Beberapa dekade yang lalu, nama Sidoarjo selalu dikaitkan dengan produk bandeng asap. Sedangkan Porong, yang merupakan nama salah satu kecamatan di kabupaten Sidoarjo sama sekali tidak terdengar gaungnya.
Namun saat ini, bila kita menyebut kedua nama tersebut, pastilah yang terbayang di benak adalah semburan lumpur panas. Tentu masih segar di ingatan kita, bahwa bencana lumpur panas adalah bencana alam yang melanda warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dan hingga kini belum ada tanda-tanda akan selesai.
Bencana dari Atas Kereta
Pada perjalanan Tour de Bali, hari Minggu (1/2/2009), kereta api Sri Tanjung yang kami tumpangi melintas di Stasiun Sidorajo. Sesaat kemudian, kereta kami melewati sebuah parit yang ternyata adalah parit penahan lumpur.
Dari atas kereta api, untuk pertama kalinya aku menyaksikan secara langsung bencana alam yang selalu menghiasi headline layar kaca dan media cetak tersebut. Bencana alam yang belum berhenti sampai detik ini, yang lebih menyengsarakan dari bencana tsunami dan gempa bumi yang melanda Indonesia beberapa tahun silam.
Awal Mula Terjadinya Bencana Lumpur Sidoarjo
Sekilas pandangan kolam lumpur dari kereta.
Sempat-sempatnya memanfaatkan bagian
tanggul untuk spanduk kampanye.
Kehilangan lahan, tidak
berarti harus kehilangan rumah.
Plang tuntutan pembayaran 80% dari ganti rugi.
Sekadar menyegarkan ingatan. Pada tanggal 28 Mei 2006, PT Lapindo Brantas berencana untuk mendulang gas di Formasi Kujung yang bertempat di wilayah Brantas PSC dengan metode mengebor sumur yang disebut sebagai Banjar-Panji 1.
Entah karena faktor alam atau perlengkapan pengeboran tidak dipasang dengan baik, beberapa titik semburan lumpur mulai muncul di sekitar area pengeboran. Titik semburan pertama berada sekitar 200 meter di barat daya sumur. Pada tanggal 2 dan 3 Juni 2006 disusul oleh terbukanya titik semburan kedua dan ketiga.
Semula semburan lumpur panas Sidoarjo hanya menggenangi 4 desa dengan ketinggian sekitar 6 meter. Sedangkan saat ini, lumpur panas telah menggenangi 12 desa di 3 kecamatan. Bencana ini menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan juga turut mendorong warga sekitar untuk melakukan evakuasi diri.
Hingga bulan Agustus 2006, total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa. Sejumlah 10.426 unit rumah tinggal dan 77 unit tempat ibadah telah terendam lumpur.
Semburan lumpur panas ini telah terjadi selama lebih dari 2 tahun dan mengubah wajah Porong menjadi ”kota lumpur”. Saat ini, para pengungsi menuntut ganti-rugi pada Lapindo atas bencana yang menimpa mereka. Warga menuntut pihak pihak Lapindo untuk membayar 80 persen dari total biaya ganti-rugi yang dijanjikan dengan metode tunai.
Pada hari artikel ini diturunkan, harian Kompas (12/2/2009) menyajikan foto utama di halaman muka yang menampilkan unjuk rasa korban lumpur yang menuntut agar PT Minarak Lapindo Jaya membayar ganti rugi 30 juta kepada warga setiap bulannya. Krisis global yang melanda dunia, sepertinya juga berimbas ke pihak Lapindo yang hanya menyanggupi pembayaran ganti rugi 15 juta per bulan.
Di tengah ketidakpastian, rakyatlah yang menjadi korban dan semakin menderita dan kereta Sri Tanjung melaju perlahan meninggalkan Porong, meninggalkan kisah duka warganya. Dari atas rel, kami hanya bisa melihat tanpa sanggup berbuat apa-apa.
NIMBRUNG DI SINI