Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Di atas tebing Sumur Bandung Mbah Gundul ngasih komando. Tanda perjalanan bersepeda menuju Watu Tumpak bakal dimulai lagi.
“Yoh, medun, lanjut neh!” [1]
[1] Ayo turun, lanjut lagi!
Waktu saat ini menunjukkan pukul setengah 9 pagi lewat sedikit pada hari Rabu (25/5/2016). Posisi masih belum sampai ke Watu Tumpak. Dari tadi kebanyakan berhenti-berhentinya sih, hahaha. #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
“Gur kono kae lho!” [2] tunjuk Mbah Gundul ke jalan utama sebelum tadi berbelok ke Sumur Bandung.
[2] Cuma di situ itu lho!
Hooooo! Ternyata Sumur Bandung dan Watu Tumpak hanya terpisah jarak sekitar 200 meter! Dekat ternyata! Hilanglah sudah perasaan was-was bakal ketemu tanjakan lagi. #senyum.lebar
Sama seperti kebanyakan objek wisata alam yang akhir-akhir ini bermunculan di Yogyakarta, Watu Tumpak sedang berbenah demi kenyamanan pengunjung. Saat aku tiba di sana sedang ada proyek pembenahan lokasi parkir kendaraan.
Menurutku, pembangunan yang seperti ini membuat suasana Watu Tumpak menjadi kurang alami. Tapi ya... demi mendulang pundi-pundi rupiah, beberapa hal ada yang harus dikorbankan toh? #sedih
“Lho? Kok Watu Bener Mbah? Jare Watu Tumpak?” [3] aku kebingungan pas melihat nama di papan petunjuk di pinggir jalan.
“Wah Mbuh. Mbiyen kae aku rene jenenge isih Watu Tumpak,” [4] Mbah Gundul ikut bingung juga.
[3] Lho? Kok Watu Bener Mbah? Katanya Watu Tumpak?
[4] Wah nggak tahu. Dulu aku ke sini namanya masih Watu Tumpak.
Ndilalah, di dekat kami saat itu ada seorang ibu yang sedang berangkat ngarit. Tanpa malu-malu, Mbah Gundul pun terlibat percakapan dengan si ibu.
“Watune wonten kalih Mas. Sing niku Watu Tumpak, menawi meriko Watu Bener.” [5]
[5] Batunya ada dua Mas. Yang itu Watu Tumpak, yang di sana Watu Bener.
Penjelasan ibu tersebut sedikit mengurangi rasa penasaran. Tapi, aku sebetulnya masih bingung. Kenapa mesti ada batu yang diberi nama Watu Bener? Apa itu berarti ada batu lain yang diberi nama Watu Salah? Hahaha. #senyum.lebar
Watu Tumpak adalah sebutan untuk kawasan pinggir tebing yang terletak di perbukitan Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Di tempat ini pengunjung dapat memanjakan mata dengan pemandangan asrinya pedesaaan Bantul dari ketinggian. Subhanallah!
Karena bulan Mei berada di penghujung musim penghujan, jadi pemandangan yang tersaji masih didominasi warna hijau. Kalau kemarinya pas musim kemarau mungkin yang bakal mendominasi adalah warna kuning. #senyum.lebar
Kawasan Watu Tumpak ini lumayan luas. Jadi, pengunjung nggak perlu berdesak-desakan untuk menikmati indahnya pemandangan dari pinggir tebing. Apabila lokasi ini kebanjiran pengunjung, InsyaAllah tetap masih bisa menemukan spot untuk menikmati pemandangan. #senyum
Tapi ya itu! Karena Watu Tumpak ini adalah kawasan PINGGIR TEBING YANG RAWAN BIKIN ORANG TERJATUH DAN MATI, jadi ya setiap pengunjung WAJIB BERHATI-HATI!
Di pinggir tebing sudah banyak dipasang papan-papan peringatan agar berhati-hati dan TIDAK BERCANDA di lokasi. Jangan sampai ada kejadian pengunjung yang mati konyol di sini hanya gara-gara bercanda atau lengah saat selfie!
Sekali lagi!
HARAP BERHATI-HATI!
Sama seperti di tebing Sumur Bandung, di kawasan Watu Tumpak ini rupanya juga banyak cekungan-cekungan mirip sumur yang tergenang air.
“Wis, iki jenenge Sumur Cirebonan,” [6] Mbah Gundul menunjuk ke salah satu genangan air.
“Hah? Ngerti seko ngendi Mbah?” [7] tanyaku penasaran.
“Lha, ndik mau kan Sumur Bandung.” [8]
“Haisy...”
[6] Wis, ini namanya Sumur Cirebonan.
[7] Hah? Ngerti dari mana Mbah?
[8] Lha, yang tadi kan Sumur Bandung.
“Sing iki jenenge Sumur Bogor Wis!” [9] Mbah Gundul ganti menunjuk lubang yang ditumbuhi pohon.
“Yo karepmu lah Mbah. Lha emang iki sumur? Ra ono banyune kok!” [10] balasku sinis.
“Kondo sopo? Jajalen mlebu wae!” [11] tantang si Mbah.
“Kapan-kapan wae lah Mbah.”
[9] Yang ini namanya Sumur Bogor Wis.
[10] Ya sesukamu lah Mbah. Lha memang ini sumur? Nggak ada airnya kok!
[11] Katanya siapa? Jajal masuk saja!
Bersama Mbah Gundul, aku melakukan penyisiran di seputar kawasan pinggir tebing Watu Tumpak. Beberapa kali kami melintasi batu-batu yang dipapras untuk membuat jalan demi kenyamanan pengunjung.
“Sayang, terlalu banyak diubah. Sebenarnya nggak perlu sampai seperti ini. Apalagi itu ada umbul-umbulnya segala. Merusak pemandangan!” keluh si Mbah.
Kali ini aku setuju sama ucapan Mbah Gundul. Seharusnya nggak perlu sampai sebegininya merusak batu-batu untuk membuat jalan. Mestinya kan bisa lebih ramah. Misal dengan membangun konstruksi dari kayu. Yah, mungkin bakal memakan biaya lebih. Tapi kan nggak sampai merusak batu yang perlu waktu jutaan tahun untuk bisa berwujud seperti itu.
Di tengah perjalanan menjelajah kawasan Watu Tumpak, Mbah Gundul ngasih tahu aku,
“Nang kono isih ono sumur meneh Wis.” [12]
“Yoh, sisan diparani Mbah!” [13] ajakku.
“Tenan? Panas je!” [14] si Mbah malah jadi ragu-ragu.
“Halah! Sisan iki lho wis tekan kene!” [15]
[12] Di sana masih ada sumur lagi Wis.
[13] Yoh, sekalian dihampiri Mbah.
[14] Yang benar? Panas je.
[15] Halah! Sekalian ini lho sudah sampai sini!
Setelah istirahat ngadem sekian puluh menit di bawah pohon yang agak rindang sambil ngalor-ngidul ngobrolin hidup #as.always, kami pun melanjutkan penjelajahan menuju sumur yang tadi diomongkan Mbah Gundul.
“Nek ini jenenge sumur opo Mbah? Sumur Ciamis?” [16]
[16] Kalau yang ini namanya sumur apa Mbah? Sumur Ciamis?
Aku mencoba berkelakar mengikuti gayanya Mbah Gundul. Tapi, mendadak perhatianku teralihkan ketika melihat ada yang ganjil dengan sumur ini. Aku lihat ada gelembung-gelembung kecil yang muncul ke permukaan.
“Mbah! Kok ono gelembung-gelembunge kae? Ono iwak e po?” [17]
[17] Mbah! Kok ada gelembung-gelembungnya itu? Ada ikannya kah?
“Itu gas yang terperangkap di batu. Bisa mengeluarkan api lho! Jajal yo?”
“Hah? Bisa meledak Mbah?”
“Ya nggak, tapi paling mengeluarkan api sedikit.”
Sayangnya, usaha ilmiahnya Mbah Gundul nggak membuahkan hasil. Mbah Gundul nggak menemukan ranting pohon yang cukup panjang untuk bisa mengorek endapan di dasar sumur tersebut. Endapan itu yang katanya Mbah Gundul bisa menyulut api.
Hal lain yang aku jumpai di dekat sumur ini adalah keberadaan tambang batu. Duh, sepertinya warga sekitar memang hobi menambang batu-batu di wilayah ini. Memang sih, deposit batu-batuan di wilayah ini melimpah-ruah. Tapi, kalau terus-menerus ditambang nanti habis dong batunya? #sedih
Agak jauh dari Watu Tumpak terdapat objek menarik berupa gua kecil bernama Song Kamal. Jaraknya mungkin ada sekitar 2 km lah. Medan jalannya didominasi turunan yang bakal berubah jadi tanjakan sewaktu balik. #hehehe
Aku dan Mbah Gundul sempat berencana menyambangi Song Kamal. Tapi, niat kami hanya bertahan sampai 3/4 perjalanan. Soalnya, Song Kamal ternyata terletak di dasar jurang. Akses jalan menuju ke sana sepertinya lumayan sulit dan menguras tenaga. #hehehe
Apalagi pada waktu itu jam sudah bertengger di pukul setengah 11 siang. Matahari belum begitu terik sih, tapi persediaan air minum sudah habis. Andaikata masih ada bekal air minum aku berani lanjut. Tapi, untuk kali ini, mari mundur! #senyum.lebar
Buat Pembaca yang penasaran seperti apa wujud gua Song Kamal, bisa menyambangi website Tembi berikut ini.
http://tembi.net/jaringan-museum/song-kamal
Perlu diketahui bahwa di sepanjang perjalanan ke Watu Tumpak aku sama sekali nggak berjumpa sama warung. Satu-satunya warung yang aku jumpai letaknya agak jauh dari Watu Tumpak. Tepatnya di pinggir jalan beraspal di Jalur Wonolelo – Piyungan.
Di warung sederhana inilah segelas teh manis hangat benar-benar terasa LUAR BIASA NIKMATNYA! Ini pasti gara-gara bersepeda di bawah terik matahari sambil menahan haus. #senyum.lebar
Bagi Pembaca yang mencari alternatif lokasi bersepeda menanjak selain Patuk yang dekat dengan Jl. Raya Jogja – Wonosari silakan mencoba singgah di Watu Tumpak. Yang penting, harap mempersiapkan bekal karena di sepanjang jalan menuju Watu Tumpak nggak ada warung.
HARAP JAGA KEBERSIHAN DAN SELALU BERHATI-HATI!
Di tengah rencana peruntukan Kecamatan Piyungan sebagai lokasi industri, entah sampai kapan aku bisa menyaksikan pemandangan asri pedesaan Yogyakarta dari atas bukit di pinggir tebing.
Bisa jadi, ketika ladang tebu dan sawah sudah berganti menjadi bangunan pabrik dan ketika batu di bukit sudah habis ditambang, pemandangan indah yang tersaji pada foto-foto di artikel ini tinggal kenangan...
Pembaca juga pernah menikmati pemandangan dari pinggir tebing?
Eh, ceritaku kali ini panjaaang banget ya? Ditulis berhari-hari lho ini! Hahaha. #senyum.lebar
pihak yang di sana. :-(