Namanya Pos Mati. Adalah salah satu tempat yang menyajikan indahnya lanskap persawahan Borobudur dari ketinggian. Aku tahu tempat ini dari artikel blog-nya Kang Farchan yang sudah terbit bertahun-tahun silam.
Secara administratif Pos Mati terletak di Dusun Secang, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari Kota Jogja jaraknya sekitar 43 km. Bisa ditempuh kurang-lebih 1,5 jam naik kendaraan bermotor.
Kebetulan, pada hari Minggu (4/3/2018) yang lalu aku berencana ngajak sang istri buat nyunrise di Magelang. Jadilah terpilih Pos Mati sebagai TKP, karena Punthuk Setumbu sudah terlalu mainstream #hehehe dan sebelum hari-H aku nggak sempat googling tempat nyunrise lain, hehehe. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Perjalanan menuju Pos Mati dimulai pukul setengah empat pagi naik sepeda motor. Berhubung Pos Mati berada di kaki Perbukitan Menoreh, jadinya aku memilih lewat rute selatan, yaitu lewat jalan alternatif ke Borobudur via Kulon Progo (Kalibawang). Kejauhan kalau lewatnya rute utara (Jl. Raya Magelang – Yogyakarta).
Secara garis besar, rute ke Pos Mati dari Kota Jogja lewatnya: Jl. Godean → Jl. Kebon Agung → Nyeberang Jembatan Kali Progo → Jl. Nanggulan – Mendut. Di pertigaan Pasar Jagalan mengambil cabang jalan ke kiri, terus pindah wilayah deh ke Kecamatan Borobudur. #senyum.lebar
Mendekati pukul lima pagi, kami berhenti sejenak di Masjid Baitussalam (Jl. Raya Candirejo) guna menunaikan salat Subuh. Menurut Google Maps, jarak ke Pos Mati tinggal sekitar 7 km. Pikirku, jarak segitu bisa ditempuh kurang dari setengah jam. Tapi ternyata lebih lama karena jalannya rusak! Pada waktu itu sedang ada proyek pembangunan gorong-gorong di sepanjang jalan desa.
Di perempatan dekat Kantor Kepala Desa Karanganyar kami mengambil cabang jalan ke kiri (selatan). Setelah itu, nanti ada cabang jalan aspal kecil di sisi kanan (barat). Dengan mengikuti jalan kecil ini nanti bakal sampai di area parkir pengunjung Pos Mati. Perlu diketahui kalau jalan kecil ini wujudnya TANJAKAN JAHANAM. #hehehe
Kendaraan pun diparkir di parkiran yang hanya muat untuk segelintir sepeda motor. Pagi itu, hanya sepeda motor kami yang terparkir di sana. Di dekat parkiran ada toilet umum, Sendang Kahuripan, dan musala. Jebul ternyata, yang dimaksud Sendang Kahuripan adalah kolam tampungan air sungai yang airnya dialirkan lewat pipa.
Di sekitar parkiran nggak ada orang. Jadi, nggak bisa tanya-tanya ke mana jalan ke Pos Mati. Pun nggak tahu juga apakah harus bayar tiket masuk.
Karena di dekat sana ada jalan makadam kecil, jadilah kami dengan pede-nya menapak jalan tersebut. Dilihat dari wujudnya sih sepertinya ini memang jalan ke Pos Mati.
Jalan makadam kecil itu membawa kami ke puncak bukit. Setelah menyeberangi pematang ladang, tibalah kami di dataran yang cukup luas. Di sana berdiri pendopo kecil dan panggung bambu yang biasa dipakai wisatawan kekinian untuk berfoto-foto.
Hooo, mungkin tempat inilah yang disebut sebagai Pos Mati. #senyum
Kami tiba di lokasi sekitar pukul enam pagi kurang. Suasananya sudah lumayan terang. Jadi, mungkin nggak tepat lagi kalau disebut fajar, hehehe. #hehehe
Akan tetapi, berkaca dari pengalaman motret di Punthuk Setumbu tahun 2012 silam, suasana pagi dengan pencahayaan yang sudah cukup terang seperti inilah yang memudahkan untuk memotret. Lha, kalau motretnya persis sehabis subuh ketika masih gelap gulita kan malah susah nyari objek fotonya toh? #hehehe
Dwi sepertinya agak kurang antusias motret di sini. Mungkin karena pemandangan di Pos Mati nggak secetar ekspektasinya. Mungkin pula karena dirinya masih menjawarakan sunrise berkabut di perbukitan Bantul, hehehe. #hehehe
Untung setelah dibujuk turun ke panggung bambu dirinya mau motret juga. #senyum.lebar
Sialnya, pergelangan kaki kananku keselo pas memijak jeglongan tanah di dekat panggung bambu. Doh! #sedih
Sebagaimana judul artikel ini, pagi itu pemandangan sunrise di Pos Mati kurang cetar membahana. Awan mendung terlihat menutupi ufuk timur tempat matahari terbit.
Sebetulnya, semenjak awal perjalanan pagi buta ke Pos Mati, aku sudah menduga bahwa sunrise pagi ini bakal kurang memesona. Sepanjang jalan (terutama di wilayah Magelang), genangan-genangan air hujan terlihat membasahi aspal. Sepertinya, tengah malam tadi wilayah sekitar Perbukitan Menoreh diguyur hujan yang lumayan deras.
Meskipun demikian, aku tetap berpikiran positif jika pemandangan sunrise di Pos Mati kelak bakal memesona. Sebab, sepanjang perjalanan di pagi buta itu, bulan purnama terlihat terang benderang di langit bagaikan lampu bohlam #senyum.lebar. Itu artinya, kalau bulan terlihat jelas maka langit juga bakal cerah toh?
Eh, jebul ternyata bagian langit yang cerah cuma pas di sekitar bulan purnama thok! Bagian langit yang lain tertutup awan mendung! Hahaha. #senyum.lebar
Sang surya terlihat malu-malu menyembul dari balik tirai awan mendung. Nggak seberapa lama, ia pun bersembunyi lagi. Itu tandanya, gugur sudah harapan mengabadikan foto sunrise yang cetar memesona di Pos Mati. #sedih
Walaupun demikian, seenggaknya pada pagi ini kami bisa mengamati beragam objek menarik yang terlihat dari ketinggian Pos Mati. Jadi, semisal pada lain hari berkesempatan singgah kembali, kami sudah ready bakal mengincar sudut pemandangan yang sebelah mana, hehehe. #hehehe
Jadi, berdasarkan hasil observasi singkat, dari Pos Mati pengunjung dapat melihat Gunung Merapi,
Gunung Merabu,
Gunung Sumbing,
Puncak Suroloyo,
Gereja Ayam, alias Gereja Merpati, atau Rumah Doa Bukit Rhema,
Bukit kecil yang entah gerangan apa namanya, #senyum.lebar
Dan yang paling di luar dugaan, rupanya di Pos Mati ini juga terlihat penampakan Candi Borobudur lho! Momennya pas banget pula! Dari Pos Mati tersaji pemandangan indah Candi Borobudur saat di sekelilingnya masih berkabut mistis. Waaaaw!
Akan tetapi, jika mencermati foto yang aku jepret di bawah, terlihat adanya tiang-tiang pemancar yang berdiri di sekitar Candi Borobudur. Aku jadi mikir. Agaknya benar bahwa sekarang kawasan Candi Borobudur mulai kehilangan kesakralannya. #sedih
Yah, semoga saja di masa depan nggak ada orang berduit yang membangun hotel tinggi megah di sekitar Candi Borobudur. Amit-amit lah jika sampai kejadian! Masak Candi Borobudur dikepung hotel? #hehehe
Untuk memotret pemandangan ciamik di atas, aku memakai DSLR dengan lensa ber-focal length 200 mm. Jika memakai lensa yang focal length-nya 300 mm, sepertinya hasil fotonya bakal lebih sip lagi. Sebab, objek fotonya bakal terlihat lebih besar.
Di tempat seperti Pos Mati inilah lensa zoom telefoto (55 – 200, 70 – 200, 70 – 300, dll) tampil menjadi primadona. Kebalikannya, performa lensa sudut lebar malah melempem. Itu karena pemandangan dari panggung bambu banyak terhalang pohon-pohon tinggi.
Yakinlah, kalau Pembaca berniat ke Pos Mati wajib hukumnya membawa lensa zoom telefoto!
Sepertinya, besok-besok lagi, wajib deh balik motret sunrise di Pos Mati. Terutama pada saat matahari terbit di antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.
Yang penting, semoga saja pas itu langitnya cerah! Hahaha. #senyum.lebar
“Mas, pindah tempat yuk!” ajak Dwi.
Heee?
BTW, 200 mm masih kurang jauh juga ya, berarti kalau lebih jos pake lensa 100-400 mm wkwkwkwk.. beratt...