Orang-orang bilang hujan itu nikmat.
Hujan adalah berkah.
Hujan adalah rahmat.
Tapi hujan tetaplah hujan.
Hujan itu basah.
Karenanya orang-orang mencari tempat berteduh.
Aku pun demikian.
Kulihat percik mentari masih menerangi bumi.
Kulihat awan putih masih berseri.
Tapi bulir gerimis kian berderai.
Tapi hembusan angin tak lagi sepoi.
Sementara itu aku masih mengayuh pedal sepeda.
Mencari tempat tuk menunggu hujan mereda.
Inikah hujan yang disebut nikmat?
Sampai akhirnya mataku menatap gubuk di kejauhan.
Gubuk yang bertetangga dengan kuburan.
Gubuk yang tak istimewa.
Gubuk yang sederhana.
Di sanalah akhirnya ku berteduh dari gerimis yang berubah menjadi hujan.
Di sanalah ku tak tahu apa yang hendak kulakukan.
Kuambil botol air minum.
Isinya hanya setinggi ruas kelingking.
Kubuka plastik roti.
Isinya hanya cukup untuk segigit.
Kurogoh kantong celana.
Isinya handphone dengan tiada baris sinyal.
Inikah hujan yang disebut nikmat?
Inikah hujan yang menjebakmu dalam kondisi yang tidak menyenangkan?
Kemudian aku berbaring.
Kurebahkan diri di atas batang-batang pring.
Kupejamkan mataku.
Kutajamkan pendengaranku.
Kurasakan angin menerpa kulitku.
Ku mencoba berdamai dengan kondisi ini.
Dan… ternyata tidak buruk-buruk juga!
Karena hujan, di gubuk yang sederhana ini aku bisa beristirahat.
Karena gubuk, pakaian, tas, dan sepatu tidak basah.
Karena ku bisa berdamai, maka ku bisa menikmatinya.
Nikmat yang tidak semua orang merasakannya.
Nikmat yang membuatmu terlelap di siang hari kerja.
Nikmat yang cukup kau nikmati dan syukuri.
Alhamdulillah.
Inilah hujan yang kusebut nikmat.
Nikmat yang sederhana.
Di suatu tempat di Gedangsari.
Di suatu tempat di ujung Gunungkidul.
Yogyakarta.
Mei, 2017.
NIMBRUNG DI SINI