Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Beruntunglah orang-orang yang tinggal di Yogyakarta. Perkara menikmati pemandangan alam, Yogyakarta punya seabrek lokasi. Yang ramai banyak. Yang sepi pun banyak. Gunung ada. Hutan ada. Bukit ada. Pantai juga ada.
Dari Senin hingga Jumat berkutat di depan layar monitor. Seringnya senja hanya lewat di atas atap. Pun ketika pulang setelah magrib demi menghindari macetnya simpang tiga Jl. Affandi (dulu Jl. Gejayan), semburat senja tak lagi tersisa untuk dinikmati di tengah pusat Yogyakarta yang kian langka tanah lapang.
Karena itu, pada Sabtu silam (15/9/2018) yang tergolong hari libur, aku dan sang istri terlucyu memutuskan untuk melewatkan senja di pantai. Berhubung pada sore hari itu
- kami sedang berada di ujung selatan Kabupaten Kulon Progo,
- rumah Rini tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dan
- Pantai Bugel yang sepi terhampar monoton untuk dinikmati
sepeda motor pun digas menuju pantai yang paling populer di Kulon Progo. Sudah jelas, apalagi kalau bukan Pantai Glagah di Kecamatan Temon.
SILAKAN DIBACA
Tak perlu Google Maps untuk menuju Pantai Glagah. Dari Pantai Bugel cukup mengikuti jalan raya Daendels yang beraspal mulus ke arah barat. Lagi-lagi, menikmati pemandangan jalan yang terasa membosankan dengan ditemani hembusan angin besar. Mungkin pula ini efek melaju dengan kecepatan tinggi untuk mengejar matahari yang semakin menggelincir ke ufuk barat.
Pada akhirnya, Pantai Glagah pun terjejak untuk yang kesekian kalinya. Naik sepeda motor pernah. Jalan kaki (dari Pantai Congot) pun pernah. Hanya naik mobil dan naik bus yang sepertinya belum pernah. Eh, naik sepeda sepertinya juga belum pernah. #senyum.lebar
Sedangkan bagi sang istri, hari ini adalah pertama kalinya ia singgah di pantai-pantai di Kulon Progo. Pantai Glagah pun menjadi pantai kedua di Kulon Progo yang ia singgahi semasa 28 tahun usianya. Ini sepatutnya dirayakan. #hehehe
Selamat lah! Pantai di Kulon Progo sudah, pantai di Gunungkidul sudah, pantai di Bantul juga sudah. Mungkin tinggal pantai di Sleman yang sang istri belum pernah singgahi sebab dirinya nggak tahu-menahu apabila disebut nama Pantai Cemplon. #hehehe
Dalam sekian kali kunjungan ke mari, Pantai Glagah sudah berubah banyak. Sangat banyak malah jika menengok adanya landasan pacu Bandara Internasional Yogyakarta yang untuk mewujudkannya mengorbankan sekian rumah dan ladang warga.
Tapi, karena lahan yang berada di pesisir laut selatan ini milik kerajaan, jadi ya apa boleh buat. Semoga semua pihak mendapatkan yang terbaik. #hehehe
Pada masa mendatang, Pantai Glagah mungkin tak lagi menjadi pantai sunyi nan sepi sebagaimana kunjungan pertamaku ke sini pada April 2006 silam. Deru mesin jet pesawat akan bersaing riuh dengan gemuruh ombak laut selatan. Setiap sore mungkin bakal banyak warga yang menghabiskan waktu di sini dengan menyaksikan burung-burung besi mendarat dan lepas landas.
Belasan tahun berselang sejak kunjunganku yang pertama, Pantai Glagah memang betul-betul sudah banyak berubah. Pantai ini semakin ramai. Semakin banyak warung. Semakin tampil elok nan ikonik dengan tanggul pemecah ombak. Pantai Glagah sudah tidak lagi se-monoton pantai pasir hitam laut selatan yang terbentang luas.
Sekarang, yang wajib dibeli ketika singgah di Pantai Glagah adalah yutuk goreng! Crustacea mungil ini menurutku lebih nikmat dari kepiting. Mana harganya murah pula. Lezat sekali lah pokoknya. #senyum.lebar
Aku pertama kali tahu camilan yutuk goreng ini saat singgah di Pantai Petanahan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Eh, rupanya nggak perlu jauh-jauh ngeluyur sampai Kebumen karena di Pantai Glagah juga banyak penjual yutuk goreng. Mantap sekali! Sayangnya, mbuh kenapa aku nggak pernah melihat yutuk goreng ini dijual di Kota Jogja.
Alhasil, sore hari itu pun dihabiskan dengan menanti matahari terbenam di hamparan beton-beton tetrapod tanggul pemecah ombak Pantai Glagah. Sepertinya tidak ada larangan bagi pengunjung awam untuk menjamah hamparan tetrapod. Tapi, ada baiknya berhati-hati dan teguh berprinsip, “kalau bisa masuk, ya harus bisa keluar”. #hehehe
Dengan waktu yang semakin bergulir ke pukul setengah 6 sore, tripod pun berdiri tegak menopang kamera yang mengintai cakrawala. Satu per satu, yutuk goreng berpindah dari bungkusan plastik mika ke dalam mulut. Sang istri ditawari malah tidak mau. Dirinya sedang fokus memotret bapak-bapak yang memancing. Oh, ya sudahlah. #hehehe
Ah, andaikata kenikmatan yutuk goreng ini berpadu dengan sepiring nasi panas yang berkawan sambal terasi mentahnya Warung SS, mungkin penantian senja ini bakal jauh lebih menyenangkan. Sayang sekali pula tak mungkin menggelar tikar dan bekal di hamparan tetrapod. Jadi, marilah bersabar menunggu matahari berada di tepi cakrawala dengan camilan yutuk goreng. #hehehe
Setelah lama dinanti-nanti, eh, jebul ternyata sang matahari malah bersembunyi di balik awan. O ho ho ho hooo, nasib mujur tidak menghampiri kami pada sore ini. Eh, apa jangan-jangan kehadiran kami inilah yang membuat matahari bersembunyi? #hehehe
Lewat pukul 6 sore, langit memendarkan bias keunguan. Tanda waktu pemotretan senja sudah hampir usai. Debur ombak pun semakin beringas. Sepertinya ini tanda bahwa kami harus hengkang dari hamparan tetrapod pemecah ombak.
Inilah senja di Pantai Glagah sebagai penutup keluyuran Sabtu sore di pantai-pantai Kulon Progo. Senja yang mungkin biasa saja bagi sebagian orang. Akan tetapi, bagiku ini adalah senja yang indah. #senyum