HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Menguak Masa Lalu UGM di Museum UGM

Jumat, 14 Juli 2017, 05:09 WIB

Sejak kenal sama Komunitas Malam Museum, kegiatan Ngabuburit di Museum adalah acara yang aku tunggu-tunggu. Selain karena bisa nambah pengetahuan tentang museum, ya juga karena dapat makanan buka puasa gratis, hahaha. #senyum.lebar #jujur.banget

 

Tapi ya karena sudah dikasih makan gratis jadi sebagai balas jasanya aku tulis artikel ini sajalah, hehehe. #hehehe

 

 

Letak Museum UGM yang Tersembunyi

Pada Ramadan tahun 1438 Hijriyah (2017), kegiatan Ngabuburit di Museum dilaksanakan di Museum UGM. UGM yang dimaksud ya jelas Universitas Gadjah Mada. Bukan Universitas Gedhe Mbayare. #ups Apalagi Universitas Gaj Ahmada. #eh #hehehe

 

Tapi, sebagai mantan mahasiswa UGM aku malah sama sekali belum pernah masuk ke Museum UGM. Itu karena Museum UGM baru berdiri tahun 2013 yang mana itu berselang 4 tahun setelah aku diwisuda. #senyum.lebar

 

Lokasi Museum UGM sendiri juga boleh dibilang agak tersembunyi. Jangankan dari gedung fakultas MIPA #eh, lha wong dari jalan raya saja nggak kelihatan kok! Walaupun begitu, sebagai orang yang hobinya bersepeda di seputaran kampus UGM, jelas aku tahu lah di mana letaknya Museum UGM. #senyum.lebar #sombong

 


Yang sudah lama lulus dari UGM dan jarang main ke kampus mungkin nggak tahu kalau ada museum ini. #senyum.lebar

 


Dua rumah tua yang terhubung satu menjadi Museum UGM.

 

Museum UGM ini letaknya di Kompleks Perumahan UGM yang lokasinya persis di belakang gedung University Club UGM. Lebih tepatnya, Museum UGM menempati dua rumah dengan nomor rumah D-6 dan D-7.

 

Patokannya kalau mau berkunjung ke Museum UGM ya dari bundaran UGM itu masuk portal ke kawasan boulevard UGM. Setelah itu ikuti jalan luruuus ke utara. Di pertigaan lapangan Grha Sabha Pramana nanti ada bangunan University Club UGM di kanan (timur) jalan. Terus ya cari-cari saja itu rumah yang nomornya D-6 dan D-7. Tanya orang sana ya mungkin ngerti, hehehe. #hehehe

 

Sedangkan untuk jam operasinya, Museum UGM buka setiap hari kerja pada pukul 8 pagi hingga 3 sore. Jadi, untuk hari Sabtu, Minggu, dan hari libur ya Museum UGM libur.

 


Oh iya, pastikan juga pak petugas yang berjaga pas lagi nggak keluar museum. #hehehe

 

Oke! Balik lagi kita ke cerita Ngabuburit di Museum UGM bareng Komunitas Malam Museum pada hari Rabu (14/6/2017) sore.

 

Kalau dari jadwal yang aku terima di WhatsApp, peserta diharapkan ngumpul di Museum UGM pukul setengah 5 sore. Aku sendiri datangnya telat sekian belas menit. Pikirku di sana sudah ramai. Tapi ternyata, personil yang nongol hanya pasangan Erwin sama Samantha dari Komunitas Malam Museum thok!

 

Hadeh… mana ini peserta yang lain?

 

Selang beberapa menit kemudian, satu per satu peserta datang. Selidik punya selidik, sebagian dari mereka kebingungan pas mencari lokasi Museum UGM. Wew!

 

Berdirinya UGM di Masa Awal Kemerdekaan

Tepat pukul 5 sore, kegiatan Ngabuburit di Museum dimulai. Seperti biasa, Erwin bertugas menjadi juru cerita yang menerangkan seluk-beluk Museum UGM.

 


Erwin memberi sambutan selamat datang kepada peserta Ngabuburit di Museum UGM.

 

Memasuki rumah bernomor D-6, Erwin mengajak peserta ke ruangan yang letaknya tepat di samping ruang resepsionis. Aku menyebut ruangan ini sebagai ruangan jejak waktu karena di dinding ruangan tertempel poster-poster sejarah UGM dari tahun ke tahun. #senyum.lebar

 

Sejarah UGM ternyata masih ada sangkut-pautnya dengan sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Mungkin kita sudah tahu kalau pendidikan tinggi di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda melalui sekolah dokter yang bernama STOVIA.

 

Tapi, pendidikan pada zaman Belanda itu masih “pilih kasih” karena hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu seperti bangsawan. Nah, baru ketika masa penjajahan Jepang akses pendidikan tinggi benar-benar terbuka untuk seluruh rakyat.

 

Pada tahun 1946 berdirilah perguruan tinggi bernama Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada di Yogyakarta. Kenapa didirikan di Yogyakarta? Itu karena pada tahun 1946 ibu kota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Jakarta pada waktu itu dianggap rawan karena sudah diduduki pasukan NICA (Belanda).

 


Para peserta (yang didominasi wanita #hehehe) menyimak cerita Erwin tentang UGM di masa lampau.

 

Dalam perjalanannya, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada turut merangkul sejumlah perguruan tinggi di sekitar Yogyakarta yang nggak beroperasi. Itu karena pada tahun 1946 hingga 1949 Indonesia sering terlibat adu senjata dengan Belanda. Peristiwa agresi militer adalah salah satunya.

 

Karena dalam kondisi perang, otomatis ya sulit ada kegiatan belajar mengajar toh? Di Yogyakarta, sebagian besar pelajar malah ikut perang. Itu sebabnya di Yogyakarta ada jalan yang bernama Jalan Tentara Pelajar. #senyum

 

Tahun 1949 situasi di Indonesia berangsur-angsur membaik. Akhirnya, pada tanggal 19 Desember 1949, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada ditetapkan oleh Presiden Soekarno menjadi Universitas Gadjah Mada. Sesuai ejaan Belanda, pada waktu itu UGM disebutnya Universitit Gadjah Mada.

 

Sewaktu Kampus UGM Masih di Keraton

Pada tahun 1949, UGM ya belum berwujud seperti sekarang. Jumlah fakultasnya baru 6 yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Hukum, serta Fakultas Sastra dan Filsafat. Mahasiswanya sudah berasal dari berbagai tempat di nusantara. Dosen-dosennya sebagian masih orang Belanda.

 

Lokasi kampus UGM dulu itu juga bukan di Bulaksumur, melainkan di Keraton Yogyakarta. Tempat-tempat di lingkungan Keraton seperti Balai Siti Hinggil, Pagelaran, dan Ndalem Wijilan pernah digunakan sebagai ruang kuliah dengan cara disekat-sekat. Adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berjasa meminjamkan Keraton secara gratis kepada UGM.  

 

Pada tahun 1951 kampus UGM di Bulaksumur mulai dibangun. Pelan-pelan kegiatan perkuliahan dipindah ke Bulaksumur. Sampai sekitar tahun 1970 Keraton Yogyakarta masih dipergunakan sebagai kampus UGM.

 


Suasana saat kampus UGM masih di lingkungan Keraton Yogyakarta.

 

Keberadaan kampus UGM tentu juga nggak lepas dengan kehidupan mahasiswa. Sama seperti sekarang, mahasiswa UGM zaman kuliah di Keraton itu ya juga ngekos. Umumnya mahasiswa ngekos di rumah para abdi dalem Keraton. Kos-kosannya nggak selalu dibayar dengan uang. Bisa hasil bumi atau dengan bekerja membantu abdi dalem.

 

Salah satu dampak keberadaan mahasiswa di sekitar lingkungan Keraton adalah munculnya bioskop. Selain Pasar Malam Sekaten, bioskop adalah hiburan favorit mahasiswa.

 

Ada banyak bioskop yang berdiri di sekitar Keraton seperti Bioskop Indra (seberang Pasar Beringharjo), Bioskop Soboharsono (Jogja Galeri), dan Bioskop Widya (restoran Jl. Ibu Ruswo). Sayangnya, saat ini bioskop-bioskop lawas tersebut sudah lenyap. #sedih

 


Bioskop Soboharsono saat masih berdiri di sisi utara alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Foto dipinjam dari @CinemaPoetica

 

Bioskop pada waktu itu juga masih sederhana. Kursi-kursi penontonnya sering jadi sarang kutu. Alhasil, setiap yang habis pulang nonton di bioskop hampir selalu dioleh-olehi kutu. #senyum.lebar

 

Tiket bioskop pada waktu itu “hanya” seharga Rp3 per orang. Ada juga tiket “kelas kambing” seharga Rp1 per orang. Disebut kelas kambing karena penontonnya nonton tanpa kursi di depan layar bioskop seperti kambing. Bahkan kalau kebelet kencing mereka ya kencing saja di depan layar gitu. Kan gelap nggak ketahuan, hehehe. #hehehe #nggak.bener

 


Mahasiswa Fakultas Sastra UGM zaman dulu berpose dalam foto memakai busana kebaya dan jas.

 

Gaya berbusana mahasiswa UGM pada zaman itu juga menarik untuk disinggung. Mahasiswa cowok umumnya memakai kemeja safari yang dimasukkan dan celana panjang kain. Sedangkan mahasiswa cewek umumnya memakai long dress selutut dengan ikat pinggang, tas selempang serta rambut yang dikepang. Umumnya, kalau rambutnya dikepang 2 itu tandanya anak sosial, sedangkan kalau kepangnya 1 itu tandanya anak MIPA, hehehe. #hehehe

 

Gaya busana mahasiswa UGM baru berubah memakai celana jin saat booming film Cintaku di Kampus Biru. Para mahasiswa mulai mencontek gaya pakaian si tokoh utama bernama Anton yang diperankan aktor Roy Marten.

 

Tokoh-Tokoh di Awal UGM Berdiri

Selesai menceritakan kisah mahasiswa UGM di masa lampau, Erwin kemudian mengajak peserta memasuki ruangan yang terhubung dengan ruangan jejak waktu. Ruangan ini merupakan replika ruang kerja rektor UGM yang pertama yaitu Prof. Dr. M. Sardjito.

 

Saat ini sebagian besar orang mungkin lebih akrab dengan rumah sakit Dr. Sardjito yang terletak di seberang Fakultas Kedokteran UGM. #senyum

 


Erwin menerangkan sosok Prof. Dr. M. Sardjito di replika ruang kerja beliau.

 


Erwin menjelaskan kiprah Ki Hadjar Dewantara terhadap UGM.

 

Ternyata, berdirinya UGM juga nggak lepas dari peran tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1946 saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada hendak dibentuk, Ki Hadjar Dewantara bertugas sebagai Ketua Panitia sekaligus ketua badan pekerja yang menyiapkan konsepnya.

 

Tentang Gedung Pusat UGM

Bersebelahan dengan ruangan Ki Hadjar Dewantara terdapat ruangan Gedung Pusat. Di ruangan ini terdapat poster besar yang menerangkan filosofi Gedung Pusat UGM.

 

Perlu diketahui bahwa Gedung Pusat UGM adalah gedung kuliah pertama yang dibangun oleh pemerintah di era kemerdekaan. Pembangunan Gedung Pusat UGM kala itu menelan biaya Rp15 juta. Gedung Pusat UGM ternyata juga dirancang oleh Presiden Soekarno.

 


Erwin menerangkan filosofi Gedung Pusat UGM.

 

Gedung Pusat UGM ternyata juga nggak menghadap ke satu sisi, melainkan menghadap ke dua sisi yaitu utara dan selatan. Ke utara karena ada Gunung Merapi. Sedangkan ke selatan karena ada Keraton Yogyakarta.

 

Ikon Gedung Pusat UGM yang paling terkenal boleh jadi adalah tujuh pohon cemara yang tumbuh berderet di sisi sebelah selatan. Pohon-pohon cemara ini dikenal sebagai Sapta Resi yang bermakna tujuh (sapta) tokoh yang memberikan pencerahan (resi).

 


Beberapa gambar rancangan Gedung Pusat UGM yang dibuat oleh Presiden Soekarno.

 

Walaupun saat ini di UGM berdiri banyak gedung baru, akan tetapi banyak orang yang berpendapat bahwa UGM mulai kehilangan ruhnya. Hal tersebut salah satunya tercermin dari bentuk gedung yang didesain modern yang kurang pas dengan imej gedung UGM secara keseluruhan. Misalnya gedung Pertamina di FEB UGM.

 

Cerita Kelam Museum UGM

Nggak terasa azan Magrib sudah berkumandang. Waktu berbuka puasa sudah tiba. Erwin pun mengajak para peserta ke bagian belakang Museum UGM untuk menyantap nasi boks yang dibagikan. #nyam

 

Selesai berbuka puasa, kegiatan Ngabuburit di Museum masih berlanjut sedikiiit lagi.

 


Buka puasa dulu sebelum lanjut jalan-jalan lagi. #senyum

 

Erwin mengajak para peserta berpindah dari rumah bernomor D-6 ke D-7. Seperti yang sudah aku singgung di paragraf atas tadi, Museum UGM menempati dua rumah yang saling terhubung di bagian belakangnya.

 

Salah satu tempat yang menurutku menarik di rumah D-7 adalah kamar yang dahulu dihuni oleh Prof. Dr. Iman Soetiknjo. Beliau ini merupakan dosen di Fakultas Pertanian UGM yang dahulunya merupakan lulusan Fakultas Sospol UGM.

 

Unik toh lulusan sospol bisa ngajar di pertanian? #senyum.lebar

 


Tampak luar rumah bernomor D-7 yang juga difungsikan jadi Museum UGM.

 


Replika kamar Prof. Dr. Iman Soetiknjo.

 

Yang menjadi unik lagi adalah Pak Iman Soetiknjo ini merupakan pakdhe (paman tua) tirinya Barrack Obama yang notabene adalah presiden Amerika Serikat ke-44 itu. Barrack Obama kan semasa kecilnya dahulu pernah tinggal di Indonesia toh? Nah, beberapa kali Barrack Obama itu sempat liburan ke Yogyakarta dan tinggal di rumah D-7 ini.

 

Ranjang yang ada di kamar Pak Iman Soetiknjo ini katanya sih pernah jadi tempat tidurnya Obama kecil. Tapi ya… yang kayak begitu itu penting nggak sih!? #hehehe

 


Ruangan utama di rumah D-7 tempat menyimpan koleksi penemuan warga akademik UGM.

 

Rumah bernomor D-7 ini memiliki satu ruangan besar yang disebut sebagai ruang penemuan. Di sinilah tersimpan penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh warga akademik UGM.

 

Di ruangan ini Erwin menceritakan sekelumit kisah kelam Museum UGM. Salah satunya adalah banyak benda penemuan yang disimpan di rumah D-7 yang dibawa pergi oleh pemiliknya. Misalnya saja Gameltron atau Gamelan Elektronik. Erwin bilang beberapa minggu yang lalu benda tersebut masih ada namun kini sudah menghilang.

 

Semoga saja memang dibawa pergi pemiliknya dan bukan digondol maling. #hehehe

 


Display Gameltron yang kosong melompong.

 

Boleh dibilang saat ini kondisi Museum UGM memang memprihatinkan. Pengelolaannya pun simpang-siur. Kata Erwin saat ini pengelolaan Museum UGM berada di bawah Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya. Tapi, sampai sekarang surat keputusan (SK) dari Rektor belum turun. #sedih

 

Rumah Nomor D-7 itu Terasa "Berbeda"

Menutup cerita Ngabuburit di Museum UGM, aku… sebenarnya masih punya hal yang mau diceritakan, hahaha. #senyum.lebar

 

Terus terang pas masuk ke rumah D-7 itu aku mulai merasa ada yang “nggak enak”. Ya bukan perasaan takut sih, melainkan perasaan seperti “di sini ada sesuatu yang bikin nggak nyaman.”

 

Kalau dibandingkan sama rumah D-6, rumah D-7 ini memang kesannya lebih suram. Mungkin karena pencahayaannya lebih minim dari rumah D-6 atau mungkin karena jarang dijamah manusia? Karena kamar jaga petugas museum itu tempatnya di rumah D-6.

 


Selasar belakang rumah yang menghubungkan rumah D-6 dan D-7. Di sini sudah agak merinding.

 

Alhasil, sewaktu di rumah D-7 ini aku beberapa kali merinding hebat sampai ke kepala. Entah itu pas mendengarkan Erwin bercerita. Entah itu pas motret.

 

Aku sih berusaha berpikir positif kalau aku merinding bukan karena yang “aneh-aneh”. Karena jelas-jelas di situ kan banyak orang. Ngapain juga aku takut?

 

Alhamdulillah, setelah keluar dari rumah D-7 aku nggak lagi merinding. Tapi, keesokan harinya badanku nge-drop dan pegel-pegel. Mbuh ngopo penyebabnya. Apa karena “kecapekan” karena habis merinding hebat itu ya? Hahaha. #senyum.lebar

 

Ya, mungkin teman-teman yang bisa “merasakan” sudi berkenan mampir ke Museum UGM ke rumah nomor D-7 untuk “memverifikasi” apa yang aku rasakan.

 

 

Jadi, sekian dulu cerita tentang UGM di Museum UGM. Semoga ke depannya Museum UGM berbenah menjadi lebih baik lagi. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI