HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ke Jawa Tengah Kami Berziarah

Selasa, 15 Mei 2018, 11:00 WIB

“Biar inget sama nenek moyang.”

 

Itulah yang dikatakan oleh Ibu pas aku tanya manfaat dari nyekar alias ziarah kubur.

 

Selain pendapatnya Ibu itu, menurutku salah satu manfaat ziarah kubur adalah untuk membuat pemakaman menjadi lebih manusiawi. Lebih tepatnya, supaya pemakaman menjadi lebih pantas dikunjungi manusia. #hehehe

 

 

Kenapa bisa begitu? Sepengalamanku, biasanya makam baru dibersihkan oleh juru pelihara ketika dia berjumpa dengan peziarah (biasanya sanak kerabat si mendiang). Itu pun juga kalau diminta. #hehehe

 

Sungguh langka sekali jika ada juru pelihara makam yang setiap hari rajin bersih-bersih tanpa diupah. Umumnya, upah juru pelihara makam kan diberikan oleh peziarah sebagai imbal jasa membersihkan makam.

 

Beda ceritanya kalau di pemakaman itu sudah terbentuk suatu kepengurusan. Yang mana kepengurusan tersebut berhak menarik pungutan dari keluarga si mendiang untuk mengupah jasa bersih-bersihnya para juru pelihara makam.

 

 

Tapi ya, sepengalamanku pemakaman lebih sering terlihat nggak terurus dengan tumbuh suburnya rumput ilalang, kerak-kerak lumut yang bertebaran, serta rumah-rumah serangga di sana-sini. #sedih

 

Kalau begini kondisinya kan malah jadi bikin bingung. Ini sebetulnya pemakaman atau semak belukar yang ada makamnya sih? #hehehe

 

Supaya makam leluhur nggak jadi mengenaskan seperti foto di atas dan di bawah inilah menurutku salah satu manfaat dari nyekar. #senyum

 

 

Seperti tahun-tahun-tahun yang sudah lama berlalu, pada tahun 2018 ini Alhamdulillah Bapak dan Ibu masih diberikan kesempatan untuk melangsungkan tradisi nyekar. #senyum

 

Lazimnya, orang Jawa melangsungkan tradisi nyekar itu pada bulan Ruwah (Syakban) yaitu satu bulan sebelum bulan puasa (Ramadan). Tapi, Bapak dan Ibu biasanya nyekar kira-kira dua atau tiga bulan sebelum bulan puasa. Kata Ibu sih supaya pas pemakamannya masih sepi dari orang peminta-minta. #hehehe

 

Berhubung per tanggal 17 Desember 2017 silam Dwi sudah masuk jadi anggota keluarga baru, jadilah pada kesempatan nyekar kali ini Dwi turut serta. Seenggaknya, supaya dia ngeh lah makam-makam leluhur suaminya yang nyeleneh ini. #hehehe

 

Nyekar di Klaten

Pada hari Sabtu (17/3/2018) tradisi nyekar diawali dengan menziarahi makam di seputaran Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Yang dimakamkan di Klaten adalah leluhur dari Bapak.

 

Pemakaman pertama yang kami sambangi disebut oleh Bapak dan Ibu sebagai Makam Klepu. Itu karena lokasinya berada di Desa Klepu di Kecamatan Ceper. Yang dimakamkan di sini adalah kakek dan neneknya Bapak dari pihak ibu.

 

Makam Klepu berjarak sekitar 5 km setelah melewati Kota Klaten via jalan raya utama ke arah Solo. Setelah melewati Warung Soto Gunting di seberang jalan, nanti bakal ada ada belokan kecil di kiri jalan. Belokan ini seberang-seberangan dengan gapura Desa Klepu. Letak makamnya masih agak masuk-masuk di dalam kampung.

 

 

Makam Klepu ini tergolong makam yang nggak terawat. Tegel makam yang berdebu tebal adalah pemandangan lazim. Nggak ketinggalan pula sarang rayap di sana-sini.

 

Dulu sih Makam Klepu ini ada juru peliharanya. Tapi mbuh sekarang kok menghilang.

 

Jadi, pas berziarah ke Makam Klepu Bapak dan Ibu senantiasa membawa serta peralatan bersih-bersih berupa ember, sapu, dan kain pel. Air untuk bersih-bersih diambil dari masjid di dekat sana.

 

Alhasil, sebelum mulai mendoakan para leluhur acaranya adalah bersih-bersih makam terlebih dahulu. Kira-kira butuh waktu setengah jam untuk membuat makam menjadi lebih layak dipandang mata. Karena bersih-bersihnya berempat jadinya cepat deh.

 

 

Makam kedua di Klaten yang disambangi adalah makam di Desa Nganjat. Desa ini dekat dengan objek wisata Umbul Ponggok yang sekarang nge-hits itu.

 

Yang dimakamkan di Makam Nganjat ini adalah bapak dan ibunya Bapak yang nggak lain adalah kakek dan nenekku. Selain mereka dimakamkan juga adiknya eyang putri, ibunya eyang kakung, dan kedua kakak perempuannya Bapak yang meninggal sewaktu balita.

 

Dibanding dengan Makam Klepu aku lebih familiar dengan anggota keluarga yang dimakamkan di Makam Nganjat. Mungkin karena aku pernah berjumpa dengan mereka semasa hidup. Terutama eyang putri yang dahulu menghuni rumah yang kini aku tinggali.

 

 

Setelah berziarah dari Makam Nganjat terkadang pula mampir bertamu ke rumah bulik alias adiknya Bapak. Suami bulik yang wafat tahun 2013 silam juga dikebumikan di Makam Nganjat. Karena rumah bulik dekat dengan Makam Nganjat jadi beliau juga masih rajin bersih-bersih makam.

 

Nggak jauh dari Makam Nganjat berdiri pasar yang bernama Pasar Jeblog. Terakhir kali nyekar ke Makam Nganjat, Pasar Jeblog masih berwujud pasar tua. Sekarang Pasar Jeblog jadi bagus setelah direnovasi. Katanya sih baru awal tahun 2018 ini diresmikan lagi.

 

 

Nyekar di Seputaran Kota Solo

Pada hari Selasa (20/3/2018) tradisi nyekar berlanjut dengan menziarahi makam di seputaran Kota Solo. Bedanya, kalau pas ke nyekar Klaten itu naik mobil, kali ini nyekar-nya naik angkutan umum. Tentu hari ini bakal banyak jalan kakinya. Tapi kan Bapak, Ibu, sama Tiwul kan hobinya jalan kaki. #senyum.lebar

 

Dari Kota Jogja kami ke Kota Solo naik kereta Prameks. Berangkat pukul setengah enam pagi dari Stasiun Tugu. Tiba di Stasiun Purwosari sekitar pukul tujuh pagi.

 

Dari Stasiun Purwosari dilanjut menyeberang jalan raya ke halte bus Batik Solo Trans. Naik bus koridor 2 dan turun di halte dekat perempatan lampu lalu lintas arah ke Bandara Adi Sumarmo.

 

 

Perjalanan kemudian dilanjut dengan becak. Kebetulan di dekat perempatan ada dua tukang becak yang sedang mangkal. Setelah Bapak menawar cukup alot, akhirnya diperoleh tarif Rp50.000 untuk dua becak bolak-balik dari perempatan ke Makam Kartasura.

 

Perasaanku jarak dari perempatan ke Makam Kartasura kurang dari satu kilometer. Sebetulnya jalan kaki juga bisa. Tapi ya enak juga ke sananya naik becak. #senyum.lebar

 

Rupanya, jalan raya utama (Jl. Slamet Riyadi Sukoharjo) yang bercabang ke Makam Kartasura juga dilewati bus Batik Solo Trans. Bus yang lewat sana koridor 3. Tapi, halte di seberang Stasiun Purwosari nggak dilewati bus koridor 3.

 

 

Yang disebut sebagai Makam Kartasura adalah situs bersejarah bekas Keraton Kartasura. Keraton ini dibangun pada tahun 1680 oleh Amangkurat II.

 

Amangkurat II adalah putra dari Raja Kesultanan Mataram yang bernama Amangkurat I. Keraton Kartasura didirikan karena keraton Kesultanan Mataram di Pleret, Yogyakarta porak-poranda akibat dari pemberontakan Trunojoyo.

 

Saat ini Keraton Kartasura hanya menyisakan tembok batu bata yang mengelilingi kompleks keraton. Bangunan-bangunan di dalam keraton sudah lenyap tak bersisa dan digantikan dengan area pemakaman. Katanya sih, saat ini Makam Kartasura sudah nggak lagi menerima penghuni baru.

 

 

Yang dimakamkan di Makam Kartasura ini adalah bapak dan ibunya Ibu yang nggak lain adalah kakek dan nenekku. Selain mereka dimakamkan juga neneknya ibu dan adiknya ibu yang meninggal sewaktu kecil.

 

Sama seperti Makam Nganjat, aku juga familiar dengan anggota keluarga yang dimakamkan di Makam Kartasura terutama kakek dan nenekku. Semasa aku kecil aku lebih sering berjumpa dengan kakek dan nenek dari pihak Ibu. Itu karena dulu kami semua sama-sama tinggal di Jakarta.

 

Aku sebetulnya pingin banget bisa sering berziarah ke Makam Kartasura ini. Akan tetapi, karena jaraknya jauh (sekitar 56 km dari Kota Jogja) dan banyak orang yang meminta-minta uang dari peziarah, akunya jadi malas untuk berziarah ke mari. #sedih

 

 

Berhubung sudah jauh-jauh sampai ke situs bersejarah ini, Dwi aku ajak melihat-lihat sejumlah tempat unik di dalam Makam Kartasura.

 

Tempat unik yang pertama adalah dua buah batu besar yang berdiri di atas batur lapang yang diperkokoh dengan tegel batu. Di tengah dua batu besar tersebut diletakkan piringan sesaji.

 

Konon, dua batu besar tersebut dulunya adalah singgasana Amangkurat II. Kalau sekarang pada malam-malam tertentu, dua batu besar tersebut menjadi tempatnya sejumlah orang untuk bersemadi. Tempat ini biasa disebut sebagai petilasan.

 

 

Tempat unik yang kedua letaknya nggak begitu jauh dari lokasi dua batu besar dan banyak nyamuknya #duh. Tempat yang aku maksud adalah bagian dari tembok Keraton Kartasura yang krowak alias nyaris berlubang.

 

Konon katanya, tembok tersebut dulunya pernah jebol saat peristiwa Geger Pacinan, yaitu peristiwa pemberontakan orang-orang Cina pada tahun 1742. Pemberontakan inilah yang kemudian menyebabkan Keraton Kartasura ditinggalkan dan selanjutnya berpindah ke Solo.

 

 

Kembali Lagi Nyekar di Kota Solo

Selesai nyekar di Makam Kartasura, agenda nyekar berlanjut ke makam yang disebut Bapak dan Ibu sebagai Makam Juru Martani. Lokasi makam ini berada di Kota Solo di Jl. Kenanga di sebelah baratnya Lapangan Kota Barat.

 

Jadi, kami pun kembali naik becak balik menuju perempatan Bandara Adi Sumarmo. Di sana naik lagi bus Batik Solo Trans koridor 2 arah ke Kota Solo.

 

Sayangnya, kata mas pramugara untuk saat ini trayek bus Batik Solo Trans koridor 2 nggak melewati Lapangan Kota Barat. Itu karena sedang ada proyek pengerjaan flyover Manahan. Alhasil, kami pun turun di halte sebelum restoran Pizza Hut di Jl. Slamet Riyadi.

 

 

Menurut Google Maps, ada jalan kecil yang tembus dari Jl. Slamet Riyadi ke Jl. Kenanga. Kami pun blusukan dari Gang Teratai di sebelah Hotel Diamond ke Jl. Kenanga. Untung jalannya cuma lurus terus.

 

Rupanya, di tengah perkampungan yang dibelah Gang Teratai ini ada makam Dr. Soepomo. Beliau adalah salah satu pahlawan nasional yang ikut merumuskan UUD 1945. Selain itu beliau juga merupakan Menteri Kehakiman Indonesia yang pertama.

 

 

Setelah jalan kaki kira-kira 15 menit akhirnya sampai juga di Makam Juru Martani. Makam ini adalah salah satu makam yang terlihat nggak terawat. Padahal ada juru peliharanya lho.

 

Di Makam Juru Martani ini dimakamkan kakeknya Bapak. Agak aneh juga sih soalnya istri dari kakeknya Bapak ini dimakamkan di Makam Nganjat. Biasanya kan suami-istri dimakamkan di pemakaman yang sama.

 

 

Selesai nyekar di Makam Juru Martani berarti selesai sudah tradisi nyekar keluargaku di Jawa Tengah. Semoga artikel ini bisa menjadi pengingat di masa depan. Terutama untuk membantu mencari letak makam yang nggak setiap juru pelihara tahu. #senyum

 

Mumpung kereta Prameks untuk pulang ke Kota Jogja berangkatnya masih nanti pukul tiga sore, jadi ya jalan-jalan dulu deh di Kota Solo. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI