Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Bandung adalah penggalan kisah yang pernah terjalin kira-kira 5 tahun lamanya. Walaupun sebetulnya, jika ditotal paling hanya menghasilkan puluhan hari.
Dari sekian puluh hari itu, pernah ada kalanya Maribaya disinggahi. Sebagai orang yang punya hobi keluyuran ke curug-curug, tentu curug yang terkenal se-Bandung itu haram terlewat. Apalagi letaknya lumayan dekat dari pusat Kota Bandung.
Sehingga dengan demikian, kunjungan ke Curug Maribaya pada Rabu (11/4/2018) silam bisa dikata sebagai suatu nostalgia. Bedanya, party member kali ini adalah Bapak, Ibu, dan sang istri terlucyu. Hitung-hitung mengajak keluyuran sang istri ke curug di luar Yogyakarta.
Karena ini adalah kunjungan kedua, maka dari itu membandingkan hal saat ini dengan hal saat lalu adalah hal yang lumrah. Lumrah pula jikalau jejak ingatan bertahun silam di tempat ini seakan lenyap tak berbekas.
Yang jelas, harga tiket masuk kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda terasa meroket dibandingkan dengan masa lampau. Per orang wisatawan nusantara, dikenai tiket masuk Rp10.000 ditambah karcis asuransi Rp2.000. Sedangkan tiket parkir kendaraan roda empat adalah Rp10.000.
Dulu, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda dan Curug Maribaya adalah dua hal yang sering tertukar-tukar. Tapi, akhirnya ya paham juga bahwa Curug Maribaya adalah satu dari sekian banyak curug yang menghuni Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda.
Sedangkan Curug Omas ternyata adalah Curug Maribaya itu sendiri. Di sisi belakang lembar tiket masuk tertulis nama Curug Omas Maribaya sebagai curug yang paling dekat dengan pos IV Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda.
Dari pos IV Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda itulah perjalanan ke Curug Omas dimulai. Alhamdulillah sekali medan jalannya mulus beraspal. Naungan rindang pohon-pohon besar yang berpadu dengan kicauan penghuni hutan membuat kegiatan berjalan kaki sejauh 1 km pada pukul 1 siang itu nggak terlampau menyiksa kaki.
Kira-kira setelah melangkah santai selama 20 menit, Curug Omas yang besar nan memukau itu pun terjamah juga. Tapi, karena Curug Omas itu besar nan tinggi, jadi ya hanya bisa dikagumi dari dua jembatan: yang satu di puncak curug, dan yang satunya lagi sekitar 50 meter dari curug.
Di atas jembatan, tripod dipasang. Kamera pun disiapkan. Tak lupa pula kain lap untuk mengeringkan percikan air Curug Omas.
Dengan Nikon D80, kamera yang sama seperti yang dipakai bertahun-tahun silam, pemotretan Curug Omas pun diulangi kembali. Sesaat sebelum tombol rana ditekan, muncul pertanyaan di dalam benak.
Apakah pemotretan ulang setelah bertahun-tahun lamanya ini bakal menghasilkan foto Curug Omas yang lebih bagus ataukah malah lebih bosok?
Semoga saja hasilnya lebih bagus. Sebab, walaupun Nikon D80 semakin menua, akan tetapi “amunisi”-nya semakin beragam. Yang seperti itu harusnya bisa memudahkan dalam mengabadikan pesona Curug Omas.
Dari sekian hasil jepretan, rupanya Curug Omas tetap tergolong curug yang susah untuk dipotret, karena
- Percikan airnya terbang membasahi kamera, membuat sulit memotret long exposure,
- Adanya tebing besar di sisi kanan yang memenuhi frame, dan
- Adanya dedaunan pohon di sisi kiri yang senantiasa bergoyang tertiup angin.
Seandainya bisa menapak dasar sungai mungkin kesulitan memotret Curug Omas bakal sedikit berkurang. Hal itu tidaklah mustahil, karena pada siang itu sejumlah A’a - A’a sedang asyik mengail di bebatuan sungai. Entah bagaimana caranya mereka bisa tiba di dasar.
Meskipun tahun demi tahun telah berlalu, Curug Omas tetap menjadi curug yang memesona di Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda. Hanya saja, sepertinya kondisi Sungai Ci Kapundung malah tercemar dengan aneka ragam sampah sisa kemasan. Sedih sekali.
Kapan ya Sungai Ci Kapundung jadi lebih bersih?
NIMBRUNG DI SINI