Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pertama-tama, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sepatutnya terhatur kepada saudara Achmad Maulana yang lebih dikenal sebagai
ALANNOBITA KRIWIL-KRIWIL
yang mana berkat artikel di blog-nya kami memperoleh TKP untuk “keluyuran pulang siang” pada Minggu (6/1/2019) yang lalu. #senyum.lebar
Sayangnya, sang istri sepertinya nggak percaya bahwa (dulu) ada tambahan kata “kriwil-kriwil” di belakang nama saudara Alannobita. #hehehe
Oleh sebab itu biarlah Google yang mematahkan keyakinan sang istri.
Ya kan!? Suami nggak bohong kan!? #hehehe
Bahkan itu nama “kriwil-kriwil” pernah muncul di blog-nya Mbak Sasha dan TeamTouring. #hehehe
Tapi ya, karena nama Alannobita Kriwil-Kriwil itu terlalu panjang, maka dari itu pada artikel ini kita singkat saja penyebutannya menjadi Alannobita thok. #hehehe
Jikalau Pembaca belum kenal dengan sosok bernama Alannobita yang biasa disapa Alan, silakan klik tautan alamat blog beliau di bawah ini.
Oke, kembali kita ke topik! #senyum.lebar
Nah, berhubung pada Minggu (6/1/2019) yang lalu itu:
- Sang suami kepingin mengajak istrinya keluyuran.
- Sang istri sedang bosan bertualang mencari
kitab sucicurug di barat Yogyakarta. - Harus tiba kembali kurang dari pukul 2 siang karena Pak Slamet mau bersih-bersih rumah.
Oleh sebab itu, terpilihlah Curug Ngembel di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta sebagai TKP alias tujuan. #senyum.lebar
Pengetahuan tentang Curug Ngembel itu sesuai informasi yang termuat di artikel blog-nya saudara Alannobita. Walau artikel itu terbit tahun 2012, tapi sampai 7 tahun kemudian masih terngiang-ngiang di ingatan karena lokasi curugnya hanya di Wonosari thok! #hehehe
Holadalaaa... Wonosari… kecamatan yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Gunungkidul, yang jaraknya hanya sekitar 40-an km dari rumah dan lancar ditempuh lewat Jl. Raya Yogyakarta – Wonosari. Oleh sebab itu pula, cerita perjalanan ini dipersingkat menjadi ke Jl. Raya Wonosari – Nglipar, yang di sana terdapat cabang jalan menuju ke Curug Ngembel. #hehehe
Sesuai pepatah "ada banyak tanjakan jalan ke Gunungkidul", maka dari itu ada banyak jalan pula menuju ke Jl. Raya Wonosari – Nglipar:
- Bisa lewat jalan baru yang besar dan mulus ke arah Lapangan Udara Gading yang rencananya bakal dibuat tembus sampai Prambanan. #wow
- Bisa pula lewat Jl. Lingkar Utara (dari Bundaran Siyono ke utara/belok kiri) lalu mengambil cabang jalan ke kiri di simpang empat yang dijaga lampu lalu lintas sesuai petunjuk di artikel blog-nya saudara Alannobita.
Yang jelas, yang jelas, yang jelas... sepanjang berkendara menuju ke Jl. Raya Wonosari – Nglipar, ada saja “serbuan” dari mas-mas bersepeda motor yang tiba-tiba memposisikan diri di samping kendaraan lalu bertanya sopan,
“Mau ke mana Mas?”
Wadeh... ini pasti si mas-mas berniat menawari jasa pandu ke objek wisata Gua Pindul. Padahal, pada zaman di mana Google Maps sudah menjadi kitab sakti bagi para pelancong buta mata angin, jasa mas-mas ini semestinya tak lagi diperlukan.
Tapi ya... yang namanya usaha menjemput rezeki kan ya? Perolehan komisi dari operator jasa wisata Gua Pindul jelas bukan sesuatu yang remeh.
Si mas-mas yang bertanya ke kami itu mungkin terpancing dengan laju sepeda motor kami yang melambat tatkala mengamati deretan “anggrek matahari” di teras suatu rumah warga. Sayangnya, begitu pertanyaan si mas-mas itu aku jawab lantang dengan,
“Ke sarean! Melu po?”
Eh, tiba-tiba dia malah berbalik arah!
Padahal kan ya memang lewat sarean alias kuburan. #hehehe
Payah ah si mas-mas e. #hehehe
Walaupun demikian, untuk memastikan bahwa ancer-ancer warung sate yang dituju berada pada ruas jalan yang benar, aku sempat bertanya kepada seorang bapak di pinggir jalan. Itu karena artikel blog-nya saudara Alannobita nggak mempaparkan secara rinci jenis sate yang dimaksud. #hehehe
Sate ayam kah?
Sate sapi kah?
Sate kambing kah?
Sate kuda kah?
Sate siput kah?
Lagipula, warung sate kan umumnya berwujud warung tenda yang buka pas malam. #hehehe
Hooooo… jebul rupanya ancer-ancer warung sate yang dimaksud itu nggak lain adalah warung sate kambing Pak Yadi Karangtengah.
Oleh karena waktu sudah mendekati pukul 11 siang, jadi warung sate kambing Pak Yadi sudah melayani pelanggan. Tapi, karena perut masih kenyang dengan semangkuk soto Tan Proyek yang mahal dan pelayanannya kurang memuaskan #eh, jadilah dengan demikian sepeda motor tetap melaju melewati cabang jalan cor-coran semen yang menurun di seberang utara warung.
Jalan cor-coran semen tersebut membelah sungai berair cokelat keruh, kemudian menanjak menuju deretan rumah warga. Melihat wujud jalan di atas membuat sang istri khawatir akan terjadinya suatu peristiwa nyasar #hehehe. Tapi, aku berkeyakinan bahwa selama artikel blog-nya saudara Alannobita nggak mencantumkan petunjuk lain, itu artinya ya nggak nyasar.
Singkat menit kemudian, jalan kampung yang kami lalui berujung buntu menghadap tebing bersemak rimbun. Di ujung jalan itu ada sepeda motor lain yang terparkir dan juga bangunan rumah air.
Ya toh nggak salah jalan? #senyum.lebar
Rumah air yang dimaksud jelas untuk mendulang air bersih yang bersumber dari mata air Ngembel. Samar-samar terdengar suara mesin di sekitar pipa-pipa biru.
Tentang mata air Ngembel sendiri sungguh sangat Subhanallah! Airnya jernih buanget! #senyum.lebar
Jernihnya mata air Ngembel menggoda sang istri untuk berbasah-basahan. Dirinya pun turun mendekat, sekadar membasuh tangan.
Sebetulnya, mau membasuh muka sekalian ya nggak apa-apa kok. Lha wong kalau ketemu mata air pas bersepeda sama Mbah Gundul pasti ya ada ritual membasuh muka. #hehehe
Mau airnya dibawa pulang sekalian buat menyiram kaktus, keladi, dan sukulen ya monggo. #senyum.lebar
Eits! Misi masih belum selesai!
Curug Ngembel belum tergapai karena tepian Kali Oya belum terjamah!
Sepintas dugaan, air yang mengalir dari mata air Ngembel sepertinya berujung di Kali Oya. Air tersebut mengalir melewati saluran irigasi yang membelah hamparan sawah-sawah yang lagi-lagi Subhanallah indahnya! #waow
Pemandangan persawahan hijau seperti pada foto di bawah ini seakan memusnahkan anggapan bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah wilayah susah air. Serasa ingin melantunkan slogan “RCTI Okeee!” sebagaimana tayangan iklan tahun 90-an silam. #senyum.lebar
Pematang sawah pun dititi guna mencapai lembah Kali Oya yang terlihat mungil dari tempat sepeda motor diparkir. Mas-mas pemburu lumut di sawah #untuk.umpan.memancing turut memberikan informasi bahwa di dasar lembah ada tempat bagus untuk berfoto-foto.
Setelah beberapa menit berjalan kaki di bawah terik matahari yang aduhai #hehehe, tibalah kami di ujung saluran irigasi. Lebih persisnya, di pinggir tebing lembah Kali Oya di mana rupanya air dari mata air Ngembel itu terjun bebas menuruni tebing lembah sebagai curug alias air terjun!
Berarti, sekarang posisi di puncak curug. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
“Bagaimana caranya ke dasar curug?”
Satu dari empat foto di artikel blog-nya saudara Alannobita membuktikan bahwa menjejak dasar Curug Ngembel bukanlah hal yang mustahil. Hal itu turut didukung oleh pemberitahuan mas-mas pemburu lumut bahwa ada jalan menuju ke dasar lembah sungai.
Akan tetapi, setelah sekilas mengamati pinggir-pinggir tebing, kok nggak terlihat keberadaan jalan yang dimaksud ya? Apakah artinya pada tahun 2019 dasar Curug Ngembel tak lagi dapat digapai?
Oh ya nggak dong! Foto thumbnail artikel ini kan membuktikan sebaliknya. #senyum.lebar.
Ndilalah di dekat ujung saluran irigasi tergeletak sebuah tangga kayu yang nggak jelas kepemilikannya. Maka dari itu, dengan mengucap izin
“Pak, kula ngampil ondo ne nggih?”
yang ditujukan entah kepada siapa #hehehe, aku pun mengusung tangga itu dan memposisikannya di pinggir tebing supaya sang istri terlucyu bisa turun ke dasar lembah tanpa ragu.
Coba, kurang baik dan kurang kerjaan apa aku ini sebagai suami yang turut mendukung hobi keluyurannya istri? #hehehe
Di dasar Curug Ngembel, kegiatan kami ya berfoto-foto lah. Oleh sebab pemandangan lembah Kali Oya juga nggak kalah memukau, jadi ya sekalian saja jadi latar foto. #senyum.lebar
Yang perlu diperhatikan adalah untuk waspada dan berhati-hati karena aliran Kali Oya deras dan sungainya dalam!
Sekadar informasi, pada waktu itu pemotretan di sini beragam tantangannya. Selain karena kinerja tripod yang sudah memble, teriknya matahari pada pukul setengah 12 siang lewat seakan membuat teknik slow speed sulit untuk dipraktekkan walaupun sudah menumpuk filter ND.
Oh iya, nun jauh di salah satu sudut lembah Kali Oya terlihat pula adanya curug lain yang sepertinya sejenis dengan Curug Ngembel. Tapi, mbuh bagaimana caranya ke sana tanpa menumpang perahu yang melawan arus. #pr
Singkat kunjungan ke Curug Ngembel ini membuktikan bahwa masih ada tempat menarik di Gunungkidul yang lebih sepi dari Gua Pindul dan bukit jagung Paliyan. Kunjungan ini membuktikan pula bahwa pada Januari 2019 curug-curug di Gunungkidul sepertinya sudah berair lagi. #senyum.lebar
Terima kasih sekali lagi diucapkan kepada saudara Alannobita Kriwil-Kriwil. #senyum.lebar
Jangan lupa pula, bahwa penulisan Gunungkidul itu disambung, tanpa spasi!
Yang benar itu Gunungkidul.
Bukan Gunung Kidul! #hehehe
sejak merantau.. semoga dalam waktu dekat punya waktu dan kesempatan lagi.. :D
membranding dirinya Alan Nobita Kriwil-kriwil :D
Betewe itu mbak istri terlucyu banget yak ahahaha
sukanya mepet-mepet. Huft.
Ayo ke curug mana lagi ayoo :p