navigation

Watu Gilang Banguntapan (yang Semakin Rusak)

terbit Senin, 4 Februari 2019, 16:01 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Minggu pagi (12/8/2018) yang lalu, sepeda-sepeda kami meluncur pelan menyusuri jalan perkampungan di Banguntapan. Seperti biasanya, Mbah Gundul di depan sebagai pemimpin perjalanan. Aku berada di belakang, manut dengan rute perjalanan yang dipilih si Mbah. #hehehe

 

“Sudah pernah lewat sini?”

 

Pertanyaan itu beberapa kali ditanyakan Mbah Gundul ketika kami semakin menjamah dalamnya perkampungan.

 

“Sudah lah Mbah! Dulu pas nganter undangan nikah kan sampai sini,” jawabku sambil mengingat-ingat pengalaman bersepeda pada Desember 2017 silam.

 

Tiba-tiba, di tengah jalan perkampungan Mbah Gundul menghentikan laju sepedanya. Dia seperti kebingungan. Sejurus kemudian ia melajukan sepedanya kembali, masuk ke halaman rumah warga.

 

WEH!

 

jembatan kecil situs watugilang banguntapan

 

Manuver Mbah Gundul ganti bikin aku kebingungan. Tapi, karena peranku di sini cuma sebagai pengekor, jadi ya aku manut-manut saja dengan pilihan rute si Mbah yang nggak lazim itu. #hehehe

 

Halaman belakang rumah warga yang kami lewati #tanpa.permisi itu rupanya tersambung dengan jembatan kecil. Sisi seberang jembatan tersambung dengan jalan setapak yang juga bersebelahan dengan halaman belakang rumah warga.

 

Nah, dari jalan setapak itulah terlihat suatu monolit yang tergeletak di tanah yang cukup lapang. Suatu pemandangan unik yang mengundang rasa penasaran.

 

 

“Sudah pernah ke sini?” tanya Mbah Gundul sambil memarkirkan sepedanya di dekat pagar tanaman.

 

“Belum Mbah,” jawabku, “Tapi, aku sudah tahu papan namanya di jalan sana itu pas dulu nganter undangan.”

 

Papan putih yang berdiri tegak di dekat tempat sepeda kami terparkir memuat nama WATUGILANG. Itulah nama dari situs purbakala di Dusun Gilang, Desa Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta ini.

 

Menurut "Kamus Jawa Kuna Indonesia" karya Pak Mardiwarsito, “gilang” merupakan kata dalam bahasa Jawa kuno yang berarti batu datar untuk duduk-duduk atau beristirahat. Adanya kata “watu” yang mendahului kata “gilang” mungkin hanya sebagai penegas bahwa “gilang” yang dimaksud berwujud batu.

 

 

Sebetulnya, sudah sejak dari tahun 2010-an aku tahu keberadaan situs Watu Gilang. Tapi, niat untuk bertandang ke sini selalu tertunda-tunda oleh pikiran malas,

 

“Ah, nanti-nanti sajalah. Toh dekat ini cuma di Banguntapan. Lagipula, batunya kan nggak bakal pindah ke mana-mana.” #hehehe

 

Jadi ya, baru pertengahan tahun 2018 aku pada akhirnya singgah ke situs Watu Gilang. Itu pun karena diajak oleh Mbah Gundul yang belakangan ini seperti sedang senang menyambangi batu-batu purbakala.

 

 

Sayangnya, begitu aku mengamati Watu Gilang lebih saksama, perasaan agak sedih pun menyeruak. Pandanganku terpaku ke sisi utara batu berusia ratusan tahun tersebut.

 

“Lho, kok reliefnya rusak begini? Sengaja dirusak atau patah ya? Kok bisa mulus begini rusaknya?” ocehku sambil berjongkok mengamati relief yang rusak.

 

“Itu kan dari batu putih. Jadinya rapuh, gampang rusak,” jawab Mbah Gundul yang duduk di pondasi tegel di bawah papan informasi.

 

“Hmmm, ini relief ikan ya?” kataku lagi menerka-nerka relief yang rusak tersebut. Sekilas wujud reliefnya memiliki sirip seperti ikan, tapi bisa juga menyerupai kura-kura.

 

“Lha, ya apa?” jawab Mbah Gundul lagi dengan nada yang misterius.

 

 

Wujud relief yang rusak itu jelas bisa dengan mudah aku ketahui dari tulisan di papan informasi. Tapi, sebelum aku menyimak tulisan di papan informasi, aku penasaran secanggih apa bisa menebak relief-relief di Watu Gilang ini. #hehehe

 

Jadi, aku pun berjalan mengeliling Watu Gilang, mengamati relief-relief di keempat sisinya. Dimulai dari sisi utara, barat, selatan, dan berakhir di sisi timur.

 

Berdasarkan pengamatanku, keempat sisi Watu Gilang dihiasi dengan relief yang bermotif serupa, yaitu sulur-suluran, bunga, dan pilar. Hiasan relief seperti ini umum dijumpai di candi-candi Yogyakarta.

 

Hal yang menarik dari Watu Gilang adalah adanya dua panel persegi pada setiap sisinya. Di panel ini terukir pahatan berbagai hewan yang duduk di atas padmasana (alas duduk bunga teratai). Jadi, Watu Gilang  berhiaskan delapan relief hewan.

 

Selain satu relief hewan di sisi utara, Alhamdulillah kondisi ketujuh relief hewan lain cukup baik. Tapi, beberapa relief yang cukup baik tersebut terlihat mulai mengalami kerusakan seperti aus, jamur, dan terkena tumpahan cat hitam. #doh

 

 

Dari kedelapan relief hewan tersebut, wujud hewan yang terlihat jelas adalah gajah, kuda bersayap #what.the, bebek, kambing, dan sapi. Jika mengacu ke teks di papan informasi, relief hewan yang menghiasi Watu Gilang adalah sebagai berikut,

 

 

Yah, nggak buruk-buruk amat lah aku berhasil menebak beberapa relief hewan tersebut. #hehehe

 

 

“Jadi, sudah tahu toh, yang namanya Watu Gilang?” tanya Mbah Gundul.

 

“Sudah Mbah,” jawabku sambil cengengesan.

 

“Beda kan sama yang kemarin (di Kalasan) itu?”

 

“Ya beda Mbah. Yang di Kalasan itu bentuknya persegi, kalau yang ini trapesium.”

 

“Hah? Trapesium. Iya po?”

 

“Lha ya iya. Ini kan sudut batunya miring, nggak lurus,” kataku sambil menunjuk sudut pinggir batu.

 

Jika mengacu ke teks di papan informasi, Watu Gilang memang berbentuk trapesium. Sisi atasnya memiliki ukuran 2,4 meter x 2,3 meter. Sedangkan sisi alasnya berukuran 2,5 meter x 2,6 meter. Karena alasnya lebih besar dari atasnya, jadi bentuknya trapesium toh? #senyum

 

Tinggi Watu Gilang sendiri adalah sekitar 1 meter. Ketinggian tersebut terbilang cukup tinggi untuk dipanjat seorang pria dewasa tanpa kakinya menjejak permukaan sisi batu.

 

Eh iya! Apakah mungkin rusaknya relief ikan di sisi utara itu akibat terinjak oleh orang yang berusaha memanjat Watu Gilang ya?

 

Jika memperhatikan wujud Watu Gilang yang keempat sisinya berhiaskan relief serta memiliki tinggi sekitar 1 meter, menurutku batu ini dibuat bukan untuk dipanjat ataupun diduduki orang. Aku menduga, mungkin dulu Watu Gilang digunakan sebagai dudukan suatu benda besar yang berdiri di atasnya, mungkin saja arca. 

 

Di sisi atas Watu Gilang terdapat lubang sedalam 15 cm dan berdiameter 18 cm. Aku menduga lubang itu berfungsi untuk tempat pengait benda yang dipasang di atasnya supaya bisa berdiri lebih kokoh.

 

 

Kembali pada kedelapan relief hewan di keempat sisi Watu Gilang, aku mencoba menerka-nerka apakah maksud dari terukirnya relief-relief tersebut. Jika mengaitkan relief hewan dengan relief hiasan bermotif tumbuh-tumbuhan, Watu Gilang seakan memancarkan nuansa alam.

 

Oleh sebab itu, mungkin Watu Gilang ini memiliki hubungan dengan sesuatu yang berhubungan erat dengan alam. Mungkin penguasa yang mencintai alam atau arca dewa yang menguasai alam. Apa mungkin arca Dewa Siwa yang konon katanya adalah penguasa hewan-hewan?

 

 

Sedikit menjauh dari situs Watu Gilang, hanya beberapa meter dari sana terdapat sungai kecil. Menariknya, di bawah talud yang membatasi Situs Watu Gilang dengan bantaran sungai terdapat mata air (belik).

 

Warga sekitar masih memanfaatkan mata air tersebut untuk mencuci pakaian. Sayang, pada waktu itu dua ibu yang sedang mencuci pakaian malu-malu untuk difoto. #hehehe

 

Keberadaan mata air di dekat suatu bangunan candi adalah suatu hal yang umum dijumpai. Oleh sebab itu, keberadaan mata air di dekat situs Watu Gilang juga bisa menjadi penanda akan adanya suatu bangunan pemujaan di lokasi ini.

 

 

Sempat terbesit sedikit rasa penyesalan, kenapa aku nggak mengunjungi Watu Gilang pada tahun 2010-an ketika relief ikannya masih utuh. #sedih

 

Yah, semoga saja pada masa mendatang relief ketujuh hewan yang lain tetap berada dalam kondisi yang baik mengingat situs purbakala ini minim penjagaan sehingga rawan oleh ulah tangan-tangan jahil. Mungkin ada benarnya juga untuk menyegerakan menyambangi situs purbakala saat situs tersebut masih berada dalam kondisi yang relatif baik.

 

Kunjungan di situs Watu Gilang berakhir kurang dari lima belas menit. Saatnya melanjutkan bersepeda menuju TKP utama untuk “memaling” sesuatu sesuai informasi dari Mbah Gundul. #hehehe

NIMBRUNG DI SINI