HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Etape Terakhir Menuju Curug Bangunsari Semin

Kamis, 1 Juni 2017, 17:47 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Nama desanya Jatiayu. Besar kemungkinan berasal dari kata jati dan ayu. Jati ya pohon jati (Tectona grandis). Sementara ayu ya ayu.

 

Jadi maksudnya, di Desa Jatiayu ada pohon jati yang ayu?

 

 

Nggg, gimana ya? Aku sih kurang tahu perkara itu #hehehe. Tapi yang jelas, di plakat monumen Desa Jatiayu hanya tertulis catatan sejarah berupa,

 

“Di tempat ini dahulu kala tumbuh pohon jati yang kemudian disebut Jatiayu di mana bertempat tinggal leluhur trah Jatiayu.”

 


Seperti apa yang tertera di plakat Monumen Jatiayu. #senyum

 

Hoooooo!

 

Jadi, berdasarkan fantasi liarku #hehehe, Monumen Jatiayu (yang fotonya di bawah ini) dahulunya adalah pemukiman pionir trah Jatiayu. Seiring dengan berlalunya waktu, member trah Jatiayu menjadi semakin banyak. Kemudian jadilah suatu desa yang disebut Desa Jatiayu yang mana masuk wilayah Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.

 

 

Terus, apa hubungannya seorang Wijna dengan trah Jatiayu?

 

...

 

Ya... NGGAK ADA sih! Hehehe. #hehehe

 


Kelihatannya sih seram tapi letak monumen ini ada di pinggir jalan raya. #senyum.lebar

 

Monumen Jatiayu di atas itu hanyalah satu dari sekian banyak titik istirahat (resting point) pas aku bersepeda ke Curug Bangunsari pada hari Rabu (6/4/2016) silam. Biasalah, senenganku kan berhenti istirahat bersepeda di tempat-tempat “unik”. #hehehe

 

Yang disebut dengan Curug Bangunsari sendiri adalah suatu air terjun yang terletak di Dusun Bangunsari, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Jaraknya dari Kota Jogja ya sekitar 60-an kilometer lah.

 

Jauh ya? #senyum.lebar

 

Bersepeda pula aku ke sininya. #hehehe

 

Sejauh ini dari Kota Jogja sampai Semin

Secara garis besar rute bersepeda yang aku pakai menuju Curug Bangunsari adalah:
Kota Jogja → Jalan Raya Wonosari → Patuk → Karangmojo → Semin → Desa Candirejo.

 

Berikut adalah poin-poin rangkuman perjalanan bersepedaku sampai menjelang tengah hari ini menuju Curug Bangunsari.

 

1. Berangkat dari Kota Jogja sekitar pukul setengah 6 pagi.

2. Tiba di puncak tanjakan Patuk pukul 7 pagi.

3. Tiba di pertigaan arah ke Karangmojo pukul 8 pagi.

4. Tiba di objek wisata Gua Pindul sekitar pukul 9 pagi.

5. Istirahat lumayan lama di Situs Penampungan Sokoliman sampai pukul 10 siang.

 

Cerita sepanjang perjalanan dalam senarai di atas itu bisa Pembaca simak lagi pada artikel di bawah. #senyum

 

 

 

Nah, kembali lagi kita ke Monumen Jatiayu.

 

Jam menunjukkan pukul 10 siang lebih 15 menit. Kalau dari Google Maps sih jarak dari Monumen Jatiayu ke Desa Candirejo tinggal sekitar 15 kilometer lagi. Yah... semoga saja jalannya nggak nanjak. #berdoa #senyum.lebar

 

Tanpa membuang banyak waktu aku pun kembali mengayuh Trek-Lala menyusuri jalan raya yang menghubungkan Karangmojo dengan Semin. Terus terang ini bukan yang pertama kalinya aku lewat sini. Tapi ya meskipun begitu aku agak lupa-lupa sama kondisi jalannya. #hehehe

 

Alhamdulillah, ternyata kondisi jalan raya yang menghubungkan Karangmojo dengan Semin ini bisa dibilang tanpa tanjakan. Apalagi di kanan-kiri jalan lumayan rapat dengan pepohonan rindang. Jadi, bersepeda lewat sini bisa dibilang no worry lah, hehehe. #hehehe

 


Suasana di ruas Jalan Raya Karangmojo – Semin.

 

Menjelang pukul 11 siang, Alhamdulillah, sampailah aku dengan selamat di depan Kantor Kecamatan Semin. Selanjutnya, tinggal menuntaskan etape terakhir menuju Desa Candirejo tempat di mana Curug Bangunsari berada.

 

Tapi, aku nggak buru-buru melanjutkan perjalanan lho! Di sekitar Pasar Semin aku sempat istirahat ngadem di Alfamart (enaaak AC dingin!), sarapan mie ayam (yes Pembaca! baru sempat sarapan sekarang! #senyum.lebar), dan menunaikan salat duha yang kesiangan. #hehehe

 


Wuih! Trek-Lala bisa sampai Semin juga! #senyum.lebar

 


Di sekitar Pasar Semin banyak yang jual makan. #senyum.lebar

 

Diberi Nama Candirejo Karena Ada Candinya

Saat matahari mulai memposisikan diri atas ubun-ubun, barulah aku lanjut bersepeda menuju Desa Candirejo. Menurut angka di patok kilometer, 3 kilometer lagi sudah sampai Desa Candirejo. Dekat juga ternyata.

 

Sesuai nama yang bisa ditebak-tebak, Candirejo berasal dari kata candi dan rejo. Candi ya candi. Rejo artinya ramai. Jadi, Candirejo artinya candi yang ramai? Hahaha. #senyum.lebar

 

Yang jelas, menurut pengamatanku selama ini tempat-tempat di Yogyakarta yang namanya memuat kata candi hampir selalu memiliki benda yang ada hubungannya dengan candi. Besar kemungkinan, Desa Candirejo dinamai demikian karena di sana ada Candi Risan.

 


Untuk menuju ke Desa Candirejo bisa dengan mengikuti papan arah ini. #senyum

 

Ingatanku pun terbang kembali ke tahun 2009 silam di saat aku bersama Andreas masih getol-getolnya keluyuran keliling Yogyakarta mencari batu-batu candi. Candi Risan termasuk di antara situs purbakala yang kami sambangi.

 

Pada waktu itu perjalanan ke Candi Risan dengan naik sepeda motor rasanya jauh bukan main! Eeeeh... kok ya malah pada tahun 2016 bisa-bisanya aku bersepeda sampai Candi Risan? Hahaha. #senyum.lebar

 

Senang rasanya melihat Candi Risan yang nggak berubah setelah sekian tahun berlalu. Harapanku sih semoga Candi Risan tetap lestari agar bisa disaksikan oleh generasi anak cucu kelak. Salah satu bukti bahwa ada candi di Gunungkidul.

 


Candi Risan Semin yang masih seperti dahulu kala.

 


Si arca juga masih setia menyambut pengunjung. (eh katanya ini hanya replika ya?)

 

Sampai di Curug Bangunsari

Nggak begitu jauh dari Candi Risan aku melihat ada gapura batas provinsi DI Yogyakarta – Jawa Tengah yang pada waktu itu sedang dalam proses pembangunan.

 

Yups! Tinggal geser kaki, sudah pindah itu dari Gunungkidul ke Sukoharjo. #senyum.lebar

 

 Eh, tapi... terus Curug Bangunsarinya ada di mana!?

 


Ketika Yogyakarta dan Jawa Tengah hanya berbeda langkah.

 

Nah, di dekat gapura batas provinsi itu ada cabang jalan desa yang mengarah ke Curug Bangunsari. Aku pada waktu itu nggak pakai acara nanya-nanya orang karena di cabang jalan itu ada spanduk arah ke Curug Bangunsari.

 

Begitu mendekati kawasan Curug Bangunsari medan jalan yang semula jalan aspal berubah menjadi jalan setapak masuk-masuk hutan. Sepeda sih bisa (dipaksa #hehehe) lewat. Tapi, kalau kendaraan bermotor sulit.

 

Aku mengamati di beberapa tempat terlihat tulisan tempat parkir. Tapi pas waktu itu sepi. Nggak ada pos tiket masuk juga. Sepertinya pengelolaan wisata Curug Bangunsari ini masih dalam tahap pengembangan.

 


Jalan masuk-masuk hutan menuju Curug Bangunsari.

 


Di tanah lapang sebelum Curug Bangunsari ini banyak warung.

 

Setelah menelusuri jalan hutan yang lama-lama sulit dilalui pakai sepeda tibalah aku di suatu tanah lapang yang lumayan luas. Di sana terlihat banyak warung bertenda. Hooo, boleh juga ini jadi tempat buat ngisi perut darurat. #senyum.lebar

 

Dari sana tinggal menyusuri sungai nanti ketemu deh sama Curug Bangunsari. Sejauh ini sepeda aku bawa terus sampai ke dekat curug. Awalnya sih mau aku parkir di salah satu pohon dekat warung. Tapi kata si ibu warung sepedanya bisa dibawa ke dekat curug. Walaupun ternyata jalan menuju ke curug nggak sepedawi, hahaha. #senyum.lebar

 

Sekitar pukul setengah 1 siang, sampai juga di Curug Bangunsari setelah bersepeda 60-an km dari Kota Jogja. Alhamdulillah. #senyum.lebar

 


Teori utama menemukan lokasi curug adalah menyusuri sungai ke arah hulu. #senyum.lebar

 


Sekali-kali Trek-Lala pose berlatar air terjun. #senyum.lebar

 


Curug Bangunsari ramai dengan anak-anak muda yang hobi mendaki curug. #senyum

 

Suasana di Curug Bangunsari pada siang hari itu lumayan ramai. Barangkali karena hari Rabu itu kan bertepatan sama hari terakhir UN SMA. Jadinya anak-anak SMA kelas X, XI, dan XII nggak ada kerjaan siang-siang toh? #senyum.lebar

 

Sayangnya, menurut pengamatanku Curug Bangunsari pada waktu itu agak kurang fotogenik. Airnya kurang begitu deras. Mungkin karena ya sudah beberapa hari ini Yogyakarta nggak diguyur hujan.

 

Tetanaman di sekitar curug pun nggak begitu asri. Terkesan gersang karena didominasi oleh batu-batu gamping. Singkat kata, menurutku Curug Bangunsari kurang bisa memanjakan mata. #sedih

 


Pikirku aliran airnya memenuhi tebing. Mau pindah motret dari dekat tebing tapi ada yang lagi mojok. #hehehe

 


Di puncak Curug Bangunsari ada curug kecil ini.

 

Sebagai tempat untuk main air Curug Bangunsari menurutku ya kurang cocok. Kedung yang ada terbilang sempit dan kurang dalam. Air yang tertampung pun berwarna cokelat. Jadi males gitu kan ya buat berbasah ria? #sedih

 

Yang lebih disayangkan dan bikin sedih adalah SAMPAHNYA BUANYAK! Jadi ya terpaksalah aku menggelar aksi memungut sampah. Sepengamatanku di sekitar sana ya nggak ada tempat sampah sih. Tapi, masak itu jadi alasan orang-orang buat buang sampah sembarangan?

 

Ah, payah...

 


Oleh-oleh dari Curug Bangunsari. #hehehe

 

Perjalanan Pulang Masih Jauh

Mengingat rumah tercinta jaraknya masih sekitar 60-an kilometer, aku pun segera bertolak dari Curug Bangunsari seusai menuntaskan acara memungut sampah. Perjalanan pulang masih jauh je!

 

Di perjalanan meninggalkan lokasi curug, aku sempat mengamati ada spanduk yang mencantumkan lokasi wisata di seputar Desa Candirejo. Ternyata di Desa Candirejo banyak tempat menarik lho! #senyum.lebar

 


Weh! Di Desa Candirejo ternyata ada dua curug! Ada telaganya juga!

 

Untuk rute pulang ke Kota Jogja aku bimbang antara lewat Sukoharjo atau balik arah Wonosari. Kalau menurut bapak-bapak warga dan ibu warung katanya sih ada jalan dari Semin ke Nglipar. Tapi aku ya jelas males kalau jalan baliknya mesti nanjak-nanjak lagi. Mana sudah siang panas pula!

 

Jadi, setelah serangkaian diskusi panjang dan pertimbangan singkat #lho akhirnya aku memilih jalan pulang lewat Sukoharjo. Itu karena jalan pulang yang lewat Sukoharjo jelas nggak nanjak dan ya ujung-ujungnya tembus ke Jalan Raya Yogyakarta – Solo.

 

Hanya saja yang bikin aku malas lewat Sukoharjo itu karena nanti pasti melintasi jalan di Kabupaten Klaten (Bayat, Wedi, Gantiwarno) yang pemandangannya membosankan karena kebanyakan sawah! Hahaha. #senyum.lebar

 


Jalan pematang sawah yang tembusnya di Kecamatan Weru, Sukoharjo.

 


Bersepeda ke mana-mana senantiasa ingat akan tujuan akhir perjalanan manusia. #senyum

 

Waktu menunjukkan pukul setengah 2 siang. Dari Kecamatan Semin di Kabupaten Gunungkidul aku pindah ke Kecamatan Weru di Kabupaten Sukoharjo. Aku ngebut mengayuh Trek-Lala menyusuri Jl. Raya Cawas – Weru yang menghubungkan Sukoharjo dengan Klaten.

 

Di sepanjang perjalanan aku jarang berhenti. Hanya empat kali aku berhenti. Dua kali di masjid untuk menunaikan salat zuhur dan asar. Dua kali  di warung kelontong untuk menyetok perbekalan.

 


Bersepeda ke mana-mana harus tetap ingat sama Gusti Allah SWT. #senyum

 


Mendung menggelayut di perbatasan Yogyakarta – Jawa Tengah seputar Gedangsari – Bayat.

 

Memasuki Kecamatan Bayat di Klaten, Trek-Lala aku kayuh semakin kencang. Sebabnya, awan mendung sudah mengintai di langit. Ditambah lagi terpaan angin kencang yang membawa aroma hujan semakin menguatkan pertanda bahwa hujan nggak lama lagi bakal turun.

 

Bener saja! Di tengah Jl. Sunan Pandanaran hujan deras mendadak turun! Untung di dekat sana ada warung angkringan yang tutup. Jadilah aku berteduh menunggu hujan reda di sana selama hampir satu jam. #lupa.nggak.bawa.mantel

 


Ah, coba angkringannya buka, kan bisa nunggu hujan sambil ngemil. #hehehe

 


Alhamdulillah! Sampai juga di Prambanan! #senyum.lebar

 

Setelah hujan deras berubah menjadi gerimis aku lanjut bersepeda menyusuri Jl. Sunan Pandanaran dan tembus di Jl. Raya Yogyakarta – Solo. Aku sampai di gapura batas provinsi Yogyakarta – Jawa Tengah dekat Candi Prambanan pukul 5 sore lebih sedikit. Selanjutnya tinggal bersepeda pulang ke rumah deh. #senyum.lebar

 

Selesai sudah agenda bersepeda pada hari Rabu yang kurang cocok disebut PEKOK ini, hahaha. #senyum.lebar

 


Hasil tracking Endomondo yang terputus pas salat asar. #sedih

 


Lanjutan hasil tracking Endomondo setelah salat asar.

 

Untuk Pembaca yang berniat ke Curug Bangunsari ada baiknya menunggu puncak musim hujan supaya airnya lebih deras. Sebagaimana halnya curug-curug lain di Gunungkidul, pas musim kemarau Curug Bangunsari ya kering.

 

Sedangkan untuk rutenya bisa melalui Jl. Raya Wonosari (via Gunungkidul) bisa juga melalui Jl. Raya Yogyakarta – Solo (via Sukoharjo). Tanjakannya jelas lebih sedikit kalau lewat Sukoharjo (dan rasanya lebih cepat juga).

 

Akhir kata, ditunggu lho kunjungannya di Desa Candirejo! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI