Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Sabtu pagi (21/7/2018) yang lalu, aku dan Mbah Gundul bersepeda ke Candi Kedulan. Di sana, kami diberitahu pak petugas keamanan bahwa di Dusun Segaran ada belik (mata air) yang sezaman dengan Candi Kedulan.
Berhubung Dusun Segaran hanya berjarak sekitar 300 meter di timur Candi Kedulan, jadi kami pun lanjut bersepeda ke sana. Tanpa direncanakan, kami bertamu ke kediaman seorang warga sepuh bernama Mbah Ngadirin. Beliau menceritakan banyak hal tentang sejarah belik Segaran.
Cerita lengkapnya bisa disimak pada artikel di bawah ini.
Sekitar hampir satu jam kemudian, akhirnya Mbah Ngadirin menyudahi ceritanya. Weh, lama juga ya? #hehehe
Dengan kerendahan hati, Mbah Ngadirin mengantarkan kepergian kami sampai ke cabang jalan depan rumah. Tak lupa, beliau memberitahu ancar-ancar menuju belik Segaran. Beliau meminta maaf karena nggak bisa ikut mengantar sampai ke lokasi.
Perjalanan pun berlanjut menyusuri jalan di Dusun Segaran sesuai petunjuk dari Mbah Ngadirin. Di tengah perjalanan, Mbah Gundul sempat memastikan arah kepada seorang ibu yang sedang mencuci baju di luar rumah. Kata ibu itu, jalan ke belik Segaran tinggal lurus terus sampai mentok lewat jalan setapak di samping rumah.
Tiba di samping rumah bercat putih, terlihat adanya suatu jalan setapak menurun. Jalan itu seakan menembus lebatnya hutan bambu.
Supaya nggak repot, aku bilang ke Mbah Gundul supaya sepeda diparkir saja di dekat rumah. Tapi, si Mbah malah bersikukuh supaya sepeda dibawa turun. Yo wis.... #hehehe
Jalan setapak yang kami lalui menuruni tebing menuju ke dasar lembah. Selepas menuruni anak tangga dari batu, menghadanglah saluran irigasi. Di dekat saluran irigasi inilah sepeda-sepeda kami parkirkan, menyender ke batang-batang bambu.
Sesuai petunjuk dari Mbah Ngadirin, belik Segaran terletak di dekat sungai. Kami duga lokasinya berada di dasar lembah.
Jadi, kami pun berjalan kaki mencari jalan menuju ke dasar lembah. Tak butuh banyak langkah, dari pinggir saluran irigasi sudah terlihat jelas objek yang kami cari.
Hooo, jadi ini toh yang disebut sebagai belik Segaran. Mata air purbakala di dekat sungai yang konon pernah mistis pada zamannya. #senyum.lebar
Rupanya pula pengujung belik Segaran tak hanya kami berdua. Seorang bapak paruh baya yang sedang mencuci pakaian sudah terlebih dahulu hadir di sana.
Sungguh suatu perilaku yang umum bagi warga sekitar untuk mencuci pakaian di belik ini. Apalagi jika mengamati jumlah sampah plastik bungkus detergen yang bertebaran di sekitar belik. #hehehe
Kotor banget.... #sedih
Ketinggian air di belik Segaran hanya sebatas mata kaki. Mata air ini sudah diperkokoh dengan dinding yang terbuat dari semen dan batu cadas. Bentuknya pun menjadi persegi panjang dengan luas sekitar 20 meter x 5 meter.
Sebuah pohon beringin raksasa (aku duga usianya sudah ratusan tahun) tumbuh di dekat belik Segaran. Mungkin dari pohon inilah asal sumber mata air belik Segaran. Di dinding belik yang dekat dengan pohon raksasa terdapat lubang besar (mirip lubang selokan #hehehe) yang terus-menerus mengalirkan air.
Aku amati, banyak batu candi yang berjejer di sekitar belik Segaran. Batu-batu candi tersebut nggak ada yang memiliki hiasan relief. Mungkin itu batu-batu penyusun isian candi.
Menurut bapak yang sedang mencuci pakaian, dulu di sekitar belik Segaran ada banyak batu candi. Sekarang yang tersisa hanya ini. Segelintir lainnya berserakan di tepian sungai di dalam hutan. Seingat beliau, batu-batu tersebut nggak ada yang berwujud arca.
Oh, iya! Batu yang dipakai si bapak sebagai papan gilas cucian juga batu candi lho! #hehehe
Weh zaman sekarang batu candi sudah beralih fungsi.... #hehehe
Dibandingkan belik Segaran, Mbah Gundul sepertinya lebih tertarik dengan rumor keberadaan objek watu gilang sebagaimana yang tadi diceritakan Mbah Ngadirin. Yang disebut sebagai watu gilang itu adalah batu yang permukaan atasnya rata, mirip seperti tempat duduk.
Kalau katanya si bapak yang sedang mencuci pakaian, di dekat belik Segaran ada dua watu gilang. Batu yang pertama terletak di akar-akar pohon beringin raksasa. Batu yang kedua terletak di pinggir sungai sisi barat.
Berhubung letak watu gilang yang pertama dekat dengan posisi kami, jadi ya me-nginguk-lah kami ke akar-akar pohon beringin raksasa. Eh, betul ternyata! Di sela-sela akar pohon ada batu yang permukaannya rata! Sayang, sekelilingnya kotor sampah plastik. #sedih
Tapi, mbuh ini watu gilang atau bukan, karena wujud utuhnya kan belum ketahuan. Jikalau mencermati akar-akar yang mencengkeram si batu, sepertinya untuk menyingkap wujud asli si batu harus dengan menebang pohon beringin raksasa.
Hadeh. Dilematis tenan cah.... #hehehe
Karena masih ada watu gilang yang kedua, Mbah Gundul pun mengajak menyusuri sungai. Ketinggian air sungai hanya sebatas mata kaki lebih sedikit. Kata si bapak yang sedang mencuci pakaian, letak watu gilangnya nggak begitu jauh. “Cuma di situ itu”, tunjuknya. #hehehe
Weh! Menyusuri sungai!?
Karena pikirku agenda bersepeda hari ini hanya ke tempat yang kering-kering thok, jadinya aku pakai sepatu deh. Tapi, karena Mbah Gundul mengajak untuk menyusuri sungai, terpaksalah sepatu aku lepas supaya nggak basah.
Dalam hati aku berdoa, semoga penyakit jamur di kakiku nggak kumat karena aku nyeker. Lha, penyakit kulitku itu hanya mempan diobati di RS JIH yang ongkosnya mahal je.... #hehehe
Selangkah demi selangkah, perjalanan pun mulai terasa ora kalap-nya. #senyum.lebar
Batu-batu di dasar kali agak tajam sehingga membuat telapak kaki nyeri tatkala dipijak. Belum lagi di tengah perjalanan menyusuri sungai Mbah Gundul mengajak mendaki lereng tebing. Ganti deh telapak kaki sakit pas menginjak ranting-ranting bambu kering yang runcing.
Hadeh.... derita banget ini menyusuri sungai tanpa alas kaki. #hehehe
Aku berjalan mengekor Mbah Gundul yang memilih rute berdasarkan instingnya #hehehe. Sampai pada akhirnya, kami tiba di pinggiran sungai dengan jalan tanah menurun yang lumayan lebar. Mbah Gundul menduga di sinilah watu gilang yang kedua berada.
Alhasil, kami pun menjelajahi sudut-sudut sepanjang aliran sungai. Tapi, sejauh mata memandang sama sekali nggak terlihat penampakan watu gilang! Yang kami temui malah beberapa mata air mungil.
Mbah Gundul masih berupaya mencari watu gilang. Aku sendiri sudah malas, karena Mbah Gundul malah pergi blusukan di semak-semak lebat. Kalau aku ikut-ikutan blusukan masuk semak-semak tanpa alas kaki, bisa-bisa nanti malah tambah repot semisal aku menginjak sesuatu yang nggak semestinya diinjak. #hehehe
Setelah melewatkan sekian puluh menit di pinggir sungai yang dikelilingi hutan, Mbah Gundul akhirnya menyerah juga. Kami pun balik ke belik Segaran dengan tangan hampa.
Tiba kembali di belik Segaran, pemandangan yang luar biasa ora kalap mendadak mengejutkan mata!
Si bapak yang tadi sedang mencuci pakaian sekarang sedang mandi telanjang bulat di belik Segaran!
What the!!!....
Ajaibnya aku dan Mbah Gundul masih bisa bercakap-cakap santai dengan si bapak tanpa memedulikan penampilannya, hahaha. #senyum.lebar
Walaupun ya aku tetap menjaga arah pandangan supaya nggak turun ke “wilayah sakral”-nya si bapak. Aku sungkan memotret beliau dan hanya mlipir sebentar mengambil sepatu. #hehehe
Balik lagi ke cerita, si bapak heran karena kami nggak menemukan watu gilang kedua di pinggir sungai. Si bapak kembali menekankan bahwa watu gilangnya ya hanya di dekat situ itu.
Alhasil, Mbah Gundul pun kembali penasaran. Dirinya mengajak aku untuk balik lagi ke lokasi.
HEE!? Balik lagi jalan kaki menyusuri sungai ke lokasi!???
WEGAH! MBAH! #hehehe
Aku pun memakai sepatu dan bilang kepada Mbah Gundul kalau mau ke lokasi itu lagi sebetulnya bisa dengan menyusuri saluran irigasi. Jadinya lebih kering, nggak usah pakai basah-basahan kaki. Kaki kananku pun nggak bakal kena penyakit jamur lagi. #hehehe #curhat
Pas kami sedang menyusuri saluran irigasi itu, tiba-tiba aku melihat adanya suatu “penampakan”.
“Batu yang itu po Mbah?” tanyaku menatap lereng tebing di seberang sungai.
Supaya bisa mengamati lebih jelas, aku masuk ke semak-semak. Rupanya benda yang aku lihat teronggok di lereng tebing di seberang sungai memang batu candi! Ukurannya besar dan panjang.
Weh! Pantas saja tadi pas menyusuri sungai nggak melihat adanya batu ini. Lha wong batunya ada di lereng tebing, tertutup semak dan pohon bambu!
Aku pun teriak-teriak memberitahu Mbah Gundul. Rupanya, teriakanku itu didengar oleh si bapak yang sedang mandi telanjang #duh. Dari kejauhan aku dengar si bapak juga berteriak-teriak memastikan bahwa “temuanku” itulah watu gilang yang dimaksud.
Target sasaran terkunci, aku dan Mbah Gundul pun menyeberangi sungai menuju lereng tebing tempat di mana batu candi besar itu berada. Jalan menuju batu candi ini ternyata lebih mudah melalui jalan tanah lebar yang mengarah ke pinggir sungai.
Setelah diamati dengan saksama, ternyata batu candi ini bukan watu gilang, melainkan batu candi yang posisi seharusnya berada di atas gerbang (pintu masuk) bangunan candi. Dugaanku ini diperkuat dengan adanya ceruk kecil di kedua sisi ujung batu. Ceruk kecil ini berfungsi sebagai tempat dudukan tiang engsel pintu.
Dilihat dari ceruk kecil yang berjumlah dua, aku menduga dulu ada dua daun pintu yang terpasang. Pintunya sendiri bisa jadi adalah pintu kayu. Di tengah pintu kayu mungkin diberi palang untuk mengunci.
Mbah Gundul agak kecewa karena batu candi yang dicari-cari ternyata bukan watu gilang. Mungkin warga sekitar menyebut batu candi ini sebagai watu gilang dikarenakan sisi batu candi yang nggak terkubur terlihat rata seperti watu gilang.
Buatku sendiri, batu candi ini mengundang banyak tanda tanya:
- Kenapa posisi batu candi ini ada di lereng tebing?
- Dulu batu candi ini dipasang sebagai di gerbang bangunan apa?
- Apakah masih ada batu-batu candi lain yang terpendam di lereng tebing sungai?
Dugaanku, batu candi ini jatuh dari bangunannya karena gempa. Setelah itu, banjir menyeret batu candi ini hingga ke lereng tebing. Mungkin banjir lahar dingin sewaktu letusan hebat Gunung Merapi ratusan tahun silam?
Walaupun nggak sesuai harapan, karena sudah menemukan batu yang disebut sebagai watu gilang, kami pun mengakhiri misi di dekat belik Segaran. Tiba kembali di belik Segaran, rupanya bapak yang tadi mencuci dan mandi telanjang itu sudah nggak ada. #hehehe
Sewaktu kami kembali ke tempat sepeda diparkir, aku lihat ada seorang simbah kakung yang sedang berjalan menuju belik Segaran. Sambil berjalan beliau terlihat membuka kaos yang dikenakannya.
Aku sempat mau mengamati lebih jelas, tapi keburu dicegah Mbah Gundul,
“Gek ayo pergi! Mau nonton simbah-simbah mandi po!?” #hehehe
Aku sebetulnya masih penasaran. Kapan ya muncul pemandangan mbak-mbak mandi di belik Segaran? #hehehe #eh
KATA KUNCI
- alam
- arkeologi
- batu candi
- batu gerbang candi
- batu pintu candi
- belik segaran
- candi kedulan
- hutan
- kerajaan mataram
- ki ageng sekar jagad
- mata air kalasan
- mata air segaran
- mata air sleman
- mata air tirtomartani
- mbah gundul
- mbah ngadirin
- purbakala
- segaran
- sejarah mata air segaran
- sendang kalasan
- sendang segaran
- sendang sleman
- sepeda
- sleman
- sungai
- sungai watu gilang
- tirtomartani
- watu gilang
Im a foreigner in Jogja much interested in
archaeology and heritage, Id love to connect with
you if youre around. Nice story, Id love to go
blusuk
Suatu saat panjenengan selo, monggo silahkan kembali ke Belik / Umbul Segaran
sudah 3 tahun ini kami berbenah, Insya Allah akan menjadi tempat rekreasi atau sekedar
Ruang Terbuka Hijau Publik
https://goo.gl/maps/7JjQjg782kNFaDdd6
Dinas Purbakala yang ada di selatan jl. jogja-solo (bogem) tapi kembali lagi ke sungai
tersebut, kejadian ini berulang tidak hanya sekali. akhirnya sama warga sekitar ditempat
di ereng2 agar tidak mengganggu warga yang akan menuju sungai. Asal muasal batu2
candi disekitar sungai telah terungkap dengan ditemukannya prasasti di candi kedulan,
yang menyatakan bahwa raja dyah balitong mandi dan berburu di barat candi. saat ini
tempat yang jenengan kunjungi ini telah menjadi salah satu obyek wisata yang disebut
dengan taman wisata pemandian raja balitong. sungai yang jenengan sebut dengan
banyak mata air kecil itu namanya adalah sungai gilang. Kami tunggu kehadirannya lagi di
Dusun jongkangan (taman wisata raja balitong)
Hmm hmm hmm hmm hmm
Heuheuheu
Kapan kapan ke pengklik Kali Opak di Dusun Kowang, Tamanmartani, Kalasan Mas...
Zaman presidennya ibu Megawati aroma mistis di pengklik ini sangat kuat. Banyak orang terkabul permohonannya.
(Katanya) Karena disalahgunakan oleh juru kunci.. Maka oleh kerabat Keraton Jogja sang \"eyang penjaga\" diminta tidak mengabulkan setiap permintaan..
Sekarang senyap tidak ada yang sowan ke pengklik.