Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
“Ini ke mana?” tanya Mbah Gundul ketika kami tiba di suatu perempatan Selokan Mataram sisi timur.
“Belok kiri Mbah! Ke utara,” jawabku sambil berusaha menyamai laju sepeda yang dikayuh si Mbah.
Tapi... mendadak aku malah ragu, “Eh, perempatannya yang ini atau yang di depannya lagi ya?”
“Yang ini,” jawab Mbah Gundul yakin. “Di depan nggak ada perempatan lagi.”
Karena masih nggak yakin, aku pun mengingat-ingat seperti apa wujud perempatan Selokan Mataram yang bercabang dengan persimpangan lampu lalu lintas di Jl. Jogja – Solo km 14. Tapi, berhubung Mbah Gundul sudah keburu berbelok duluan, jadilah aku manut saja sama pilihan manuvernya si Mbah, hehehe. #hehehe
“Habis ini ke mana?” tanya Mbah Gundul beberapa saat kemudian.
Doh!
Pertanyaan ini yang agak sulit aku jawab, hahaha. #senyum.lebar
“Heee… kalau nggak salah … jalan ini masih terus ke utara... nanti baru belok ke kanan. Pokoknya, ke utara, terus ke timur,” jawabku ragu-ragu.
“Tapi, persimpangannya yang mana, aku lupa Mbah!” tambahku lagi. #hehehe
Mbah Gundul jelas nggak puas dengan jawaban yang membingungkan itu, hahaha. #senyum.lebar
Maka dari itu, kami pun berhenti di pinggir jalan. Mbah Gundul mengeluarkan smartphone-nya guna mencari wangsit dari Google Maps.
Eh, konyolnya,aplikasi Google Maps di smartphone-nya si Mbah malah error!
Hadeh....
Aku yang gemas, akhirnya menyeberangi jalan dan bertanya kepada seorang bapak paruh baya yang sedang menyiangi suket di ladang,
“Njenengan bawa sepeda toh? Jalan raya ini lurus terus. Nanti ketemu pabrik Eagle terus nganan, nyeberang jembatan, masuk ke dusun saya Tegalsari, terus ke utara.”
Dengan petunjuk di atas, aku pun memandu Mbah Gundul menyusuri jalan raya lalu berbelok kanan di pabrik sarung tangan PT. Eagle. Eh, tapi si Mbah sepertinya nggak begitu percaya dengan petunjuk itu. Jadi, sepanjang perjalanan Mbah Gundul masih bertanya ke beberapa warga perkara arah ke Candi Kedulan. #hehehe
Akhirnya ya... kami tiba juga dengan selamat tanpa nyasar-nyasar di Candi Kedulan pada Sabtu pagi (21/7/2018) yang cerah itu. #senyum.lebar
Bagi Pembaca yang belum tahu, Candi Kedulan adalah candi Hindu yang terletak di Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Candi ini berjarak sekitar 18 km dari pusat Kota Jogja.
Candi Kedulan ditemukan kembali pada tahun 1993 oleh para penambang pasir. Sama seperti Candi Sambisari, pada saat ditemukan Candi Kedulan berada dalam kondisi tertimbun gundukan pasir yang lumayan tinggi.
Lebih lanjutnya, silakan simak artikel di bawah untuk cerita Candi Kedulan yang lebih panjang. #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Sebelum ini, aku sendiri sudah pernah ke Candi Kedulan. Kunjungan pertamaku ke Candi Kedulan adalah pada Januari 2009 bersama Andreas. Itu artinya hampir 9 tahun yang lalu! Waw!
Karena itu lumrah toh kalau jalan ke sininya lupa-lupa ingat, hehehe. #hehehe
Menariknya, pada tahun 2018 ini bangunan induk Candi Kedulan sedang dipugar!
Alhamdulillah! Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, Candi Kedulan dipugar juga. #senyum.lebar
Jika nggak ada halangan, semoga pada Desember 2018 masyarakat dapat melihat wujud bangunan induk Candi Kedulan yang sudah dipugar. #senyum
Dalam kacamata awamku, kendala pemugaran Candi Kedulan yang tertunda bertahun-tahun itu salah satunya disebabkan oleh pembebasan lahan. Maklum, posisi Candi Kedulan kan “dijepit” oleh sungai dan sawah-sawah. Jika saja letak Candi Kedulan persis di pinggir jalan raya mungkin sudah dipugar sejak tahun lawas. #hehehe
Sedangkan salah dua kendala pemugaran Candi Kedulan yang baru bisa diatasi setelah sekian tahun berlalu adalah masalah drainase. Candi ini terletak di dasar lembah sedalam 8 meter-an. Jadi, dulu setiap musim penghujan, Candi Kedulan bakal digenangi air lumayan tinggi!
Konyolnya pula, sejumlah warga memanfaatkan genangan air di Candi Kedulan sebagai tempat mengembangbiakkan ikan. Aku sendiri memberi julukan lain pada Candi Kedulan sebagai “candi kolam lele”, hehehe. #hehehe
Alhamdulillah sih, karena sekarang sudah dibuatkan sumur resapan dan juga saluran pembuangan air, jadi foto Candi Kedulan di bawah ini tinggallah kenangan. #senyum.lebar
Bye-bye kolam lele! #hehehe
Di Candi Kedulan, aku dan Mbah Gundul terlihat obrolan dengan seorang bapak petugas keamanan. Beliau senantiasa sigap mengingatkan pengunjung supaya nggak mendekat ke candi. #senyum.lebar #karena.sedang.dipugar
Dalam obrolan, bapak petugas keamanan memberitahu adanya suatu belik (mata air). Katanya, belik tersebut masih satu zaman dengan Candi Kedulan. Wah, mata air purbakala dong ceritanya? #senyum.lebar
Katanya, belik tersebut berada di Dusun Segaran. Letak Dusun Segaran sendiri hanya berjarak beberapa ratus meter di timur Candi Kedulan. Alhasil, setelah mengisi data diri di buku tamu (nggak perlu memberi uang #senyum.lebar), kami pun berpamitan dan melanjutkan bersepeda ke Dusun Segaran untuk mencari belik Segaran!
Yey! #senyum.lebar
Arca luarnya lengkap tanpa kepenggal.
Weh jadi penasaran gimana itu setelah dipugar. Dan ditunggu apdetan cerita tentang belik kui.