Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Jika mencermati angka yang tertera di patok pinggir jalan, jarak ke Puncak Suroloyo masih sekitar enam kilometer lagi. Sementara itu, sudah hampir seperempat kilometer aku bersepeda menyusuri lereng Perbukitan Menoreh yang wujudnya turunan.
Bagi para pesepeda, jalan turunan adalah nikmat Tuhan yang tak terkira. Para pesepeda sepatutnya bersyukur. Tak perlulah bersusah payah mengayuh pedal. Hemat napas. Hemat tenaga. Hemat energi. Apalagi jika jarak pulang ke rumah tercinta masih jauh. #senyum
Akan tetapi, aku... sama sekali nggak gembira bersepeda di jalan turunan ini. #sedih
Hatiku was-was. Pikiranku cemas. Semuanya itu terluap ke dalam ocehan,
“Perasaanku ora penak Mbaaaah!” [1]
“Iki tekan kapan meduneeee!?” [2]
“Ngendi tanjakan sing jaremu dhuwur kae Mbaaaah!?” [3]
[1] Perasaanku nggak enak Mbaaaah!
[2] Ini sampai kapan turunnyaaaa!?
[3] Mana tanjakan yang kamu bilang tinggi itu Mbaaaah!?
Mbah Gundul, pria nyentrik berkepala plontos yang menjadi kawan bersepeda ke Puncak Suroloyo pada hari Rabu (17/5/2017) yang lalu itu malah membalas ocehanku dengan jawaban yang blas sama sekali nggak menentramkan hati,
“Ngendi yo? Aku lali je? Hehehehe...” [4]
#mak.dyer!
#tendang.simbah.ke.jurang.menoreh
[4] Mana ya? Aku lupa tuh? Hehehehe...
Mampir Sik Mbah!
Aku sudah paham “teori”-nya. Sangat, sangat, sangat, PAHAM!
Eh, bukan teori sih. Tapi lebih tepatnya karakteristik. #hehehe
Bahwasanya,
“Jika bertemu jalan turunan, kemudian melintasi jembatan, dan di bawah jembatan itu ada sungai, maka hampir bisa dipastikan setelah melewati jembatan wujud jalannya adalah TANJAKAN!”
#menghela.napas.panjang
#bersabar
Dan betul, di ujung jalan turunan itu kami bertemu jembatan kecil. Di bawah jembatan kecil mengalir sungai kecil. Kemudian medan jalan setelahnya adalah... TAN – JA – KAN.... #hehehe
Guna menghadapi ujian dari Tuhan yang nggak seberat Ujian Nasional itu aku pun menggunakan gir depan dan gir belakang yang ukurannya terbesar. Setelan umum yang konon memudahkan pesepeda untuk melintasi tanjakan yang kurang terbilang jahanam. #hehehe
Saat aku sedang kepayahan menanjak, Mbah Gundul yang dari tadi selalu berada di posisi terdepan tiba-tiba menyeru,
“Wis! Ono curug kuwi! Mampir ora!?” [5]
[5] Wis! Ada curug itu! Mampir nggak!?
Hah!?
Curug!? Air terjun!? Dekat Puncak Suroloyo ada air terjun!?
Jaraknya (cuma) 300 meter!?
...
“MAMPIR SIK MBAH!” [6] Aku berteriak memberi instruksi. #senyum.lebar
[6] MAMPIR DULU MBAH!
Lha!? Kok Tebih Sanget!?
Dalam visualisasi di benakku, jarak 300 meter menuju Curug Watu Jengger itu jelas sangat lebih dekat dibandingkan jarak rumah – Pasar Kranggan yang biasa aku tempuh pas belanja ransumnya para pasukan berkumis.
Jadi, ya kenapa harus ragu buat mampir ke curug? #senyum.lebar
Terlebih lagi jika mengingat-ngingat betapa jauhnya perjalanan kami bersepeda sampai ke ruas jalan Perbukitan Menoreh ini. Dari Kota Jogja kami menyusuri Selokan Mataram ke arah barat, tembus di Jl. Raya Kalibawang – Magelang. Setelah melewati Rest Area Pasar Bendo barulah mengambil cabang jalan yang arahnya ke Puncak Suroloyo .
Kalau di Google Maps sih total jaraknya sekitar 30,6 km. Lumayan jauh juga ya? #hehehe
Medan jalan sejauh 300 meter menuju Curug Watu Jengger masih didominasi turunan dan tanjakan sesuai dengan “teori” yang aku paparkan di atas itu. Akan tetapi, perjuangan menempuh medan yang menguras tenaga itu menjadi ringan akibat keberadaan belik (mata air kecil) di pinggir jalan.
Sebagaimana kebiasaan yang sudah lama ditularkan Mbah Gundul, kami pun berhenti sejenak di belik itu. Sejuknya air belik yang menetes dari celah-celah bebatuan membuat kami tergoda untuk membasuh tangan dan wajah. Aku ya sempat tergoda juga buat meminum air belik. Pasti rasanya dingin dan segar.
Tapi... mengingat daya tahan perut di usia kepala tiga yang sudah sering bermasalah... hmmm... mending minum air mineral kemasan saja deh! Jaga-jaga, daripada nanti sakit perut. Rumah masih jauh pula. #hehehe
Memasuki kawasan wisata Curug Watu Jengger, terdapat penampakan gapura, loket tiket, dan warung. Dari spanduk yang tertempel di tiang gapura, curug ini ternyata baru di-launching akhir November 2016 silam toh.
Loket tiket terlihat tutup. Pun nggak terlihat ada penjaga di dekat situ. Dengan begitu aku kira bisa gratis melenggang masuk. Eh, jebul ternyata setelah melewati gapura, muncullah seorang ibu-ibu yang lalu memungut tiket masuk, hahaha. #senyum.lebar
Tiket masuknya murah sih, Rp2.000 per orang. Sepeda sendiri nggak dipungut tiket masuk alias gratis. #senyum.lebar #seneng.banget
Pas mencermati teks yang tertera di tiket masuk itu aku mengernyitkan dahi. Di sana tertulis tempat di mana Curug Watu Jengger ini berada yakni di Dusun Madigondo, Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
“Lho Bu? Niki niku melebet Sidoharjo toh Bu?” [7] tanyaku ke ibu yang memungut tiket masuk.
“Nggih Mas, lha pripun?” [8] Si ibu balik bertanya.
“Lha, sak ngertose kula Sidoharjo niku gereja mBoro minggah niku Bu. Ingkang wonten curug e niku.” [9]
“Curug perawan niku toh? Niku nggih Sidoharjo Mas. Kantor desane nggih cerak meriko niku.” [10]
“Lha!? Kok tebih sanget!? Lha menawi njenengan ajeng teng kantor desa nggih mesti mbelah gunung toh Bu!?” [11]
“Lha nggih Mas. Ajeng pripun malih? Hehehe.” [12]
[7] Lho Bu? Ini itu masuk Sidoharjo toh Bu?
[8] Iya Mas, lha gimana?
[9] Lha, sepengetahuan saya Sidoharjo itu ya mBoro nanjak itu Bu. Yang ada curugnya itu.
[10] Curug perawan itu toh? Itu ya Sidoharjo Mas. Kantor desanya ya dekat situ itu.
[11] Lha!? Kok jauh sekali!? Lha kalau anda mau berkunjung ke kantor desa ya harus membelah gunung toh Bu!?
[12] Lha iya Mas. Mau bagaimana lagi? Hehehe.
Kesimpulannya, wilayah Desa Sidoharjo ternyata luas banget! Karena lokasinya berada di Perbukitan Menoreh, jadi lokasi dusun-dusunnya itu terpisahkan bukit dan hutan.
Wah, betul-betul tabah sekali orang-orang yang hidup di tempat seperti ini. Ke kantor desa saja jaraknya lumayan jauh. Itu baru kantor desa lho! Belum ke tempat-tempat seperti pasar, puskesmas, sekolah, dan lain sebagainya.
Subhanallah sekali warga Dusun Madigondo ini ya? #salut
Wah! Kayane Enak Kekeceh nang Kedung!
Tak perlu waktu lama. Kurang dari lima menit menuntun sepeda dari lokasi parkir resmi, eloknya pemandangan Curug Watu Jengger tersaji di depan mata.
Subhanallah! #senyum.lebar
Eh, di paragraf atas itu tadi aku menyebut lokasi parkir resmi karena ya tempat parkir resmi Curug Watu Jengger itu berada di halaman rumah Ibu yang memungut tiket masuk. Sedangkan karena sepeda boleh dibawa mendekat ke curug jadinya ini parkir yang nggak resmi deh, hehehe. #hehehe
Lagipula nggak ada orang yang bakal protes ini kok! Toh, pengunjung Curug Watu Jengger pada siang hari itu cuma kami berdua thok. #hehehe
Hal pertama yang terbesit di otak ketika melihat pemandangan Curug Watu Jengger seperti foto di atas adalah,
“Wah! Kayane enak kekeceh nang kedung!” [13]
[13] Wah! Sepertinya enak main air di kedung!
Aku pun menyenderkan Trek-Lala di seonggok batu kali berukuran besar. Tanpa berlama-lama aku lalu membenamkan kedua kaki ke air sekaligus membasuh muka dengan air curug yang tertampung di kedung yang lumayan luas.
Ya Allah! Alhamdulillah! Seger banget! #senyum.lebar
Selain kedung Curug Watu Jengger, di lokasi juga terdapat dua kedung lain yaitu Kedung Dempet dan Kedung Gupit. Keduanya juga bisa dimanfaatkan sebagai lokasi bermain air. Hanya saja menurutku lebih asyik bermain airnya di kedung utama karena ya lebih luas.
Seandainya aku bawa pakaian ganti dan nggak dalam rangka bersepeda ke Puncak Suroloyo sekaligus nggak perlu bersusah-payah buat pulang ke rumah #hehehe #kebanyakan.berandai.andai mungkin aku sudah nyebur dan bermain air di kedung Curug Watu Jengger yang berkedalaman empat meter ini.
Sayangnya... masih ada sekitar 5 km (tanjakan) lagi sebelum misi bersepeda PEKOK pada hari ini dinyatakan selesai, gyahahaha. #senyum.lebar
Oleh sebab itu, Trek-Lala sajalah yang aku mandikan dengan air Curug Watu Jengger. Biar ceritanya seperti ritual jamasan benda pusaka, hehehe #hehehe.
Trek-Lala kan hitungannya sudah termasuk benda pusaka. Dia kan sudah berjasa besar mengantarkan aku bersepeda blusukan sampai ke mana-mana sejak bertahun-tahun yang lalu, hihihi. #senyum.lebar
Eh, tapi sebetulnya ritual jamasan itu kan lazimnya dilakukan pas bulan Suro (Muharam) ya? Sementara pertengahan Mei 2017 ini kan masih masuk bulan Ruwah (Syakban).
Jadi, barangkali lebih tepatnya Trek-Lala padusan menyambut bulan suci Ramadan ya? Walaupun lagi-lagi, ritual padusan kan mestinya sehari sebelum Ramadan toh?
Ah yo wis lah! Pokoknya intinya mencuci Trek-Lala pakai air Curug Watu Jengger! #hehehe
Minimal bekas lumpur yang nempel di frame hilang dan bikin Trek-Lala terlihat lebih kinclong. Walaupun ya... oli di rantai sepeda juga ikut hilang sih, gyahahaha! #senyum.lebar
Ayo Mbah! Wis Ready iki!
Berdasarkan pengalaman singgah di kawasan Curug Watu Jengger selama 40 menit, aku merasa bahagia bisa berada di sini. #jujur #senyum.lebar
Menurutku, Curug Watu Jengger adalah lokasi yang nyaman untuk bersantai. Suasananya sangat mendukung. Semilir angin Perbukitan Menoreh, gemerisik rumpun bambu, alunan melodi serangga hutan, serta keramahan warga Dusun Madigondo seakan membuat betah siapa pun yang singgah di sini.
Taman di kawasan Curug Watu Jengger pun sudah tertata apik. Banyak tanaman hias ditanam di sana-sini. Salah satu tanaman hias yang ada adalah terompet dewa yang katanya Mbah Gundul apabila bunganya dihirup nanti bisa bikin mabuk. #belum.praktek
Untuk fasilitas yang tersedia menurutku belum komplit. Sebagai contoh, tempat untuk beristirahat semacam gubuk/gazebo masih dalam proses pembangunan.
Meskipun demikian, di sekitar Curug Watu Jengger aku melihat adanya bangunan warung kopi (kebetulan pas itu tutup #hehehe) dan toilet (lumayan nyaman untuk ngendog #hehehe). Ada pula tempat penyewaan ban demi memfasilitasi pengunjung yang kurang mahir berenang.
Singkat kata, Curug Watu Jengger adalah tempat yang cocok untuk beristirahat dalam dekapan alam nan asri di tengah perjalanan menuju Puncak Suroloyo. #senyum.lebar
Salah satu hal yang bagi Mbah Gundul agak kurang pas dari Curug Watu Jengger adalah pembuatan tanggul untuk membendung kedung yang terlihat kurang alami. Mbah Gundul menyayangkan, mengapa tanggulnya nggak dibuat dari batu kali yang disusun saja? Kok malah disemen dan diberi pipa pralon? #sedih
Sedangkan bagiku, yang agak kurang sip dari Curug Watu Jengger ini adalah lokasinya, hahaha #senyum.lebar. Selain jauh dari Kota Jogja, medan jalan menuju ke mari yang diwarnai banyak tanjakan itu sepertinya membutuhkan kondisi mesin kendaraan yang sehat. Khususnya bagi kendaraan roda empat.
Alhamdulillah, sepeda yang kami tunggangi sehat wal alfiat dipakai nanjak sampai ke sini. Kendalanya ya... mungkin hanya mulutku yang sering “korslet” begitu melihat jalan menanjak yang disinari terik matahari, hahaha. #senyum.lebar
Tapi tenang! Tadi kan Trek-Lala sudah aku jamas di kedung Curug Watu Jengger. Alhasil, dengan pede-nya aku berujar ke Mbah Gundul,
“Ayo Mbah! Wis ready iki! Pitku wis tak jamas mau, siap dinggo...” [14]
Aku berpikir sejenak sebelum melanjutkan ngoceh,
“... dinggo bali nang Yojo!” [15] #senyum.lebar
[14] Ayo Mbah! Sudah siap ini! Sepedaku sudah aku jamas tadi, siap untuk dipakai...
[15] ... dipakai pulang ke Jogja!
Kami berdua pun terkekeh. Jam menunjukkan pukul dua belas siang kurang lima belas menit. Puncak Suroloyo masih menanjak sekitar lima kilometer lagi... panas pula....
AYO SEMANGAT! #senyum.lebar
KATA KUNCI
- air terjun
- air terjun kulon progo
- air terjun samigaluh
- air terjun sidoharjo
- air terjun yogyakarta
- alam
- belik
- curug
- curug menoreh
- curug samigaluh
- curug sidoharjo
- curug watu jengger
- curug yogyakarta
- kedung watu jengger
- ki ageng sekar jagad
- kulon progo
- madigondo
- mata air
- mbah gundul
- pekok
- perbukitan menoreh
- puncak suroloyo
- samigaluh
- sepeda
- sidoharjo
- suroloyo
- tanjakan
Aku justru fokus ke jalur sepedanya. Lebaran kemarin sempat pulang ke Nganjuk dan sepedaan. Untung jalurnya gak seekstrim ini.
Soalnya agak trauma sepedaan kalau jalurnya naik turun. Selangkanganku pernah nyeri. Jadi, lebih suka ke lari sekarang. :)
Mlipir Watu Tekek juga ga Wij?