Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Namanya Masjid Taqorrub.
Nama lengkapnya Masjid Taqorrub Kanggotan.
Dalam bahasa Arab kata taqarrub memiliki arti mendekatkan diri. Umumnya, kata taqarrub dirangkai dengan kata ilallah menjadi taqarrub ilallah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sedangkan Kanggotan adalah nama salah satu dusun yang berada di wilayah Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Nama Kanggotan diduga berasal dari nama Kyai Kategan, seorang ulama setempat yang dimakamkan di dekat masjid. Beliau merupakan penghulu (pemimpin agama) Kesultanan Mataram Islam.
SILAKAN DIBACA
Para ahli sejarah menduga bahwa Masjid Taqorrub Kanggotan merupakan masjid keraton Kesultanan Mataram Islam pada saat pusat pemerintahan berada di Kerto. Pada masa tersebut tahta kerajaan diemban oleh Sultan Agung.
Sebagaimana yang termuat dalam Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan Babad ing Sengkala, pada tahun 1617 Sultan Agung memindah pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam dari Kotagede ke Kerto. Selain mendirikan keraton baru dibangun pula sejumlah bangunan-bangunan pendukung. Salah satunya adalah masjid.
Keraton, alun-alun, pasar, dan masjid merupakan elemen-elemen dalam konsep tata ruang keraton Jawa yang disebut Catur Gatra Tunggal (artinya empat elemen yang menyatu). Dalam konsep tersebut umumnya masjid dibangun di sisi barat keraton dan berhadapan dengan alun-alun.
Pada hari Sabtu (14/10/2017) yang lalu, Mas Deni dari Museum Purbakala Pleret mengajak para peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam menyambangi Masjid Taqorrub Kanggotan. Dari Situs Kerto kami berjalan kaki menyusuri jalan kampung yang konon dahulunya merupakan kawasan alun-alun Keraton Kerto. Tidak begitu lama kami pun sampai di Masjid Taqorrub Kanggotan. Kami sempat menunaikan salat zuhur di sini.
Berdasarkan prasasti beraksara Jawa yang terpanjang di dinding masjid, diketahui bahwa Masjid Taqorrub Kanggotan pernah dimuliakan oleh Patih Danureja VI pada hari Kamis Kliwon tanggal 22 Agustus 1901. Sedangkan berdasarkan prasasti beraksara Arab yang juga terpanjang di dinding masjid, diketahui bahwa masjid ini selesai dibangun pada hari Jumat Kliwon tanggal 28 Jumadil Akhir 1319 H.
Saat ini bentuk Masjid Taqorrub Kanggotan bukanlah bentuk asli seperti pada awal didirikan. Menurut warga setempat, di lokasi ini pernah berdiri langgar. Seiring dengan bertambahnya jemaah langgar tersebut direnovasi menjadi masjid besar seperti yang terlihat sekarang ini.
Sampai saat ini Masjid Taqorrub Kanggotan sudah direnovasi berulang kali. Bagian yang diperkirakan masih asli hanya empat tiang saka guru yang berada di ruang tengah, kubah masjid, serta mustaka. Dahulu serambi masjid disangga oleh 12 tiang kayu. Akan tetapi saat perluasan langit-langit masjid, tiang-tiang kayu tersebut dipindah-fungsikan sebagai kayu usuk.
Hal unik lain dari Masjid Taqorrub Kanggotan adalah keberadaan prasasti batu di halaman sisi utara. Prasasti batu ini hanya berupa replika dari prasasti asli sebagai penanda bahwa dahulu di halaman masjid pernah terdapat prasasti asli.
Prasasti batu tersebut berwujud lingga patok dan memuat tulisan beraksara Jawa kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah penetapan status sima bagi tanah milik Rakarya Banu Wwah (dibaca Wa-wah atau We-wah #hehehe) dengan angka tahun 794 Saka.
Menurut Pak Soekmono dalam bukunya yang berjudul Candi: Fungsi dan Pengertiannya, arti kata sima adalah batas. Itu karena tanah berstatus sima merupakan suatu wilayah yang memiliki batas (dicagar). Batas wilayah tersebut ditandai dengan lingga patok.
Pemukiman yang bertempat di tanah sima dikenal dengan nama desa perdikan. Desa ini diberi keistimewaan oleh kerajaan, salah satunya dengan tidak dikenai pajak. Sebagai gantinya warga desa diwajibkan untuk merawat bangunan atau benda penting yang berada di tempat tersebut.
Keberadaan lingga patok di halaman Masjid Taqorrub Kanggotan menandakan bahwa masjid tersebut berdiri di tanah sima. Jadi, masjid ini berdiri di bekas suatu desa perdikan. Apabila memperhatikan prasasti yang berwujud lingga patok ada kemungkinan warga desa perdikan tersebut merupakan umat Hindu.
Pertanyaan-pertanyaan menarik pun lantas bermunculan di otakku.
Apakah sebab yang menjadikan tanah ini diberi status sima?
Apakah karena di tempat ini dahulunya pernah berdiri suatu bangunan suci seperti candi?
Kalau memang di sini pernah ada candi apakah sekarang masih ada sisa-sisa batunya?
Juga, seberapa luas kah area tanah sima ini?
Apakah ada juga lingga-lingga patok selain di halaman masjid ini?
Di manakah lokasinya?
Kemudian, apakah Sultan Agung memang sengaja membangun masjid keraton di tanah sima?
Apakah pada saat Sultan Agung membangun masjid di lokasi ini masih terdapat bangunan suci?
Apakah pemilihan lokasi Kerto sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam yang baru itu salah satunya didasarkan pada adanya suatu bangunan suci sebagai tempat “ideal” untuk mendirikan masjid?
Hmmm…
Aku jadi berspekulasi yang aneh-aneh.
Aku jadi menduga bahwa alasan Sultan Agung mendirikan masjid di tanah sima ini salah satunya sebagai ungkapan untuk “mengganti” agama Hindu yang dahulu berjaya di Jawa menjadi agama Islam.
Mungkin juga alasan Sultan Agung mendirikan pusat pemerintahan yang baru di tanah sima di Kerto adalah untuk mengkukuhkan kerajaan Islam sebagai penguasa baru di tanah Jawa menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Ini selaras dengan ambisi Sultan Agung untuk menyatukan seluruh Jawa.
Sungguh suatu pertanyaan-pertanyaan dan spekulasi-spekulasi yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahwasanya Masjid Taqorrub Kanggotan masih memiliki kisah sejarah yang menarik untuk disingkap.
Ah, seandainya saja para leluhur yang dimakamkan di Pemakaman Cepaka Sari (letaknya di barat masjid) bisa bercerita.
Tapi jelas mereka yang sudah tak bernyawa tak akan pernah bangkit dari kuburnya untuk menceritakan tentang kisah-kisah masa lalu toh? #senyum.lebar
Sumber pendukung:
http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/ngayogyakarta-hadiningrat/mataram-islam/354
KATA KUNCI
- arca
- babad ing sangkala
- babad momana
- babad tanah jawi
- bangunan tua
- bantul
- desa perdikan
- hindu
- jelajah peradaban mataram islam
- kanggotan
- keraton
- keraton kerto
- keraton mataram islam
- kerto
- kesultanan mataram islam
- komunitas malam museum
- lingga
- lingga patok
- masjid
- masjid keraton
- masjid taqorrub kanggotan
- masjid tua
- mataram islam
- patih danureja
- pleret
- prasasti
- purbakala
- sejarah
- sultan agung
- tanah sima
nyekar ke sana, yaa...
Silahkan panjenengan masuk ke cungkup dan intip sedikit apa yg ada di balik kain yang dikeramatkan tersebut....
Jadi bisa disimpulkan kemungkinan besar bekas peninggalan hindu-buddha jaman Mataram Kuno di pakai kembali oleh Mataram Islam...ga cuma di Jogja, di Purworejo bahkan yoni dijadikan umpak soko guru masjid...
Sekedar meluruskan..yg di foto itu disebut Prasasti Wihara 1 dan bacaannya adalah
Caka i darma patih kajah cima rakya(n) panawwa(h) ring wihara srawana mapa(la)..
Maaf karena cuma replika saya agak susah menbacanya...
Sementara yang panjenengan tulis itu adalah alih aksara lingga patok yang satunya lagi. Masih di Pleret juga. Disebut sebagai prasasti Wihara 2.
Ada 3 temuan lagi, 2 di berbah (disebut Prasasti Jragung 1 dan 2) dan 1 di Banguntapan, Bantul yang menyebutkan tentang wihara...
Mohon koreksinya... salam kenal...
(sultan agung) atau kota raja plered
(amangkurat)?