Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Petualangan bersepeda ke Goa Gajah bersama Mbah Gundul pada Sabtu (21/10/2017) silam bermula dari obrolan WhatsApp di bawah ini.

Aku belum pernah ke Goa Gajah. Cuma tahu letak Goa Gajah dekat dengan Kebun Buah Mangunan. Pun, jika memilih Desa Mangunan sebagai tujuan bersepeda, jelas wajib hukumnya melewati rentetan tanjakan di Perbukitan Dlingo. #wilayah.tanjakan.jahanam
Akan tetapi, sejak aku “terbiasa” bersepeda PEKOK seorang diri #hehehe, aku merasa bahwa tanjakan di Perbukitan Dlingo jauh lebih “ramah” dibandingkan dengan tanjakan di Perbukitan Menoreh. Misalnya, tanjakan ke Girimulyo atau ke Samigaluh. #hehehe
Jadi ya... kenapa nggak mencoba ke Goa Gajah dengan bersepeda!? #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Aku janjian tiba di Joglo Pit pukul setengah 6 pagi. Tapi, karena semalam tidur larut, jadinya aku baru bangun pukul 6 pagi, hehehe. #hehehe #kesiangan
Dengan memacu Trek-Lala sesantai mungkin, aku tiba di Joglo Pit sekitar pukul 7 pagi. Mbah Gundul jelas sudah lama menanti aku datang. #hehehe
Tanpa berlama-lama, kami pun berangkat bersepeda ke Goa Gajah. Seperti yang aku singgung di paragraf atas, sebelumnya kami harus mencapai Perbukitan Dlingo terlebih dahulu.
Untuk ke Perbukitan Dlingo, Mbah Gundul memilih rute lewat Kotagede dilanjut menyeberangi perempatan Ringroad menuju ke Pleret. Di kawasan Pleret, Mbah Gundul mengajak bersepeda melewati jalan sawah yang di kanan-kirinya terdapat tempat pembuatan batu bata.
Banyaknya tempat pembuatan batu bata membuat aku terpancing menceritakan kisah yang aku peroleh saat mengikuti acara Jelajah Peradaban Mataram Islam. Tentu Mbah Gundul ikut menimpali dengan kisah versinya sendiri. #hehehe
Konon katanya, pada saat Amangkurat I (Raja Mataram 1646 – 1677) hendak membangun istana di Pleret, beliau memerintahkan rakyat Pleret untuk membuat batu bata. Mungkin karena titah raja, hingga saat ini pekerjaan tersebut masih terus dilakukan. #senyum
Eh, kira-kira sampai sekarang sudah berapa kubik tanah Pleret yang dibuat jadi batu bata ya? #senyum.lebar
Setibanya di Desa Segoroyoso aku memberi usul agar ke Perbukitan Dlingo lewat Tanjakan Cinourip. Umumnya orang-orang ke Perbukitan Dlingo lewat Jl. Imogiri – Dlingo (Jl. Mangunan). Tapi, karena ruas jalan itu semakin ramai dengan wisatawan yang hendak ke hutan pinus, jadi mending cari jalan lain yang lebih sepi deh. #hehehe
Ruas jalan yang disebut Tanjakan Cinourip ini sebetulnya adalah ruas jalan yang menghubungkan Dusun Pucungrejo (Kecamatan Imogiri) dan Dusun Ngliseng (Kecamatan Dlingo). Ruas tanjakan yang kemiringannya hampir mirip dengan Tanjakan Cinomati ini sudah pernah aku jajal pada tahun 2015.
Oh iya, di tanjakan ini ada cabang jalan ke air terjun lho! #senyum.lebar
Setelah “mengolah” dengkul selama hampir 1,5 jam, kami pun tiba di puncak Tanjakan Cinourip. Nggak jauh dari puncak ada perempatan jalan yang bercabang ke Patuk dan hutan pinus Mangunan.
Karena letak Goa Gajah dekat dengan Kebun Buah Mangunan, jadi kami mengambil cabang jalan ke arah hutan pinus. Sama seperti dulu, ruas cabang jalan dari perempatan ke hutan pinus masih berhiaskan tanjakan-tanjakan yang agak curam. Dengkul pun dibuat kepayahan untuk yang kesekian kalinya. #hehehe
Ayo, semangat! #senyum.lebar
Sekitar pukul 10 siang, kami tiba di muka kawasan wisata Pinus Asri Mangunan. Agak kaget juga menyaksikan kawasan ini berubah jadi ramai. Suasananya sangat jauh berbeda dengan kenangan pas pertama kali bersepeda ke sini pada tahun 2010 silam.
Karena punya misi utama ke Goa Gajah, jadi kami nggak masuk ke objek wisata hutan pinus. Kami hanya istirahat duduk-duduk di luar pagar sambil menyantap bekal kue pukis yang dibeli Mbah Gundul di dekat Pasar Ngipik. #senyum.lebar
Selesai istirahat, perjalanan bersepeda ke Goa Gajah pun berlanjut. Jalan dari kawasan wisata hutan pinus ke Kebun Buah Mangunan didominasi turunan. Medan jalan yang cukup menyenangkan setelah sekian kilometer “mengolah” dengkul di tanjakan. #senyum.lebar
Di sepanjang jalan menuju Kebun Buah Mangunan terlihat banyak petunjuk arah ke berbagai tempat wisata. Salah satunya adalah Goa Gajah. Karena itu, nggak perlulah sampai ada adegan nyasar. #hehehe
Di tengah jalan Mbah Gundul sempat menunjukkan batu besar yang berwujud unik. Batu ini disebut Mbah Gundul sebagai watu payung. Dalam penglihatanku, wujud batunya lebih mirip UFO dibandingkan payung. #senyum.lebar
Pas melewati SD Kanigoro, ada bola yang terlempar keluar dari halaman sekolah. Mbah Gundul memungut bola itu dan melemparkannya kembali ke anak-anak yang sedang bermain. Tumben dirinya baik. #senyum.lebar
Kira-kira setelah 5 menit bersepeda dari SD Kanigoro, kami pun tiba di muka kawasan wisata Goa Gajah. Waktu menunjukkan pukul 10 siang lewat 40 menit.
Sepeda kami parkirkan di area parkir yang nihil kendaraan. Pengunjung Goa Gajah sepertinya baru kami berdua. Oleh sebab belum sarapan, Mbah Gundul mengajak menyambangi warung sederhana yang berada di dekat area parkir.
Sayang, sang pemilik yang bernama Bu Badriyah rupanya baru bersiap membuka warung. Oleh karena persiapan membuka warung sepertinya masih lama, Mbah Gundul pun mengajak menyambangi objek wisata Tebing Watu Mabur. Toh, jaraknya hanya sekitar 500 meter dari Goa Gajah.
Sekitar satu setengah jam kemudian kami balik lagi ke kawasan Goa Gajah. Eh, rupanya Bu Badriyah masih belum rampung menyiapkan warung.
Hadeh....
Didorong rasa kemanusiaan dan semangat gotong-royong #halah, kami pun membantu Bu Badriyah mengeluarkan bangku. Eh, ternyata air panasnya sudah siap. Jadilah teh panas terhidang seusai membantu-bantu Bu Badriyah. #senyum.lebar
Ah, nikmat betul menyesap teh panas setelah capek bersepeda #senyum.lebar. Pas sedang asyik-asyiknya nge-teh itu, datanglah seorang bapak paruh baya dengan mengendarai sepeda motor. Bapak itu lalu mengobrol banyak dengan Mbah Gundul.
Rupanya bapak itu adalah penjaga Goa Gajah. Namanya Pak Poniman. Beliau adalah pensiunan guru SD di Jawa Barat.
Konyolnya, Pak Poniman sempat mengira aku gagu alias tuna wicara! Mungkin karena aku terlalu syahdu menikmati teh panas dan suasana hutan yang damai sehingga nggak mengucapkan sepatah kata pun kepada beliau, hehehe. #hehehe
Selesai istirahat, saatnya menjajal masuk ke Goa Gajah. Sebelum beranjak, Pak Poniman menawari apakah mau ditemani atau nggak. Mbah Gundul menjawab mau masuk ke gua tanpa ditemani.
Karena memutuskan masuk ke Goa Gajah tanpa ditemani, Pak Poniman meminta agar tas yang kami bawa ditinggal di warung. Alasannya supaya lebih aman. Katanya, beberapa kali ada orang nakal yang memanfaatkan gelapnya gua untuk merogoh isi tas pengunjung secara diam-diam.
Jujur, aku sebetulnya merasa lebih aman jika tasku (isinya peralatan kamera) tetap dibawa masuk ke Goa Gajah. Sempat terjadi tawar-menawar dengan Pak Poniman. Tapi, beliau tetap bersikukuh bahwa tas harus ditinggal di warung.
Daripada urusan makin runyam, ya apa boleh buat? Manut sajalah... #sedih
Kami diantar Pak Poniman sampai ke depan mulut Goa Gajah. Di depan mulut gua ada papan informasi yang menjelaskan denah Goa Gajah beserta nama-nama ruangan dan objek yang berada di dalamnya:
- Kyai Balad
- Lorong Ular
- Pendopo
- Tangga ke Atas
- Kepatihan
- Turangga
- Balai Pertemuan
- Sentong
- Keputren
- Papan Abdi
- Sanggar Pamujaan
- Batu Gajah
Dengan bekal senter yang dibawa dari rumah, aku dan Mbah Gundul masuk ke Goa Gajah. Kondisi di dalam gua rupanya nggak gelap-gelap amat. Soalnya, di beberapa sudut gua sudah terpasang lampu. Aku rasa, nggak menyalakan senter sebetulnya sih nggak apa-apa. #hehehe
Hawa di dalam Goa Gajah nggak pengap. Di beberapa sempat sudut terasa ada hembusan angin. Aku juga nggak mencium bau busuk kotoran kelelawar.
Setelah beberapa menit berjalan kaki dari mulut Goa Gajah, kami tiba di suatu ruangan luas yang berlangit-langit tinggi. Di ujung ruangan itu tumbuh pohon besar. Cahaya matahari menyinari sudut di mana pohon tersebut tumbuh dan membuat suasana lumayan terang.
Di dekat pohon besar terdapat tangga bambu. Tangga itu mengarah ke mulut Goa Gajah yang satunya lagi, yang menjadi jalan keluar alternatif.
Di dekat mulut Goa Gajah yang satunya itu terdapat jalan menuju ke “lantai dua”. Di serambi lantai dua inilah terdapat batu yang menyerupai gajah. Tinggi batunya sedada pria dewasa.
Konon, batu yang menyerupai gajah ini berkaitan dengan penggalan kisah hidup Pangeran Purbaya. Beliau adalah putra Panembahan Senopati, raja Mataram Islam yang pertama.
Alkisah, Pangeran Purbaya pernah tinggal bertapa di Goa Gajah. Dalam masa itu beliau sempat menikah dengan wanita setempat.
Setelah menikah, nggak seberapa lama wanita itu hamil. Pangeran Purbaya yang curiga lalu berujar, jika wanita itu tak mengandung anaknya, maka ia akan terlahir dalam wujud gajah.
Kemudian lahirlah si anak dalam wujud batu yang menyerupai gajah. Tandanya, dia bukan anak Pangeran Purbaya.
Penjelajahan kami di Goa Gajah berhenti di ruangan gua yang dinamai Sentong. Di sana Mbah Gundul mencium bau busuk kotoran kelelawar. Padahal, aku sendiri nggak mencium bau apa pun.
Karena bau busuk yang semakin menyengat, Mbah Gundul memutuskan untuk balik. Aku dipersilakan menjelajah sendirian. Tapi, karena gelap dan (takut #hehehe) sendirian, jadi mending aku ikut Mbah Gundul balik saja lah.
Jika dibandingkan dengan Gua Cerme, menurutku Goa Gajah kurang memiliki ragam bebatuan berwujud menarik. Meskipun begitu, gua ini tetap harus dijaga kelestariannya agar generasi mendatang masih dapat mengambil manfaat darinya. #senyum
Sayangnya, Goa Gajah terlalu dipoles secara “kekinian” sehingga melunturkan keasriannya. Misalnya saja keberadaan panggung kayu untuk berfoto dan lampu sorot yang berwarna-warni mirip lampu disko. #sedih
Selain itu beberapa batu kapur di dalam gua terlihat dipatahkan dengan sengaja. Apakah batu kapur tersebut menjadi korban pembuatan jalan setapak yang nyaman bagi pengunjung? Katanya sih baru beberapa malam yang lalu diadakan kerja bakti.
Sekitar pukul 1 siang lebih sedikit kami bertolak dari Goa Gajah. Perjalanan pulang masih panjang. Terutama karena harus berhadapan dengan ruas Jl. Imogiri – Dlingo yang menanjak. #hehehe
Ini seperti “pembalasan” karena sejak dari Hutan Pinus Mangunan sampai Goa Gajah jalannya didominasi turunan. Coba saja ada rute bersepeda yang pergi dan pulangnya turunan terus. #hehehe
Duh.... #hehehe
Sepertinya gua memang bukan obyek wisata yang disenangi wisatawan yang hobi selfie. Mungkin karena gelap dan ada kesan angkernya begitu.