Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Ceritanya, pada hari Rabu (25/5/2016) silam, aku sama Mbah Gundul bersepeda menuju tempat bernama Watu Tumpak yang berada di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Dalam perjalanan menuju Watu Tumpak, aku sempat diajak Mbah Gundul buat nilik spot pinggir tebing yang batunya mirip kepala. Di sana kami berhenti lumayan lama buat menikmati pemandangan alam, foto-foto, sekaligus istirahat nanjak. #hehehe
Cerita lebih lengkapnya silakan disimak pada artikel di bawah ini ya! #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Jam menunjukkan pukul 8 pagi lebih 10 menit. Perjalanan ke Watu Tumpak pun berlanjut. Jalannya tetap mengikuti jalan tanah dari pertigaan ke arah tebing yang batunya mirip kepala itu. Secara garis besar sih bersepeda menyusuri pinggir tebing.
Di awal ban sepeda menggelinding di tanah, Mbah Gundul sudah ngasih peringatan,
“Siap-siap, habis ini nanjak lagi!”
Duh! Nanjak Mbah!?
Nasib... nasib...
Untungnya medan tanjakan kali ini nggak securam-semenguras tenaga seperti pada awal perjalanan. Aku sih yakin bisa melewati ini sambil tetap menunggang Selita tanpa perlu berhenti atau menuntun.
Tapi, pas sedang konsentrasi menanjak, Mbah Gundul yang posisinya selalu di depanku itu tiba-tiba berseru.
“Wis, kae ono Watu Tumpang!” [1]
“Hah? Watu Tumpang opo meneh Mbah? Ngendi?” [2] aku jadi kehilangan konsentrasi.
[1] Wis, itu ada Watu Tumpang!
[2] Hah? Watu Tumpang apa lagi Mbah? Mana?
Mbah Gundul sama sekali nggak menggubris pertanyaanku. Dirinya tetap lanjut bersepeda. Aku yang kebingungan sekaligus penasaran ditinggalkannya di tengah tanjakan.
Haisy! Gagal sudah usaha bersepeda nanjak tanpa berhenti! #hehehe
Didorong rasa penasaran, aku pun mengalihkan pandangan ke rimbunnya semak-semak. Sejurus kemudian, aku lihat ada penampakan batu seperti foto di atas itu.
Hooo, jadi ini toh yang mungkin disebut Mbah Gundul sebagai Watu Tumpang. Jadi, ada dua batu besar yang saling menumpuk. Ini jelas fenomena alam yang entah gimana aku kurang ngerti prosesnya. Apa mungkin batu-batu unik seperti ini juga dikeramatkan oleh penduduk setempat ya?
Ah mbuh lah...
Puncak dari tanjakan yang nggak begitu panjang ini adalah bak penampungan air yang kali ini berukuran cukup besar. Sepertinya warga setempat mengandalkan bak penampungan air ini untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.
Semoga saja debit air di tampungan ini nggak surut di musim kemarau ya! Aamiin...
Aku kira selepas bak penampungan air ini jalannya sudah rata. Eh, ternyata masih nanjak! Haduw! Haduw! #nasib
Jadi ya dengan sangat berat hati sesekali sepeda terpaksa aku tuntun deh, hahaha. #senyum.lebar
Mbah Gundul sendiri sih seperti biasa. Dirinya nggak pernah sekalipun menuntun sepeda. Sepertinya, hanya Tanjakan Petir-lah satu-satunya tanjakan yang bisa bikin Mbah Gundul menuntun sepeda. #senyum.lebar
Di tengah perjalanan bersepeda nanjak ini, Mbah Gundul melontarkan ajakan,
“Sik Wis, mampir sediluk nang Sumur Bandung!” [3]
[3] Sebentar Wis, mampir sebentar ke Sumur Bandung!
Ajakan dadakan Mbah Gundul itu bikin aku semangat. Dalam bayanganku, Sumur Bandung itu berwujud tempat di mana ada air yang bisa bikin segar badan yang keletihan usai melibas rentetan tanjakan.
Tapi peduli amat deh, mau mata air keramat atau nggak! Kan Mbah Gundul biasa mengajak mampir ke mata air keramat. #hehehe
“Mbah, itu Sumur Bandungnya?” tanyaku sambil menunjuk bilik bangunan putih yang ada di pinggir tebing.
“Udu kae! Rene o!” [4] jawab Mbah Gundul sambil memberhentikan sepedanya.
[4] Bukan itu! Sini!
Duh! Perasaanku kembali nggak enak! Sebab, Mbah Gundul mengajak aku buat mengusung sepeda menyusuri pinggir tebing. Apa jangan-jangan Sumur Bandung letaknya ada di pinggir tebing berbataskan jurang seperti di tebing yang batunya mirip kepala barusan?
Waduh! Kalau iya, uji nyali sekali berarti! #cemas
Sambil menuntun sepeda, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi semak-semak. Mbah Gundul sebagai manusia yang tahu arah jelas berada di depan. Selang beberapa saat, si Mbah menghampiri sebatang pohon kurus dan menyeru,
“Rene! Pit e diparkir nang kene wae!” [5]
[5] Sini! Sepedanya diparkir di sini saja!
Aku pun nurut omongannya si Mbah. Selita aku parkir berjejer dengan sepeda si Mbah (nggak tau nama sepedanya si Mbah #hehehe). Nggak lupa, dua sepeda itu aku amankan dengan rantai yang dikunci.
Tapi aku malah jadi bingung. Lha di mana Sumur Bandungnya? Di sekitar lokasi sepeda kami diparkir itu semak-semak. Sama sekali nggak ada tanda-tanda mata air. Hmmm, apa Sumur Bandung-nya itu tersembunyi di dalam semak-semak ya?
Mbah Gundul menghampiri tebing yang nggak jauh dari tempat sepeda diparkir dan berkata,
“Ayo manjat! Hati-hati ya!”
HAH? Manjat tebing!? Ya Gusti Allah... petualangan ekstrim macam apalagi di pagi hari ini...
Ternyata, tebing yang tingginya kira-kira sekitar 4 meter itu memiliki ceruk-ceruk yang bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dan pijakan. Sepertinya banyak orang yang juga sering mendaki tebing ini. Makanya dibuatkan ceruk-ceruk.
Walaupun di tebing sudah ada ceruk-ceruk yang memudahkan aksi memanjat, ya tetap perlu berhati-hati lho!
Di atas tebing Mbah Gundul menunjuk ke salah satu tempat,
“Kae lho Sumur Bandung e!” [6]
[6] Itu lho Sumur Bandungnya!
Si Mbah kemudian berjalan mendekat ke lubang di pinggir tebing. Sepintas, lubang yang terbentuk di batuan beku ini memang mirip sumur. Diameternya kira-kira 2 meter. Sedangkan kedalamannya... aku belum ngecek. #hehehe
Mbah Gundul berpendapat kalau lubang ini buatan manusia. Sedangkan aku memilih jalan tengah. Bisa jadi awalnya terbentuk secara alami kemudian dibentuk ulang oleh manusia.
Mbuh, yang sebenarnya gimana, hahaha. #senyum.lebar
Hanya berjarak beberapa langkah dari Sumur Bandung pertama ada Sumur Bandung kedua. Sumur Bandung kedua ini ukurannya agak lebih besar.
Kedua Sumur Bandung sama-sama menampung air yang berwarna kehijauan. Itu karena batuan sumur ditumbuhi lumut. Airnya sendiri berasal dari limpahan air hujan. Sebab, batuan beku seperti ini jelas nggak bisa mengeluarkan sumber mata air toh?
Bila diperhatikan, ada pipa pralon yang terhubung ke kedua Sumur Bandung. Aku menduga, air dari Sumur Bandung dialirkan ke bangunan putih yang fotonya aku pajang di paragraf atas itu.
Selain pipa pralon, terlihat juga ceruk berbentuk memanjang yang sekilas mirip saluran air. Bisa jadi, di masa silam air mengalir dari Sumur Bandung melalui ceruk tersebut.
Di dekat Sumur Bandung aku juga melihat ada objek menarik berupa lubang-lubang kecil. Sepintas mirip lubang yang biasa digunakan untuk menancapkan tiang kayu. Mirip-mirip umpak gitu lah.
Kalau menurutku, lubang-lubang kecil Ini sengaja dibuat oleh manusia. Mungkin dibuatnya pada masa lampau. Bisa saja dahulunya Sumur Bandung ini dinaungi oleh semacam bangunan atau atap yang tiang-tiangnya ditempatkan di lubang-lubang kecil tersebut.
Masuk akal toh? #senyum.lebar
Tentang kenapa sumur-sumur ini disebut sebagai Sumur Bandung, aku sih menduga terpengaruh sama kisahnya Bandung Bondowoso. Kan Bandung Bondowoso itu terkenal karena membangun ribuan candi dalam sehari semalam (kisah Roro Jonggrang) toh?
Nah, bisa jadi Sumur Bandung ini diberi nama demikian karena diduga dibuat dalam sehari semalam. Ya ujug-ujug jadi dan ada gitu lah. Jadinya pantas toh diberi nama Sumur Bandung, hahaha. #senyum.lebar #teori.ngawur
Eh, omong-omong ini kapan sampainya ke Watu Tumpak ya kalau sama si Mbah Gundul diajak mampir-mampir terus.... #hehehe
Btw .... kenapa ada banyak sumur dinamakan sumur Bandung ya .... Garuk2Kepala
Kayaknya sih memang bikinan manusia.
Terus selendangnya tinggal dicuri. :D imajinasikuu
peradaban Dunia, wkwkkw