HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Teronggok di Pinggir Waduk Lalung

Rabu, 29 Januari 2020, 13:09 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Bokong keju alias pantat kaku adalah suatu penderitaan yang hakiki ketika bersepeda motor dalam waktu yang cukup lama #hehehe. Sudah lebih dari 2 jam bertolak kira-kira 80 km dari pusat Kota Jogja.

 

Perjalanan nun jauh ke timur pada Rabu pagi (21/2/2019) yang lalu ini mengambil rute ngalang melintasi jalan-jalan desa yang menghubungkan tiga kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar. Rute ini dipilih semata-mata demi menikmati touring sepeda motor bernuansa pedesaan. 


 

Dengan pilihan rute semacam ini, seharusnya ada banyak kesempatan untuk berhenti di pinggir jalan. Memandangi asrinya persawahan, merasakan sejuknya semilir angin pagi, sambil membungkam perut yang meronta-ronta dengan potongan camilan. #hehehe 

 

Akan tetapi, kecepatan si Vario menjadi stabil di rentang 40 – 50 km/jam ketika meluncur mulus di jalan-jalan desa yang sepi kendaraan. Alhasil, niat untuk berhenti pun seakan sirna... jikalau bokong tidak menyeri-ronta meminta istirahat. #hehehe

 

 

Oleh sebab itu, Waduk Lalung pun terlihat sebagai objek peristirahatan bokong yang menarik. Waduk ini berada di pinggir jalan raya yang membatasi Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. 

 

Tanpa pikir panjang, sepeda motor lantas di-menggok-an ke tepi tanggul waduk. Sang istri terlucyu mau tidak mau harus memahami bahwa bokong suaminya perlu di-leren-kan sebentar sebelum melanjutkan perjalanan nun jauh ke timur. #hehehe 

 

Jadi, inilah Waduk Lalung yang menurut Situs Budaya:

 

 

 

Eeeh... kok ya ndilalah-nya si Vario tunggangan kami itu berhenti di dekat seonggok benda purbakala. Tidak lain adalah suatu arca yoni yang kondisinya miris dan memprihatinkan. Aus sudah jelas. Berlumut dan ditumbuhi tumbuhan lain. Ceratnya pun tidak lagi utuh.

 

Yoni adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Yoni punya arti yang bermacam-macam. Walaupun memiliki banyak arti, banyak orang yang mengidentikkan yoni dengan alat kelamin wanita. Hal yang demikian ini mungkin dikarenakan lingga – yang merupakan pasangan yoni – identik dengan alat kelamin pria.  

 

Dalam ajaran Hindu, yoni adalah simbol dari (Dewi) Sakti yang merepresentasikan sisi kewanitaan Tuhan. Dalam Hindu aliran Saiwa, Sakti berpasangan dengan Dewa Siwa dan merepresentasikan konsep penciptaan dan regenerasi. Konsep ini disimbolkan dengan arca lingga dan arca yoni.

 

 

Walaupun lingga dan yoni adalah sesuatu yang berpasangan, seringkali ditemukan arca lingga tanpa pasangan yoni dan arca yoni tanpa pasangan lingga. Arca yoni tanpa pasangan lingga tetap dipandang sebagai simbol “rahim”, sumber kesuburan.

 

Biasanya, arca yoni tanpa pasangan arca lingga banyak ditemukan di tempat yang dahulu merupakan lahan pertanian. Masyarakat agraris pada zaman dahulu memohon pada dewa lewat perantara arca yoni agar lahan pertaniannya menghasilkan panen yang baik. 

 

Sayang, hingga saat ini belum ditemukan kajian yang membahas ritual yang dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu yang berhubungan dengan arca yoni. Demikian pula masih tanda tanya, adakah perbedaan ritual pada arca yoni yang dilengkapi arca lingga dengan arca yoni tanpa arca lingga.

 

 

Kembali pada si arca yoni yang teronggok di dekat tanggul Waduk Lalung. Belum tahu pula apakah si arca yoni ini memiliki pasangan arca lingga. 

 

Jika mengamati lingkungan di sekitar Waduk Lalung yang merupakan lahan pertanian, mungkin sejak zaman dahulu tempat ini wujudnya ya lahan pertanian. Dengan demikian arca yoni ini pun berdiri sendiri tanpa ditemani arca lingga di atasnya.

 

Mungkin di tengah hamparan persawahan di sekitar Waduk Lalung ini terdapat arca yoni lain. Mungkin pula adakah struktur candi? 

 

 

Yang juga menjadi pertanyaan adalah kenapa arca yoni ini malah teronggok di luar tembok pagar yang mengelilingi sebuah pohon asam besar. Jika mengamati pohon asam besar yang sekelilingnya diberi pagar tembok dan tanahnya diperkokoh dengan konblok, pikiran malah menjurus kepada objek yang dirawat, dispesialkan, atau malah dikeramatkan. #hehehe

 

Biasanya pula kan pohon tua besar itu identik sebagai objek pemujaan. Mungkin si arca yoni ini punya hubungan khusus dengan keberadaan pohon asam besar. Tapi, kok ya posisi si arca yoni malah di luar tembok pagar? Apa mungkin si arca yoni sulit dipindah posisinya?

 

 

Pohon asam besar pun didekati, mengamati sekelilingnya lebih dekat. Tidak ada bekas bunga kering maupun batang-batang hio. Alhamdulillahnya pula tidak ada sampah-sampah yang berserakan. Bahkan tumpukan daun kering pun tidak. Tanda bahwa tempat ini rajin dibersihkan?

 

Hal yang menarik adalah di antara akar-akar terhimpit sejumlah batu. Beberapa batu memiliki bentuk yang tidak alami. Mungkin batu-batu ini serupa arca yoni itu, hasil karya masyarakat zaman dahulu. Mungkin pula di dasar pohon asam besar ini tersimpan peninggalan purbakala yang menanti untuk dikuak.  

 

Akan tetapi, dibanding batu-batu di antara himpitan akar pohon asam, aku lebih tertarik dengan sejumlah biji kering tanaman anggrek yang tergeletak di atas konblok. Aku mendongak ke atas pohon asam, mencari gerangan anggrek mana yang menjatuhkan biji-biji ini.

 

 

Sayang sekali sang istri terlucyu sepertinya sudah bosan menanti kelakuan nggak jelasnya sang suami dengan pohon asam besar #hehehe. Alasan me-leren-kan bokong sepertinya sudah kedaluwarsa. Jadi, sebaiknya perjalanan nun jauh ke timur dilanjutkan kembali. 

 

Sejauh 80 km lebih ini pun kami belum sarapan. #hehehe

NIMBRUNG DI SINI