HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Sumber Berkah Dusun Geger Seloharjo

Sabtu, 6 April 2019, 08:46 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Keluyuran adalah kesenangannya sang istri. Tapi, pas keluyuran pada Minggu pagi (28/1/2018) yang lalu dia terlihat nggak seceria biasanya.

 

“Gimana? Lanjut?” aku bertanya ke Dwi.

 

Dwi hanya terdiam. Raut wajahnya datar. Nggak ada aura ke-lucyu-an yang terpancar sedikit pun. Padahal, biasanya dia sangat bersemangat kalau diajak “kabur” dari rumah Pundong pagi-pagi. #hehehe

 

“Pulang aja ya?” tawarku ke istri.

 

Dwi menolak. Dirinya bersikukuh ingin melanjutkan keluyuran. Hasratnya untuk menyusuri sudut-sudut Pundong – kecamatan kelahiran tercintanya – masih membara.

 

 

Oleh karena sang istri berkehendak demikian, jadilah sepeda motor kembali digas. Kami lanjut menyusuri jalan beraspal mulus bagus yang konturnya menanjak curam. Nggak beda jauhlah dengan tanjakan Cinomati.

 

Duduk di jok belakang, Dwi terdiam sepanjang perjalanan. Aku mulai khawatir. Agak menyesal juga kenapa tadi nggak balik pulang saja.

 

Perasaan gelisah semakin bertambah seiring suasana sepi yang mengiringi perjalanan. Di kanan dan kiri jalan didominasi hutan dan semak. Blas sama sekali nggak ada orang yang melintas.

 

 

Syukur Alhamdulillah, setelah berkendara kira-kira sepuluh menit, apa yang didamba-dambakan akhirnya hadir juga. Satu per satu rumah bermunculan. Orang-orang pun terlihat di sana-sini.

 

Alhamdulillah pula di pinggir jalan terlihat papan petunjuk arah ke masjid. Tanpa pikir panjang sepeda motor pun digas ke sana.

 

Eeeh... jebul ternyata masjidnya sedang direnovasi! Dwi bergegas mengecek ke dalam. Dia melaporkan bahwa toilet masjid nggak bisa digunakan. Walah... runyam ini urusan. #hehehe

 

Ndilalah-nya, kegusaran kami mendapat jawaban dari “atas”. Nun tinggi di batang pohon besar yang tumbuh di dekat masjid, seorang bapak sedang memangkas dahan-dahan pohon. Bapak itu bilang ke Dwi supaya menggunakan toilet di rumahnya yang bersebelahan dengan masjid.

 

Dwi pun menyambut tawaran si bapak. Sang istri lalu masuk ke rumah di sebelah masjid. Aku sendiri menunggu bersama sepeda motor yang terparkir di muka masjid.

 

Beberapa belas menit kemudian Dwi kembali. Kini raut wajahnya terlihat lebih ceria. Memang nggak nyaman rasanya jika di tengah keluyuran mendadak muncul “panggilan alam”. #hehehe

 

Sang istri bercerita takjub, di dalam toilet rumah si bapak ada bak air besar yang tak henti-hentinya mengalirkan air. Ia juga cerita kalau lubang klosetnya seperti “jurang” yang ketika “plung” maka akan jatuh ke suatu penampungan yang... lebih baik nggak dibayangkan. #hehehe

 

 

Tuntas dengan urusan per-ngendog-an, perjalanan yang nggak jelas tujuannya berlanjut. Akan tetapi, baru bergerak beberapa puluh meter dari masjid, sepeda motor kembali diparkir. Perhatian kami tersandera pada suatu objek menarik.

 

Di pinggir jalan desa terdapat suatu kolam yang lumayan besar. Walaupun air di dalam kolam agak keruh, sekumpulan bocah asyik-asyik saja berenang di sana. #senyum.lebar

 

 

Ada bangunan berbilik dua yang berdiri di dekat kolam. Sesuai tebakan, bangunan itu adalah toilet yang merangkap kamar mandi. Boleh juga sih disebut bilik mencuci karena tempat yang seperti ini biasanya juga dipakai warga sekitar untuk mencuci pakaian.   

 

Di dalam bilik itu terdapat bak penampungan air yang terus-menerus dialiri air yang mengucur dari lubang kecil di tembok. Mungkin bak air seperti ini yang tadi membuat istri takjub. Hanya saja ukurannya jauh lebih kecil.

 

 

Berada di belakang bilik air adalah hutan yang luas. Di sana tumbuh banyak pohon besar. Genangan air tampak menggenangi permukaan tanahnya. Sekilas wujudnya mirip rawa.

 

Bukan seorang Wijna namanya kalau nggak terpancing untuk mendekati suatu tempat terpagar besi yang berada di tengah genangan air di dalam hutan. Tentu sang istri sudah banyak bersabar menghadapi tingkah sang suami yang mendadak ngeluyur tanpa woro-woro. #hehehe

 

 

Sesuai dugaan, tempat terpagar besi yang berada di tengah genangan air di dalam hutan itu adalah mata air. Walaupun sudah terpagari besi, tapi pintu masuknya nggak dikunci. Walaupun zaman kian modern, tapi di dekat pintu tergeletak sesaji yang masih segar.

 

Sesaji bisa dipandang sebagai suatu bentuk penghormatan. Mungkin untuk menghormati sang sumber air yang memberkahi kehidupan warga desa.

 

 

Bayangkan, sumber air ini mengalir tanpa henti selama 24 jam non-stop. Orang-orang bebas menikmati kesegarannya. Jikalau mesti merogoh kocek, mungkin nggak sebesar yang dikeluarkan orang kota untuk membayar biaya langganan PAM atau ongkos listrik mesin pompa.

 

Mendadak, teringat pula pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu. Suatu peradaban senantiasa berkembang di dekat sumber air. Teori ini agaknya pas dengan kondisi Dusun Geger, pemukiman di mana sumber air ini berada.

 

Kedua huruf e pada nama Geger dibaca dengan lafal huruf e dalam kata “entah”, “engkau”, atau “enam”. Dalam bahasa Jawa, geger berarti punggung. Penamaan tersebut selaras dengan letak Dusun Geger yang berada di punggung perbukitan karst Gunung Sewu, bentang geografis yang menjadi pembatas Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul.

 

Dengan letak Dusun Geger yang berada di ketinggian perbukitan kapur, ketersediaan sumber air seharusnya amat langka. Tapi, keberadaan mata air ini seakan menepis hal itu. Sumber air ini layaknya hadiah dari Sang Maha Agung bagi warga Dusun Geger.

 

 

Seloharjo adalah desa di mana Dusun Geger berada. Masih masuk wilayah Kecamatan Pundong walaupun sudah menyandang status sebagai “Jogja Lantai Dua”.

 

Dari yang semula keluyuran nggak jelas menjamah sudut-sudut Desa Seloharjo, kami pun kembali menunggangi sepeda motor menuju Pasar Pundong. Alhamdulillah, di sepanjang perjalanan pulang “panggilan alam” nggak lagi memanggil. #hehehe

 

Menarik sekali Desa Seloharjo di Pundong ini. Selain mata air, kami juga “menemukan” puncak air terjun. Sayang nggak tergapai karena butuh penelusuran lebih lanjut dengan perlengkapan yang mumpuni.

 

 

Mari ke Pundong.

NIMBRUNG DI SINI