya mirip. #hehehe

 

 

Total tiga pos yang berada di jalur pendakian Gunung Prau via Kalilembu. 

 

Tiba di Pos 1 pukul 12.34.

Tiba di Pos 2 pukul 12.52. Sempat rehat dan bergunjing agak lama. #hehehe

 

Tiba di simpang 3 jalur pendakian via Dieng pukul 13.27. Di sini Dimas buang air kecil. Aku dimarahi karena berkelakar perkara penunggu dan buang air. 

 

Eeelah, kok ya tiba-tiba gerimis turun iki piye? Mana tak bawa mantel pula. 

 

Mungkin karena kelakarku tadi?

 

 

Dimas menyuruh agar D5500 pinjaman itu dimasukkan ke tas. Repotlah jika benda mahal itu basah. Dengan demikian D80 lawas ganti dikeluarkan. Akhirnya, kamu merasakan memotret di gunung juga ya D80. #senyum

 

Perkara gerimis dan perasaan buruk karena kelakar itu membuat hati selalu merapalkan doa di sepanjang perjalanan menuju ke Pos 3. Sesekali ya minta ngapuro juga sih. #hehehe

 

Eh, entah manjur atau mujarab. Setibanya di Pos 3 pukul 13.35 gerimis mendadak berhenti! Mungkin karena efek dari kabut yang numpang lewat saja. #hehehe

 

Singkat cerita, puncak Gunung Prau pun terjejak pada pukul 13.49! 

 

Alhamdulillah! Seorang Wijna akhirnya naik gunung yang bukan Gunung Kelir! #senyum.lebar #pencapaian.2016

 

 

Perjalanan jelas belum berhenti walaupun sudah menjejak puncak. Nama Bukit Teletubbies yang tertera pada peta pendakian mengundang tanda tanya.

 

Macam apa itu Bukit Teletubbies?

 

Mumpung sudah di puncak, ya sekalian saja disambangi.

 

 

Kemudian kaki-kaki pun melangkah menyusuri jalan setapak tanpa petunjuk arah. Papan-papan yang berdiri di sana-sini bertuliskan larangan ini dan larangan itu.

 

Tapi, sejauh ini berkelana di dalam hutan dengan hanya menyusuri jalan setapak pada akhirnya mengantarkan hingga ke tujuan toh?

 

 

Inilah masa-masa yang sangat WOW dalam hidup seorang Wijna. Bisa keluyuran di kawasan puncak gunung. Merasakan indahnya pemandangan gunung seperti yang diceritakan para pendaki. 

 

Oh, jadi begini toh kawasan puncak gunung yang terhampar padang rumput itu.

 

INDAH!

 

Foto landscape macam apa pun sepertinya tidak bisa bercerita banyak selain mengalaminya sendiri. Harus dialami sendiri. Harus dirasakan sendiri.

 

Duduk sejenak di tepi jalan setapak. Semilir angin membelai manja. Sejauh mata memandang hanya rumput yang bergoyang di padang lapang.

 

Tuh, masih banyak tanah kosong! Siapa bilang tanah tempat bangun rumah makin langka? #eh

 

 

Pohon? Amat jarang. 

 

Binatang? Sesekali terdengar suara burung.

 

Lainnya? SEPI! Tidak ada manusia selain aku dan Dimas.

 

Kawasan puncak Gunung Prau ini serasa milik sendiri!

 

Aku pingin bersepeda di sini! (Tapi, bagaimana cara mengusung sepeda ke sini? #hehehe)

 

 

Sungguh sangat sulit membayangkan tempat yang sungguh-sungguh indah ini bakal dipadati banyak manusia ketika musim pendakian tiba. Pelampiasan kah? Ketika sebagian besar waktu hidup orang-orang dihabiskan di antara himpitan gedung dan lautan kendaraan, secuil bentang alam ini tak ubahnya obat mujarab pelepas penat.

 

Sayang, kabut tebal yang menutupi pemandangan nun jauh di bawah sana. Tapi, kehadiran kabut justru malah menambah kesan mistis. Demikian pula dengan pikiran-pikiran mistis yang semestinya tidak boleh terbesit sedikitpun.

 

Jadi, di mana yang katanya ada air terjun gaib di kawasan puncak Gunung Prau itu?

 

 

Kira-kira pukul 14.18 kami tiba di Bukit Teletubbies. Bukit yang indah ketika dipotret dari jauh. Tapi, ketika bukit itu dihampiri ternyata oh ternyata…

 

BANYAK SAMPAH!

 

OH MY GIRL!

 

NGGILANI TENAN!

 

Mbok ya siapa gitu penunggu Gunung Prau bikin pendaki yang buang sampah sembarangan ini kesurupan supaya jera! #hehehe #sadis.yo.ben

 

Sepertinya, para pembuang sampah ini buta huruf. Tidak bisa baca tulisan di papan-papan larangan.

 

 

Kira-kira lima belas menit di lokasi. Sudah tidak ada yang bisa dinikmati selain kesunyian yang berpadu mesra dengan selimut kabut. 

 

Ah, andaikata tempat ini hanya sepelemparan batu dari rumah....

 

Eeeeh... tapi jangan deh! Jika dekat kota, pasti pengunjungnya bakal membeludak! #hehehe

 

 

Daripada daripada, dengan mempertimbangkan waktu tempuh, kami pun pamit dari Bukit Teletubbies dan tentu kawasan Puncak Gunung Prau. Semoga, mbuh kapan bisa kembali ke sini lagi. Semoga ya.

 

Kok ya lagi-lagi, perjalanan menuruni Gunung Prau terasa lebih cepat daripada ketika berangkat.

 

Tiba lagi di puncak Gunung Prau pukul 14.50.

Tiba lagi di Pos 3 pukul 14.59.

Tiba lagi di Pos 2 pukul 15.17.

Tiba lagi di Pos 1 pukul 15.32.

Mendarat dengan selamat di basecamp pukul 15.40.

 

Heee? Satu jam 10 menit turun dari puncak Gunung Prau ke basecamp Kalilembu!?

 

Mungkin karena kami berjalan lumayan ngebut. Rombongan mbak-mbak di Pos 2 yang hendak naik pun terkaget-kaget. Mungkin juga karena kami melenggang tanpa memikul perlengkapan mendaki gunung. #hehehe

 

 

Perjalanan yang melelahkan ini pun berakhir di kasur tercinta di Kota Jogja menjelang pukul 2 pagi. Dua hari kemudian Dimas pulang dan aku sakit karena kecapaian.

NIMBRUNG DI SINI