HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Berawal dari Kotagede di Bawah Guyuran Hujan

Rabu, 25 Oktober 2017, 03:00 WIB

Langit Jogja pada Sabtu pagi (14/10/2017) kurang bersahabat. Cerah hanya menyapa singkat. Selebihnya berbalut awan mendung.

 

Tak cukup dengan mendung, kremun turun tanpa diundang. Tak seberapa lama kremun berganti menjadi gerimis. Tak diduga-duga gerimis akhirnya berubah wujud menjadi hujan.

 

Sialnya, aku termasuk salah satu “korban” hujan yang ujug-ujug turun. Untung di dekat sana ada halte bus Trans Jogja. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke halte di seberang SD Bopkri Gondolayu itu.

 

 

Sembari menanti kehadiran bus pandanganku menerawang ke Jalan Jenderal Sudirman. Aspal jalan kian basah diguyur hujan. Sabtu ini sepertinya memang bukan hari yang cocok untuk jalan-jalan. #sedih

 

Padahal, pagi ini aku berencana ikut kegiatan Jelajah Peradaban Mataram Islam yang diadakan oleh komunitas Malam Museum. Titik kumpulnya di Gelanggang Mahasiswa UGM. Aku sengaja ke sana dengan berjalan kaki. Niat awalnya sih full jalan kaki dari rumah sampai UGM. Akan tetapi, karena mendadak hujan turun terpaksalah aku naik Trans Jogja.

 

 

Setelah menunggu agak lama, akhirnya ada bus Trans Jogja yang merapat. Rupanya itu bus jalur 1B. Biasanya kalau mau ke UGM aku naik bus jalur 3B. Tapi, karena jadwal ngumpul sudah mepet, naik bus jalur 1B pun nggak masalah.  

 

Aku pun naik bus Trans Jogja jalur 1B. Bus melaju tanpa hambatan di Jalan Cik Di Tiro. Bus berbelok ke kanan (timur) di bundaran UGM dan berhenti di halte di utara RS Panti Rapih. Di sana aku turun kemudian berjalan kaki menerjang rintik gerimis menuju Gelanggang Mahasiswa UGM.

 

Mataram Islam Berawal dari Kotagede

Sekitar pukul setengah delapan pagi aku tiba di selasar Gelanggang Mahasiswa UGM. Suasananya ramai. Sekilas aku amati wajah-wajah peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam. Mayoritas masih muda-muda. Sepertinya kebanyakan dari mereka masih berstatus sebagai mahasiswa.

 

Ah, senangnya melihat generasi muda yang menaruh minat dengan sejarah bangsa. #senyum

 

 

Aku menghampiri meja heregistrasi dan melapor ke panitia. Di sana, Erwin sang founder komunitas Malam Museum menyapaku. Selain Erwin ternyata ada juga sosok-sosok yang aku kenal. Ada Mbak Pipit dan juga Mbak Elza. Aku kenal mereka berdua pada napak tilas sejarah yang lalu-lalu. Pada kegiatan ini mereka hadir sebagai media partner.

 

Selesai heregistrasi, panitia memberikan bekal sebotol air minum dan tas kain. Beberapa belas menit kemudian Erwin pun membuka kegiatan. Peserta dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok merah, biru, dan hijau. Aku masuk ke kelompok hijau.

 

Dengan menumpang bus Karya Jasa peserta diberangkatkan menuju ke tempat kelahiran peradaban Mataram Islam. Apalagi kalau bukan kawasan Kotagede.

 

 

Tanpa perlu bermacet ria, bus yang aku tumpangi sampai dengan selamat di kawasan Kotagede. Bus parkir di jalan kecil di luar Pondok Pesantren Nurul Ummah. Lokasi parkir yang wagu karena pikirku bus bakal parkir di sekitaran Lapangan Karang yang areanya lebih luas.

 

Di luar bus, gerimis yang mulai mereda mendadak berubah jadi hujan deras! Duh, cuaca hari ini benar-benar sulit untuk diajak bekerja sama. Agaknya, aku perlu meminta bantuan kepada pria yang sepertinya lihai mengutak-atik suasana langit.

 

Siapa lagi coba si pria itu kalau bukan Mbah Gundul? #hehehe

 

 

Hujan mulai reda. Para peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam turun dari bus dan berkumpul di lapangan mungil di luar Pondok Pesantren Nurul Ummah. Bu Sinta dari komunitas Kotagede Heritage Trail datang menyambut. Beliau lantas memandu para peserta menuju meeting point yang sudah disiapkan yaitu Pendopo Kajengan yang bertempat di Kelurahan Prenggan.   

 

Untuk menuju ke Pendopo Kanjengan, Bu Sinta mengarahkan para peserta melewati gang-gang kecil nan berliku. Di tengah perjalanan menyusuri gang, hujan yang belum ada setengah jam reda tiba-tiba kembali jadi deras! Untung di dekat sana ada rumah kosong yang terasnya bisa dipakai untuk berteduh.

 

Duh, sepertinya sesajen yang dipasang Mbah Gundul kurang ini. #hehehe #eh  

 

 

Dengan berjuang menembus hujan, aku pun tiba di Pendopo Kanjengan. Aku baru tahu kalau ternyata Pendopo Kanjengan ini terletak di “belakang” Masjid Perak. Lagi-lagi, setiap kali membahas Masjid Perak aku jadi teringat dengan artikel “kontroversial” di blognya Mas Elanto Wijoyono. #sedih

 

Di Pendopo Kanjengan para peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam disambut oleh teman-teman dari komunitas Kotagede Heritage Trail. Ada Mas David, Mas Yuda, dan Mbak Upik. Mereka inilah yang nanti akan menemani para peserta menyusuri jejak peradaban Mataram Islam di Kotagede.

 

 

Sebelum memulai penjelajahan, Erwin memberi pengantar cerita tentang awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam sekaligus hubungannya dengan Kotagede. Seperti yang sempat aku singgung di atas, Kotagede merupakan tempat lahirnya peradaban Mataram Islam.

 

Sayangnya, literatur yang menceritakan awal sejarah Kotagede agak “meragukan”. Sumber utamanya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dua yang disebut ini adalah karya sastra Jawa klasik yang menceritakan berbagai peristiwa bersejarah namun dengan data-data yang kurang akurat dan bumbu-bumbu klenik yang nggak masuk akal. #tahu.sendiri.lah #hehehe

 

Selain Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, sejumlah laporan yang dibuat pihak Belanda juga ada yang menyinggung Kotagede. Sayangnya, laporan Belanda ini juga nggak menceritakan dengan jelas perihal awal mula sejarah Kotagede.   

 

 

Menurut Babad Tanah Jawi, beratus-ratus tahun silam kawasan Kotagede adalah hutan yang sangat luas. Hutan ini dikenal dengan nama Alas Mentaok. Dalam bahasa Jawa, alas berarti hutan sedangkan mentaok adalah pohon mentaos (Wrightia pubescens/Wrightia javanica).

 

Pada awal abad ke-16 Masehi, Alas Mentaok merupakan wilayah Kesultanan Pajang (pusatnya sekarang di sekitar Kota Solo). Pada tahun 1558, Sultan Pajang (Hadiwijaya) menghadiahkan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan berkat jasanya menumpas Arya Penangsang.

 

Sejak saat itu, Ki Ageng Pemanahan mulai mendirikan pemukiman di Alas Mentaok. Pemukiman tersebut bernama Desa Mataram. Pada tahun 1584 Ki Ageng Pemanahan wafat. Sultan Pajang kemudian menetapkan putra Ki Ageng Pemanahan yang bernama Danang Sutawijaya sebagai pemimpin baru Desa Mataram.

 

Nah, sejak kepemimpinan Danang Sutawijaya inilah Desa Mataram bertransformasi menjadi sebuah kerajaan. Danang Sutawijaya pun menjadi raja yang pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Nama Mataram Islam adalah sebutan dari generasi saat ini untuk membedakannya dengan kerajaan Mataram Hindu.

 

Desa yang menjadi pusat kesultanan Mataram Islam ini kian lama kian membesar. Masyarakat pun menyebut desa ini dengan nama Kotagede (kota besar). Hingga tahun 1617 Kotagede masih difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam sebelum akhirnya dipindah ke Kerto.

 

Konsep Catur Gatra Tunggal di Kotagede 

Di bawah naungan langit yang masih tertutup awan mendung, aku beserta teman-teman dari kelompok hijau memulai penjelajahan peradaban Mataram Islam di Kotagede. Kami didampingi Mas Yuda dari komunitas Kotagede Heritage Trail.

 

 

Dari Pendopo Kanjengan, Mas Yuda mengajak kami menuju Pasar Kotagede. Di sini Mas Yuda menceritakan bahwa Pasar Kotagede sudah ada sejak zaman Kesultanan Mataram Islam sebagai bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal.

 

Catur Gatra Tunggal merupakan konsep tata ruang Jawa yang diterapkan pada Keraton dan bangunan-bangunan di sekelilingnya. Catur Gatra Tunggal memiliki arti empat elemen yang menyatu. Yang dimaksud dengan empat elemen tersebut adalah:

 

  1. Keraton sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan.
  2. Alun-alun sebagai ruang sosial dan tempat bertemunya raja dan rakyat.
  3. Masjid sebagai tempat peribadatan sekaligus kawasan pemukiman pemuka agama.
  4. Pasar sebagai pusat ekonomi.

 

 

Dalam konsep Catur Gatra Tunggal umumnya pasar terletak di utara alun-alun. Letak Pasar Kotagede diyakini nggak berubah semenjak awal Kotagede berdiri. Meskipun demikian, bangunan Pasar Kotagede sudah berkali-kali mengalami renovasi sehingga wujudnya saat ini nggak sama seperti wujudnya pada masa lalu.

 

Saat sedang serius mendengarkan penjelasan Mas Yuda, eh… hujan deras tiba-tiba kembali menyapa! Kami pun bergegas berteduh di depan ATM. Untuk mengantisipasi hujan yang nggak menentu beberapa peserta ada yang membeli payung di toko swalayan. Mas Yuda juga meminjamkan beberapa topi kepada peserta.

 

Aku sendiri hanya membekali diri dengan kantong plastik untuk menutupi DSLR supaya nggak berakhir diopname Pak Tumijo, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Setelah hujan sedikit reda kami pun melanjutkan penjelajahan. Mas Yuda mengajak kami menelusuri Kampung Alun-Alun. Sebagaimana namanya, Kampung Alun-Alun dinamai demikian karena dahulu di sinilah alun-alun Keraton Kotagede.

 

Mas Yuda memilih gang di belakang Pasar Kotagede sebagai titik awal penjelajahan Kampung Alun-Alun. Dimulailah sensasi menyusuri gang-gang kawasan Kotagede yang sempit, berliku, dan penuh cabang. Aku sendiri menyebut gang unik ini sebagai gang senggol karena lebar gang hanya muat untuk dua orang. #senyum.lebar

 

 

Berbeda dengan Pasar Kotagede, Kampung Alun-Alun sama sekali nggak memiliki jejak peninggalan peradaban Mataram Islam. Saat ini Kampung Alun-Alun dipadati oleh rumah-rumah penduduk yang bejejer rapat dan hanya menyisakan sela berupa gang-gang. Blas sama sekali nggak ada tanah lapang luas yang menyerupai alun-alun!

 

Ada dugaan, seiring dengan runtuhnya Kesultanan Mataram Islam, kawasan alun-alun ini pelan-pelan mulai berubah menjadi pemukiman. Kasarnya, “orang-orang nggak tahan lihat tanah luas nganggur” #hehehe. Kejadian ini berlangsung pada ratusan tahun silam.

 

Rumah-rumah di Kampung Alun-Alun pun nggak hanya rumah modern. Ada juga rumah-rumah joglo dan rumah antik peninggalan Orang Kalang.

 

 

Salah satu hal menarik di Kampung Alun-Alun adalah adanya “kampung di dalam kampung”. Pada zaman dahulu sejumlah warga Kampung Alun-Alun bermukim di satu tempat sesuai dengan hubungan garis kekeluargaan.

 

Saudagar bernama Atmosoeprobo adalah salah satunya. Beliau mendirikan suatu “kompleks perumahan” di dalam Kampung Alun-Alun. Kompleks perumahan ini dikelilingi tembok tinggi. Akses masuknya dibatasi dua gerbang. Pada sisi atas salah satu dinding gerbang tertera angka 1840. Jadi, bisa diartikan bahwa tempat ini sudah ada sejak tahun tersebut.

 

Karena ada dua gerbang itulah tempat ini dikenal dengan nama Between Two Gates. Tapi itu kan nama Inggris. Nama lokalnya adalah Jalan/Gang Kerukunan sesuai jalan setapak yang menghubungkan dua gerbang tersebut.

 

 

Saat ini penghuni rumah-rumah di dalam kawasan Between Two Gates nggak lagi memiliki hubungan keluarga dengan Atmosoeprobo. Pada tahun 2006 rumah-rumah tua ini rusak karena gempa. Akan tetapi, dengan bantuan dari ReKompak dan JRF rumah-rumah tersebut kini sudah diperbaiki.

 

Sisa-Sisa Peradaban Mataram Islam di Kotagede

Setelah puas blusukan di Kampung Alun-Alun, Mas Yuda mengajak kami melihat peninggalan-peninggalan peradaban Mataram Islam di Kotagede yang relatif masih utuh.

 

1. Benteng Cepuri

Pada kesempatan pertama Mas Yuda memandu kami menuju sisa-sisa benteng cepuri, yaitu benteng yang mengelilingi kompleks Keraton Kotagede. Selain sebagai benteng pertahanan, benteng cepuri merupakan pembatas antara dunia raja dengan dunia rakyat jelata.

 

 

Menurut Babad Tanah Jawi dan Babad Momana, benteng cepuri mulai dibangun pada tahun 1585 dan selesai pada tahun 1594. Benteng cepuri ini diduga merupakan ungkapan pemberontakan yang dilakukan Panembahan Senopati terhadap Kesultanan Pajang. Persiapan perang lah kasarannya.

 

Benteng cepuri dibangun menggunakan bata merah dan bata putih. Ukuran batu bata putih yang dipakai lumayan besar. Tinggi benteng cepuri mencapai 6 meter. Di luar benteng terdapat parit dengan kedalaman 3 meter dan lebar 20-an meter. Kini, bekas parit menjadi kawasan rumah penduduk.

 

 

Saat ini sebagian benteng cepuri sudah direhabilitasi. Bisa dilihat pada foto di atas, di atas garis merah merupakan susunan batu bata baru. Sedangkan di bawah garis merah adalah batu bata asli.

 

2. Watu Gilang

Bertolak dari benteng cepuri, Mas Yuda mengajak kami menuju Watu Gilang, yaitu bekas singgasana Panembahan Senopati. Bila menilik letak Watu Gilang berarti dahulu di sinilah letak Keraton Kotagede.

 

Sayangnya, saat ini bangunan Keraton Kotagede sudah lenyap tak bersisa. Diduga bangunan Keraton Kotagede terbuat dari kayu yang mana itu sangat mudah lapuk termakan zaman.

 

 

Saat ini Watu Gilang berada di dalam bangunan rumah-rumahan. Pintu rumah-rumahan tersebut nggak setiap saat terbuka. Pada waktu itu, pintunya sengaja dibuka sehingga para peserta jelajah peradaban Mataram Islam bisa masuk untuk melihat atau pun menyentuh langsung.

 

Karena sudah berkali-kali melihat Watu Gilang aku memutuskan untuk nggak masuk. Biarlah teman-teman yang masih muda-muda ini yang menjamahnya, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Untuk yang kesekian kalinya hujan kembali turun mengguyur Kotagede. Padahal sewaktu di benteng cepuri tadi hujannya sudah reda. Alhamdulillah karena dinaungi tiga pohon beringin besar di situs Watu Gilang aku selamat dari guyuran hujan.

 

Tapi, setelah beranjak pergi dari situs Watu Gilang derasnya hujan malah menjadi-jadi. Aku sempat berteduh di salah satu teras rumah di dekat bekas Warung Sido Semi. Untung ditemani jajanan cilok. Untung juga tujuan penjelajahan yang terakhir sudah dekat yaitu Masjid Gede Mataram Kotagede.

 

3. Masjid Gede Mataram

Aku biasa menyebut peninggalan peradaban Mataram Islam ini dengan nama Masjid Gede thok. Menurut Babad Momana, Masjid Gede dibangun atas perintah Panembahan Senopati. Pembangunannya selesai pada tahun 1589.

 

Masjid Gede merupakan salah satu contoh masjid tradisional Jawa. Selain beratap model tajug, Masjid Gede juga memiliki komponen ruang yang khas seperti kuncungan (bilik sebelum ke serambi) dan jagang (kolam kecil yang mengelilingi serambi).

 

 

Hingga saat ini Masjid Gede sudah mengalami berbagai perbaikan. Pada tahun 1919 Masjid Gede sempat terbakar. Pada tahun 2006 Masjid Gede turut rusak karena gempa. Walaupun demikian, sebagian besar bentuk asli masjid masih lestari. Saat ini kawasan Masjid Gede dirawat oleh para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan Keraton Surakarta.

 

Di halaman muka Masjid Gede tumbuh sejumlah pohon sawo kecik. Bagi orang Jawa, kata sawo kecik memiliki kemiripan dengan kata sarwo becik yang artinya serba baik. Harapannya, Masjid Gede senantiasa membawa kebaikan. Aamiin. #senyum

 

4. Makam Raja-Raja Mataram

Masih di sekitar kawasan Masjid Gede, Mas Yuda mengajak kami menyambangi Makam Raja-Raja Mataram. Sebagaimana yang mungkin kita sudah tahu, tempat keramat ini nggak setiap saat bisa dimasuki. Adapun pengunjung yang hendak masuk harus berbusana Jawa sesuai aturan yang sudah ditentukan. Jadinya, kami semua hanya berkumpul di luar gerbang makam dan mendengarkan cerita dari Mas Yuda.

 

 

Di dalam Makam Raja-Raja Mataram ini terdapat makam para leluhur Kesultanan Mataram Islam. Pendiri Kesultanan Mataram Islam yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati dimakamkan di sini.

 

Di Makam Raja-Raja Mataram ini juga terdapat makam Sultan Hamengkubuwana II, satu-satunya Sultan Ngayogyakarta yang nggak dimakamkan di Imogiri. Ada juga makam Ki Ageng Mangir Wanabaya yang separuh makamnya berada di luar tembok karena ia adalah musuh sekaligus menantu Panembahan Senopati.

 

Kata Mas Yuda, keberadaan pohon besar yang tumbuh di depan gerbang makam menandakan kalau Makam Raja-Raja Mataram ini sudah penuh. Di kawasan Kotagede juga terdapat Makam Hastorenggo yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwana VIII dan diperuntukkan bagi kerabat Keraton Ngayogyakarta.

 

5. Sendang Seliran

Berada nggak jauh dari gerbang Makam Raja-Raja Mataram terdapat mata air yang bernama Sendang Seliran. Dalam bahasa Jawa selira berarti badan atau diri sendiri. Itu karena konon air sendang ini berasal dari badan (makam) Panembahan Senopati. Konon lagi, mata air ini dibangun sendiri oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati.

 

 

Sendang Seliran terbagi menjadi dua yaitu sendang kakung dan sendang putri. Sendang kakung diperuntukkan bagi pria. Sementara sendang putri bagi wanita. Pengunjung umum bebas memasuki kedua kawasan sendang ini. Boleh juga mandi asal sesuai tempatnya saja. #senyum.lebar

 

Di sendang kakung konon hidup lele putih gaib yang tubuhnya hanya berwujud tulang-belulang. Ini berhubungan dengan kisah Sunan Kalijaga yang terkaget-kaget seusai menyantap lele yang dimasak hidup-hidup oleh juru masak Keraton.

 

 

Masih berhubungan dengan kisah Sunan Kalijaga, di dekat sendang kakung terdapat sumur keramat yang konon digunakan Sunan Kalijaga untuk berwudu. Konon, air dari sumur ini bisa membuat wajah berseri cerah. Sejumlah peserta wanita tampak antusias membasuh muka dengan air sumur ini. #senyum.lebar

 

Berawal dan Berakhir di Bawah Guyuran Hujan

Jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang. Para peserta jelajah peradaban Mataram Islam bergegas berkumpul kembali di Pendopo Kanjengan. Selain karena sudah melampaui jadwal yang ditetapkan Erwin, langit lagi-lagi memuntahkan hujan yang kian lama kian deras. #duh

 

Berawal dan berakhir di Pendopo Kanjengan, Alhamdulillah kegiatan jelajah peradaban Mataram Islam di Kotagege terselesaikan dengan baik. Meskipun aku lumayan sering wira-wiri ke Kotagede, menjelajah peninggalan-peninggalan bersejarah dengan ditemani oleh orang-orang yang mengerti cerita di baliknya tetap merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan. #senyum.lebar

 

Barangkali yang patut disayangkan dari kegiatan jalan-jalan pada hari ini adalah hujan yang acap kali datang menyapa. Buatku yang membawa DSLR, kondisi cuaca yang seperti ini lumayan menganggu.

 

Dan kenapa pula hari ini ajian penangkal hujannya Mbah Gundul nggak ampuh ya? Padahal jarak Kotagede dari Gedongkuning kan dekat banget? Dirinya molor lagi apa ya? #eh

 

 

Tapi, kenapa pula lantas menyalahkan hujan?
Bukankah hujan adalah berkah?
Bukankah hujan adalah percikan kehidupan?

 

Mungkin hujan pulalah yang pada ratusan tahun silam telah menyuburkan pohon-pohon mentaok di bekas situs peradaban Mataram Hindu. Dari rimbunnya hutan mentaok kemudian lahirlah peradaban Mataram Islam. Hingga kemudian berganti menjadi peradaban modern seperti apa yang bisa kita saksikan pada saat ini di Kotagede.

 

Dari hujan semuanya bermula. Semoga hujan tidak akan melahirkan peradaban baru yang menyapu habis jejak-jejak peradaban lama.

 

 

Penjelajahan peradaban Mataram Islam pada hari ini masih berlanjut. Kotagede hanyalah destinasi pembuka. Semoga saja hujan reda setelah dari Kotagede. Kalau nggak aku yang bakal masuk angin karena kebasahan. #hehehe

 

Oh iya, karena lumayan panjang jadi artikel Jelajah Peradaban Mataram Islam aku pecah jadi banyak, hahaha. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI