Papan kuning di pinggir jalan itu memuat lima baris tulisan yang susunan semuanya hurufnya jentrek-jentrek tanpa spasi. Bikin mumetlah bacanya: #hehehe
GUMUKATAUCANDI
BUATTAPAKIAI
WONGSOPATI
PESANGGRAHANKIAI
WONGSOPATINGLEPEN
Butuh waktu agak lama buat mencerna apa yang dimaksud tulisan di atas. Lebih tepatnya, menyisipkan spasi di antara kata-kata yang seharusnya berjarak dan mengurangi jumlah baris menjadi seperti di bawah ini: #hehehe
GUMUK ATAU CANDI BUAT TAPA KIAI WONGSOPATI
PESANGGRAHAN KIAI WONGSOPATI NGLEPEN
Penampakan di Pinggir Tanjakan
Papan kuning di atas itu terletak di ruas jalan tanjakan yang bermula dari Dusun Ngelepen Baru, Sleman. Pada Minggu pagi (1/4/2018) yang lalu, aku kebetulan sedang melintasi jalan tanjakan tersebut dengan sepeda. #senyum.lebar
Di tengah perjuangan melahap jalan tanjakan itu, Mbah Gundul (yang kebetulan berada di belakangku #hehehe) sudah ngasih pengumuman ke aku supaya nggak kebablasan nanjak. Maksudnya adalah supaya aku berhenti dulu di dekat papan kuning itu.
Selain Mbah Gundul, party member satu lagi pada acara bersepeda kali ini adalah Mas Bahri. Eh, mungkin lebih tepat jikalau dipanggil Daeng Bahri. Sebab, beliau ini asalnya dari Sulawesi Selatan. Daeng Bahri adalah teman satu kontrakannya Daeng Akmal yang tempo hari pernah ikut bersepeda bareng menyambangi Situs Keraton Gaib Bathok Bolu.
SILAKAN DIBACA
Kasihan bangetlah Daeng Bahri. Pagi itu, Daeng Bahri yang masih tergolong pesepeda newbie sudah dikenalkan Mbah Gundul dengan jalan tanjakan yang derajat kemiringannya bikin ban depan sepeda ngangkat. #hehehe
Parah. Jahat betul Mbah Gundul.... #hehehe
“Mbah ada candi! Ada pesanggarahan!” aku menyeru ke Mbah Gundul setelah akhirnya bisa menangkap maksud tulisan di papan kuning.
Candi dan pesanggrahan adalah perpaduan hal yang menarik. Candi jelas mengingatkan pada bangunan batu antik hasil karya manusia ratusan tahun silam. Adapun pesanggrahan mengingatkan pada tempat peristirahatan Sultan Yogyakarta yang usianya juga ratusan tahun.
SILAKAN DIBACA
Eh jebul, Mbah Gundul rupanya sedang asyik ngasih ceramah ke Daeng Bahri yang kecapekan melahap tanjakan. Mbah Gundul memerintahkan Daeng Bahri supaya tetap berdiri ketika berhenti bersepeda nanjak. Agar proses pemulihan tenaga lebih cepat, ayun-ayunkan tangan ke depan dan ke belakang.
Tentu, ceramahnya Mbah Gundul itu turut diberi bumbu cerita seram perkara meninggalnya seorang pesepeda karena terlalu memforsir diri pas menanjak. Di tengah-tengah berceramah, Mbah Gundul menunjuk aku yang sedang duduk kecapekan di buk sambil ngemil kacang rebus yang tadi dibeli Daeng Bahri.
“Kalau dia pengecualian, karena sudah terbiasa bersepeda nanjak,” kata Mbah Gundul.
Haduh, Mbah! Kenapa mesti aku yang jadi contoh pengecualian? Terus saja Mbah lanjut umbar ceritaku perkara cegukan dan muntah pas bersepeda bertahun-tahun silam itu. #hehehe
Pas kami sedang asyik ngobrol-ngobrol, sumber suara kresek-kresek yang sedari tadi terdengar dari rimbunnya hutan memunculkan sosoknya. Sosok tersebut bukanlah hewan maupun dhemit, melainkan seorang simbah kakung berkemeja lengan panjang yang memikul ikatan rumput pakan ternak.
Melihat ada sekumpulan pria bersepeda yang mencurigakan, simbah kakung yang baru selesai ngarit itu pun bertanya ke mana tujuan kami. Mbah Gundul menjawab bahwa kami mau menyambangi candi atau pesanggrahan seperti yang tertulis di papan kuning.
Mendengar jawaban itu, simbah kakung pun bercerita panjang dikali lebar perkara tempat yang dimaksud. Beliau cerita bahwa dirinyalah yang menemukan candi dan pesanggrahan tersebut. Beliau jugalah yang menata jalan setapak menuju ke lokasi.
Informasi lebih lanjut terkait tempat tersebut, konon katanya bisa disimak di tulisan yang dibuat dan dipajang oleh simbah kakung di lokasi. Kata beliau pula, sekarang di lokasi sedang ada orang-orang pemerintah yang sedang mengukur-ngukur.
Hmmm....
Hutan yang Terbengkalai
Akhirnya, setelah berhasil melepaskan diri dari jerat ngobrol simbah kakung yang tak berkesudahan #doh, aku pun ngumpul lagi dengan Mbah Gundul dan Daeng Bahri di atas jalan setapak. Mereka tadi meninggalkan aku berduaan dengan simbah kakung yang bau-baunya masih kepingin bercerita panjang. #ora.kalap
Mbah Gundul penasaran. Apa gerangan yang diobrolkan simbah kakung denganku yang sudah empat belas tahun hidup di Jogja tapi masih terbata-bata berceloteh bahasa Jawa krama inggil #hehehe.
“Dapat perintah dari Tuhan Yang Maha Esa,” jawabku singkat ke Mbah Gundul sebagai kesimpulan obrolanku dengan simbah kakung. #hehehe
Dengan meninggalkan tiga sepeda yang tergembok di batang pohon, kami pun melanjutkan petualangan dengan menyusuri jalan setapak menembus lebatnya hutan. Yang bikin menarik, di antara rimbunnya pepohonan terdapat rumah-rumah tua yang rusak dan terbengkalai.
Bingung aku dengan pemandangan yang demikian, Mbah Gundul pun cerita kalau kawasan hutan ini dahulunya adalah pemukiman lama Dusun Nglepen. Pascabencana gempa bumi tahun 2006 silam, di kawasan ini banyak rumah yang rusak dan tanah yang ambles. Alhasil, warga Dusun Nglepen pun pindah ke kawasan Dusun Nglepen Baru yang kini terkenal sebagai kawasan rumah domes Teletubbies.
Balik lagi ke petualangan di dalam hutan. Kebingungan melanda karena di dalam hutan sama sekali nggak ada papan petunjuk arah yang menginformasikan keberadaan candi atau pesanggrahan. Jadi, kami pun menjajal setiap ruas cabang jalan setapak. Nggak kebayang deh kalau belasan tahun silam jalan setapak ini adalah jalan yang menghubungkan rumah-rumah di Dusun Nglepen.
Mbah Gundul berada di depan sebagai juru terawang. Daeng Bahri di posisi tengah sebagai pria yang manut diajak ke mana saja. Sedangkan aku di posisi belakang sebagai orang yang sebentar-sebentar berhenti buat memotret. #hehehe
Hingga pada akhirnya, di suatu tempat antah berantah di tengah hutan, terdengarlah suara orang yang sedang bercakap-cakap. Setelah dihampiri, rupanya di tengah hutan ini memang ada sekumpulan bapak-bapak yang sedang mencatat dan mengukur sesuatu memakai meteran.
Bapak-bapak itu jelas keheranan mendapati adanya orang lain di dalam hutan. Oleh karena itu, di sela-sela perkenalan, dijelaskanlah maksud kenyasaran kami di tengah hutan di pelosok Desa Sumberharjo, Prambanan ini adalah dalam rangka mencari candi dan pesanggrahan sebagaimana informasi yang tertera di papan kuning dekat jalan aspal yang menanjak itu.
“Hooo candi toh,” kata salah satu bapak, “candinya itu bukan candi seperti candi biasanya Mas!”
Heh!?
“Orang sini itu menyebut gumuk yang ada di sana itu candi,” terang si bapak lagi.
Hah!?
“Gumuk itu apa?” tanya Daeng Bahri yang masih asing dengan kosakata Jawa.
“Gumuk itu bukit, timbunan tanah,” jelas Mbah Gundul tanpa repot-repot membuka kamus.
Nah, kalau pesanggrahannya Pak?
“Pesanggrahannya itu Mas, bangunan yang ada atapnya di baratnya rumah tingkat saya,” kata salah satu bapak yang ternyata dahulu bermukim di Dusun Ngelepen lama.
Hah? Yang mana? Memangnya ada? #bingung
Gumuk yang Katanya Candi
Oleh karena dirasa sudah cukup mendapat informasi tambahan, dengan tanpa bersedih kami pun berpisah dengan sekumpulan bapak-bapak itu. Di tengah perjalanan ke arah rumah bertingkat yang dimaksud oleh si bapak tadi, aku mampir dulu melongok gumuk yang disebut sebagai candi. Rupanya, gumuknya ada dua. Entah gumuk yang mana yang disebut sebagai candi.
Sekilas penampakan gumuknya ini memang mirip reruntuhan bangunan candi. Apalagi jika mencermati ukuran dan tinggi gumuk. Pasti bakal menyangkanya kalau reruntuhan candinya itu besar banget.
Akan tetapi, kalau menurut pengamatanku sih bukit ini ya hanya sebatas bukit biasa. Batu yang terlihat menonjol keluar adalah batu putih yang bukan berbentuk pahatan batu candi.
Sayang, aku nggak bisa lama-lama menjelajah gumuk. Selain khawatir jikalau nanti ditinggal pergi Mbah Gundul dan Daeng Bahri, semak-semak di sekitar gumuk ini bikin gatal kaki! Ditambah lagi nyamuknya ganas-ganas dan buanyak banget!
Duh!
Bangunan yang Disebut Pesanggrahan
Kembali lagi kami di tengah hutan, di dekat rumah bertingkat. Di dekat sana, aku mencurigai bangunan yang berbentuk semacam rumah kecil mirip gudang. Mbah Gundul sendiri ragu-ragu kalau rumah kecil itu pesanggrahannya. Soalnya, tadi simbah kakung bilang pesanggrahannya itu diberi cungkup.
Pas sudah aku dekati, jebul ternyata bangunan kecil itulah pesanggrahan yang dimaksud! Di dinding dekat pintu terpajang dua spanduk tulisan. Isi tulisan di spanduk yang paling kiri adalah sebagai berikut.
Kliping
KABAR GEMBIRA
Kiai Wongso Pati putra Sultan Demak Pertama
Roh Kiai Wongso Pati Klero, tapa di gumuk atau candi Ngelepen gempa tahun 1800 sampai ada gempa belum ada yang menemukan sampai tahun 2015. Setelah tahun 2016 saya maju mencoba membuka dalam lokasi candi itu kebetulan Kiai Wongso Pati kelihatan dan lalu menemui saya minta papan (tempat) sendiri, setelah saya tahu maksudnya saya segera menjalankan permintaannya seperti makam, tetapi saya beri nama pesanggrahan atau padepokan Kiai Wongso Pati alhamdulillahirabbil’alamin roh Kiai Wingso Pati timbul atau memberi berkah anak cucu di wilayah dukuh Sengir, Sumberharjo, Sleman Timur.
Timbulnya Kiai Wongso Pati Klero di Nglepen gempa tanggal 26 Ruwah Kamis Legi 19 Juni 2016. Pesanggrahan atau padepokan itu intinya untuk bersyarah atau pemeriksaan sulit diobati atau gangguan makhluk halus dan lain-lain.
Cukup sekian berita saya. Yang menemukan Kiai Wongso Pati, AP di dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Wedono Suraya Pawaka / Jaswadi
Diketahui: RT / RW Kedua Pengelola:
- Bpk. Ahmadi
- Kadus Hermanto
- Kepala Desa Sumberharjo (Lekta Manuri, ST)
Doms Teletubies, Blok D.II RT. 6 RW. 25, Sengir,
Sumberharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta
Ternyata betul, tulisan di spanduk kecil itu menguak banyak hal.
Yang pertama, simbah kakung yang kami jumpai itu adalah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta yang bernama gelar Wedana Suraya Pawaka. Nama aslinya adalah Jaswadi yang mirip-mirip sama nama bloger yang bermukim di Gunungkidul sana. #hehehe
Yang kedua, pesanggrahan Kiai Wongso Pati yang dimaksud rupanya adalah “rumah”-nya makhluk gaib yang oleh Mbah Jaswadi tersebut dipandang sebagai roh Kiai Wongso Pati. Sebelumnya, makhluk gaib ini menghuni candi alias gumuk alias gundukan bukit di dalam hutan itu.
Dengan mengucap asma Allah dan kula nuwun, pintu pesanggrahan pun dibuka supaya kami-kami ini (dan para Pembaca sekalian #hehehe) menjadi nggak penasaran. #hehehe
Hwarakadah!
Kok isi dalamnya mirip toilet!? #hehehe
Hanya saja nggak ada kloset jongkoknya. #hehehe
Kurang puas dengan penampakan isi pesanggrahan, aku pun mengamati kondisi sekeliling. Aku lihat ada bangunan yang ditutupi cungkup kecil seperti makam. Di dekatnya, ada pula batu yang menganga.
Singkat penilaianku sih, nggak ada yang menarik dari tempat ini. #hehehe
Cerita Ajaib si Anak
Hal yang membuat tempat ini menjadi sedikit lebih menarik adalah ceritanya Mbah Gundul yang dirinya tuturkan berulang kali dalam berbagai tempat dan kesempatan.
“Ini makhluk gaib yang ada hubungannya sama anak yang baru mandi pas gempa dulu itu,” kata Mbah Gundul.
Seperti yang diceritakan sama Mbah Gundul, jadi dulu itu kan bencana gempa bumi 27 Mei 2006 di Yogyakarta terjadi pada hari Sabtu sekitar pukul 6 pagi. Pada pagi itu, di salah satu rumah di Dusun Nglepen ada anak SD cewek yang lagi mandi. Dia siap-siap mau berangkat sekolah.
Nah, pas gempa terjadi si anak yang lagi mandi ini nggak sempat menyelamatkan diri. Tanah kamar mandi rumahnya ambles. Alhasil, si anak ini terperosok ke dalam jurang dalam bersama dengan reruntuhan bangunan rumahnya.
Logika warasnya, si anak ini pasti kan sudah nggak tertolong nyawanya. Tapi, ajaibnya dia selamat!
Menurut cerita si anak, sewaktu jatuh dia bertemu dengan “orang tua”. Si “orang tua” ini bilang kalau belum waktunya si anak ada di sini. Lalu si “orang tua” tersebut “melempar” si anak kembali ke atas permukaan tanah.
Begitulah inti cerita ajaib yang dituturkan Mbah Gundul. #hehehe
Pas tadi kami bertemu dengan sekumpulan bapak-bapak yang sedang mengukur-ukur di dalam hutan itu, Mbah Gundul juga sempat bertanya perihal cerita ajaib selamatnya si anak tersebut.
“Ya, betul. Seperti itu ceritanya. Di sini kejadiannya,” kata salah seorang bapak.
Weh! Rupanya betul toh cerita fantastisnya si Mbah Gundul itu! Tanpa penelitian lanjutan, Mbah Gundul pun menyimpulkan bahwa “orang tua” yang menyelamatkan si anak nggak lain adalah roh Kiai Wongso Pati.
Weeeh.... luar binasa....
Jelajah Rumah Tua
Mumpung ada di sini, Mbah Gundul mengajak buat menyambangi rumah yang menjadi TKP-nya si anak terperosok ke jurang tanah longsor itu. Katanya sih lokasinya dekat dengan tempat spanduk tanah ambles.
Jadilah kami balik lagi menyusuri jalan setapak dan mencari rumah yang dimaksud di antara sejumlah rumah-rumah yang terbengkalai. Beberapa rumah aku lihat kondisinya masih layak huni. Dalam arti, nggak ada tembok yang roboh ataupun atap yang ambruk pascagempa.
Tapi ya karena rumah-rumah ini sudah belasan tahun nggak dihuni dan lokasinya berada di tengah hutan, jadi kesan angkernya sangat-sangat kuat. Jikalau berani, bolehlah dicoba uji nyali di salah satu rumah di sini, hahaha. #senyum.lebar
Ada juga alternatif lokasi rumah angker selain di Kotagede, hehehe. #hehehe
Setelah membuntuti Mbah Gundul yang lupa-lupa ingat dengan lokasinya, akhirnya sampailah kami ke lokasi tanah ambles yang dimaksud. Tapi ya karena berlalu belasan tahun, jadinya wujud jurang tanah ambles itu sudah penuh tertutup semak dan rumput liar. Nggak begitu kelihatan lagi wujud jurangnya.
Di bagian belakang rumah yang Mbah Gundul yakini sebagai TKP-nya cerita ajaib si anak, terdapat batu berlubang dengan genangan air. Sekilas wujudnya mirip umpak, lesung, atau sejenis batu purbakala lain. Apakah batu tersebut dulunya sudah ada di lokasi itu ya?
Puas melampiaskan rasa penasaran, kami balik lagi ke tempat sepeda diparkir. Agenda bersepeda nanjak masih berlanjut yang mbuh kapan sampai di lokasi tujuan. #hehehe
Tak lupa sebelum hengkang dari lokasi, kami berpamitan dengan Mbah Jaswadi. Lagi-lagi aku tetap yang terakhir meninggalkan lokasi karena Mbah Jaswadi nggak berhenti-berhenti ngajak aku ngobrol. Hadeh….
Kiai Wongso Pati
Kalau menurutku sih, candi atau pesanggrahan Kiai Wongso Pati bukan tergolong tempat yang menarik. Di sini nggak ada benda-benda peninggalan masa lalu atau situs sejarah yang berkaitan dengan tokoh penting di masa lalu.
Cerita Mbah Jaswadi yang mana beliau bertemu dengan roh Kiai Wongso Pati dan meminta dibuatkan tempat tinggal, besar kemungkinan bakal terdengar janggal di telinga sebagian besar orang, termasuk aku #hehehe. Kecuali mungkin bagi orang-orang indigo ya, yang mana mungkin saja bisa mendeteksi keberadaan makhluk gaib penghuni “pesanggrahan” tersebut.
Walaupun begitu ya agak kasihan juga sama Mbah Jaswadi yang sudah bersusah payah menata kawasan ini seorang diri. Katanya, anak-anak beliau nggak ada yang mau tahu perkara urusan ini. Mungkin juga di mata warga, apa yang dilakukan Mbah Jaswadi ini dipandang aneh.
Susah juga sih kalau tempat ini ke depannya dijadikan lokasi wisata. Eh, tapi kalau jadi lokasi wisata mistis pas malam Selasa atau Jumat Kliwon menurutku sih ada potensinya, hehehe. #hehehe
Ah, ya sudahlah. Kita lihat saja bagaimanakah nasib candi dan pesanggrahan ini ke depannya sepeninggal Mbah Jaswadi dan juga setelah sertifikat pembagian tanah yang diukur-ukur oleh sekumpulan bapak-bapak itu sudah jadi.
bercerita apalagi pas nunggu jemputan anak
nya dari kraton
batu lesung bolong
nya.soal ny sy ada
punya
-Traveler Paruh Waktu
Kalau perlu ada uji nyali sekalian pasti lebih menarik.. apalagi kalau ada yang bersedia jadi yang kesurupan..
Lha wong gak menarik aja jadi pembahasan sepanjang ini, apalagi menarik ya?
Uji nyali? Mau aja sih, kalau siang-siang bolong. hehehe..