Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pada hari Minggu (6/11/2016) silam aku bersepeda pagi dari rumah ke Pundong. Buat Pembaca yang belum tahu, Pundong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Letak Pundong lumayan dekat dengan Laut Selatan dan juga Pantai Parangtritis.
Sepanjang riwayatku blusukan keliling Yogyakarta, aku sudah beberapa menyambangi Pundong. Maka dari itu, buatku Pundong termasuk ke dalam golongan tempat di Yogyakarta yang “merem saja nyampai”. #hehehe
Ada banyak rute menuju Pundong akan tetapi yang paling umum adalah dengan melalui Jl. Parangtritis. Panduannya cukup mudah. Susuri Jl. Parangtritis ke selatan hingga melewati RS Rachma Husada (sekitar km 16). Setelahnya bakal ada pertigaan jalan dengan papan arah hijau Dishubkominfo yang mencantumkan arah menuju Pundong.
SILAKAN DIBACA
Hanya Sebatas Bersepeda ke Pundong
Dan lagi, dalam setiap putaran roda Selita menyusuri kilometer demi kilometer Jl. Parangtritis aku acap kali meyakinkan diri bahwa ini ha - nya se - ba - tas nye - pe - da ke Pundong.
Pasalnya, yang membuat agenda bersepeda kali ini agak berbeda adalah karena aku membuat janji dengan seorang gadis asal Pundong. Dia adalah Dwi Susanti yang biasa dipanggil Dwi. Salah satu bloger yang juga sering blusukan menyambangi tempat-tempat unik di Yogyakarta.
Dalam suatu percakapan Dwi pernah menyinggung perihal air terjun “baru” di Pundong. Setahuku, di Pundong hanya ada air terjun musiman bernama Grojogan Senthong. Akan tetapi, Dwi bilang di Pundong masih ada air terjun lain. Air terjun tersebut bernama Grojogan Pucung yang bertempat di Desa Seloharjo.
Hooooo! #senyum.lebar
Oleh karena perpaduan rasa penasaran yang membuncah serta ditambah pertanyaan basa-basi “kapan ke Pundong?” yang kerap dilontarkan oleh Dwi #hehehe, akhirnya aku pun meluangkan agenda pagi ini untuk bersepeda ke Pundong.
SILAKAN DIBACA
Curug yang Tersembunyi
Perjalanan bersepeda dari rumah menuju Pundong berjalan lancar tanpa kendala. Sebelumnya kami sudah membuat janji bakal bertemu di perempatan Pasar Pundong. Berhubung aku lupa-lupa ingat dengan wilayah per-Pundong-an, aku sempat salah mengira perempatan ke Kantor Desa Srihardono sebagai perempatan Pasar Pundong. #hehehe
Tiba di perempatan Pasar Pundong aku melihat Dwi menungguku di depan salah satu toko yang masih tutup. Sepeda lipat berwarna merah terparkir di sebelahnya. Itu artinya dirinya bakal memanduku ke Grojogan Pucung dengan sepeda. Padahal aku kira ia bakal menunggangi sepeda motor.
Dwi lalu mengajakku bersepeda menyusuri jalan aspal ke arah selatan melintasi Jembatan Soka yang membentang lebar di atas Kali Opak. Sejurus setelah menyeberangi Jembatan Soka ada pertigaan yang hadir menyambut. Di pertigaan ini Dwi mengambil cabang ke kanan (arah ke Pantai Parangtritis). Masuklah kami di wilayah Desa Seloharjo.
Di sepanjang jalan aku sama sekali nggak melihat adanya papan petunjuk yang menginformasikan keberadaan Grojogan Pucung. Sempat terbesit kekhawatiran salah jalan. Tapi kan aku dipandu sama warga ber-KTP Pundong. Masak ya blusukan kali ini masih pakai adegan nyasar? #hehehe
Dwi bilang dulu di sepanjang jalan terdapat banyak petunjuk ke Grojogan Pucung. Tapi mbuh kenapa sekarang pada tahun 2016 ini petunjuk-petunjuk itu malah lenyap. Seakan-akan, keberadaan curug ini mulai ditutupi supaya nggak banyak orang yang tahu. #hehehe
Sebelum terlena menyusuri jalan beraspal yang besar nan sepi, Dwi tiba-tiba berbelok ke kiri. Ia mengarahkan sepeda lipat merahnya masuk ke cabang jalan yang nggak berpetunjuk. Suasana pun berganti dari jalan raya berpemandangan sawah menjadi jalanan kampung yang seakan-akan tersembunyi di dalam hutan.
Selang beberapa menit kemudian kami tiba di pekarangan suatu rumah. Kebetulan, si ibu pemilik rumah sedang berada di luar menyapu pekarangan. Dwi pun turun dari sepeda. Ia lalu membuka obrolan dengan si ibu sembari meminta izin untuk memarkir sepeda di pekarangan rumah beliau.
Setelah memarkirkan sepeda di dekat kandang sapi, Dwi kemudian mengajak berjalan kaki menembus lebatnya hutan. Medan jalan yang kami lalui berupa jalan setapak khas hutan yang lagi-lagi tanpa disertai adanya satu pun petunjuk menuju ke Grojogan Pucung.
Selang beberapa menit melangkah, panduan jalan pun bertambah satu dengan kehadiran saluran air. Sepintas wujudnya mirip selokan. Yang membedakan adalah air yang mengalir deras, dingin, dan jernih.
Keberadaan saluran air seakan menjadi penanda bahwa terdapat sumber mata air di suatu tempat di dalam hutan ini. Apakah itu sumber air tersebut adalah sungai yang menjadi sumber aliran air Grojogan Pucung ya?
Kami pun setia berjalan menyusuri saluran air tersebut hingga ke sumbernya. Dari kejauhan aku lihat ujung saluran air tersebut tersambung ke suatu bendungan. Akan tetapi, setelah didekati ternyata kondisi bendungan cukup mencengangkan. Kering!
Duh! Apakah air yang mengalir di dalam saluran air barusan memberi harapan palsu? #sedih
Apakah Grojogan Pucung masih kering pada awal bulan November ini? #sedih
Harapan yang sempat hampir sirna mendadak terbangkitkan kembali tatkala menyaksikan sekelumit penampakan yang berada nggak jauh dari bendungan mungil. Penampakan yang membuat hati lega dan sangat mengundang rasa penasaran. Apalagi kalau bukan Grojogan Pucung! #senyum.lebar
Grojogan Pucung dan Ada yang Lain
Berada di tengah hutan dengan tanpa adanya satu pun petunjuk jalan membuat Grojogan Pucung ibarat air terjun kecil yang hanya diketahui segelintir manusia. Meskipun demikian, tempat ini nggak terkesan liar. Kondisi di sekitar curug tertata rapi. Terlihat pula tong sampah di sejumlah tempat. Agaknya tempat ini lumayan terawat meski terkesan tersembunyi.
Wujud Grojogan Pucung sendiri mengingatkanku dengan Kedung Pengilon di Desa Bangunjiwo. Keduanya sama-sama berupa curug berkedung yang tak seberapa tinggi dengan aliran air yang menenangkan jiwa. Yang membuat Grojogan Pucung lebih unik adalah tekstur tebing air terjun yang berceruk-ceruk yang seakan-akan sebagai pijakan memanjat.
Dengan kedung kecil di dasarnya Grojogan Pucung tak ubahnya tempat yang cocok untuk bermain air. Sewaktu tiba di lokasi ada kedung tersebut dipakai oleh seorang ibu untuk berendam dan bercengkrama bersama anak-anaknya. Melihat pemandangan yang demikian, aku sempat menunggu mereka mengentaskan diri sebelum akhirnya mengabadikan foto.
Nggak seberapa lama setelah aku mengabadikan foto, giliran remaja-remaja muda yang kemudian memanfaatkan kedung Grojogan Pucung sebagai lokasi pendaratan aksi lompat dari pinggir tebing. Sayang, mereka ini malu-malu sewaktu hendak aku foto. #senyum.lebar
Grojogan Pucung ternyata nggak hanya sebatas curug berkedung seperti foto di atas. Kata Dwi, jika tetap menyusuri aliran sungai ke arah hulu nanti bakal bertemu curug lain. Weeeeeh!
Oleh karena itu dirinya pun mengajakku menyusuri jalan setapak yang masih membentang panjang di pinggir sungai. Ternyata, di sepanjang pinggir-pinggir sungai terdapat banyak tempat yang menarik untuk disambangi.
Kami sempat berhenti di salah satu sudut sungai yang berwujud curug berkedung. Dibandingkan curug berkedung yang disambangi di awal, kedung curug ini lebih luas dan sepertinya lebih dalam. Jika ingin puas berenang-renang di sungai lokasi ini menurutku ideal. #senyum.lebar
Benar saja apa yang dikatakan oleh Dwi, setelah sekian lama menyusuri sungai akhirnya kami berjumpa dengan curug lain. Curug ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan curug berkedung di awal. Sayangnya, curug tinggi ini nggak memiliki kedung yang cukup dalam sehingga nggak mungkin untuk berenang di sini.
Meskipun aliran airnya kurang begitu deras, bentuk curug yang tinggi serta wujudnya yang “buntu” menimbulkan kesan bahwa curug tinggi ini adalah suatu tempat yang sakral. Apalagi jika ditambah pancaran sinar matahari yang merayap dari balik rimbunnya dedaunan. Hmmm, bisa jadi ada banyak orang yang menjadikan curug tinggi ini sebagai tempat semadi. #hehehe
Sayangnya, ketika aku sedang mencari-cari sudut pemotretan yang pas, datanglah segerombolan pengunjung belia yang lantas membuyarkan suasana syahdu nan sakral. Dari penampakannya sepertinya mereka ini seusia pelajar SMP.
Tanpa memperdulikan keberadaanku dan Dwi, mereka lantas asyik berfoto ria dengan tongsis dan smartphone. Seakan-akan hanya merekalah penikmat keindahan curug tinggi tersebut.
Hadeh…
Kelakuan Kurang Kerjaan Kala Itu
Sembari menunggu bocah-bocah kekinian itu merampungkan urusan narsis mereka, aku dan Dwi memutuskan untuk menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi mengganjal. Kami penasaran apakah gerangan tempat yang tersembunyi bila tetap mengikuti aliran air sungai? Akankah kami berjumpa dengan suatu curug lain?
Maka dari itu kami pun lantas mencari-cari jalan untuk menuju ke puncak curug tinggi, tempat di mana aliran air sungai berasal. Konyolnya, kelakuan kami berdua ini pantas disebut sebagai kelakuannya orang yang kurang kerjaan. #hehehe
Gimana nggak? Jalan menuju ke puncak curug tinggi ini sama sekali bukan jalan yang manusiawi! Eh, mungkin lebih tepatnya medan yang kami jejaki itu sama sekali nggak pantas disebut sebagai jalan. #hehehe
Tebing yang miring ditambah tanah yang licin membuat aksi nekat ini menjadi sangat sukar. Nggak jarang aksi kami ditambahi bumbu mencengkeram erat batang serta akar pohon.
Sampai pada akhirnya, kira-kira separuh perjalanan menuju puncak curug tinggi aku perhatikan di sekeliling nggak ada lagi jalur yang bisa dilalui dengan mudah. Apalagi tanpa perlengkapan yang mendukung. Sejenak aku berpaling ke arah Dwi yang menanti arahanku di bawah. Pikirku,
“Duh! Kok ya sampai lupa aku manjat-manjat tebing begini bareng sama cewek anaknya orang! Kalau dia ada apa-apa bisa mampus aku sama orang tuanya!”
Jadi ya dengan sangat terpaksa aku pun membatalkan kelakuan kurang kerjaan ini. Dwi aku ajak untuk kembali turun menuju dasar curug tinggi. Untunglah dia pun setuju. Terlebih lagi aksi menyusuri tebing ini sudah memakan korban putusnya sandal gunungku. #hehehe
Kami pun kembali lagi di dasar curug tinggi dan mendapati bocah-bocah SMP itu masih asyik berfoto ria. Duh! Sampai kapan ini mereka bakal begini? Kapan aku dapat kesempatan motret di sini?
Selepas aku berpikir demikian tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang tidak disangka-sangka. Salah satu bocah yang sedang memotret tergelincir dan tercebur ke sungai! Untung sungainya nggak dalam. Akan tetapi, walau bagaimanapun ia harus ikhlas menerima nasib pakaiannya yang basah… dan juga smartphone yang digenggamnya! Hehehe. #senyum.lebar
Peristiwa naas tersebut sontak memecah keceriaan mereka. Nggak seberapa lama kemudian mereka pun meninggalkan lokasi. Apa mungkin nasib malang itu karena kualat bersikap “berlebihan” di curug ya? #hehehe
Apa pun itu, akhirnya aku mendapat kesempatan memotret curug tinggi dengan Dwi sebagai modelnya. #senyum.lebar
Yang Masih Mengganjal
Kira-kira sekitar pukul sebelas siang aku dan Dwi menyudahi kunjungan di Grojogan Pucung. Aku pribadi cukup puas dengan kunjungan ini. Meskipun pada awal November ini hujan belum rajin turun, Grojogan Pucung tetap berair sehingga indah dipandang mata. Apalagi suasana di sekitar curug masih asri dan relatif bersih dari sampah.
Yang masih mengganjal mungkin ya menyusuri aliran sungai di atas curug tinggi itu. Tapi untuk melakukannya jelas butuh persiapan terlebih perlengkapan yang memadai.
Oh iya, sama satu lagi aku menjumpai papan penunjuk arah yang mencantumkan arah ke Gua Mantolo. Papan ini searah ke Grojogan Pucung. Tapi, aku nggak melihat tanda-tanda adanya gua di sekitar lokasi.
Katanya sih di Pundong masih banyak curug yang bermunculan di musim hujan. Tapi, jalan menuju ke sananya yang masih misterius. #hehehe
Nyerah sek penting wis iso nge-share tempat hits Pundong punya, hhhhhh
Kenapa kamu larikan di hutan-hutan begitu. Kalau bapaknya sampai tau, bisa-bisa dijewer lhoo :p