Pagi itu, sarapan nasi penggel di lapaknya Pak Melan berakhir dengan perut tuwuk alias wareg alias kenyang. #senyum.lebar
Benar-benar sarapan yang enak, murah dan mengenyangkan. Sayang banget nasi penggel (setahuku) nggak ada di Yogyakarta.
Hiks... #sedih
SILAKAN DIBACA
Aku dan Sang Otaku pun nggak serta merta berlalu setelah menghabiskan sepiring nasi penggel. Seperti biasa, Sang Otaku menutup ritual makannya dengan ngudud. Sementara aku berusaha mengatur isi perut supaya ritual ngendog di pagi hari bisa ter-pending sampai nanti siang. #eh
“Kamu masih sanggup makan lagi!?”, tanya Sang Otaku keheranan sambil mengepulkan asap rokok
“Ya sanggup! Tadi itu kan baru ronde pertama.”, jawabku sambil meneguk air di botol plastik
Hehehe, petualangan kuliner aku bersama Sang Otaku di Kebumen, Jawa Tengah kini memasuki babak kedua. #senyum.lebar
Persiapan di Pasar Mertokondo
Jam menunjukkan pukul 6 pagi pada hari Sabtu (26/11/2016). Sungguh waktu yang terlampau awal untuk meluncur pulang ke Yogyakarta.
Lagipula, buat apa cepat-cepat kembali ke Yogyakarta?
Pertama, cuaca di Kebumen cerah merona. Nggak seperti kemarin malam yang diguyur hujan lebat.
Kedua, ini hari Sabtu. Hari yang semestinya dipakai untuk beristirahat dan berwisata di tengah hasrat ngoding yang menggelora. #eh
Ketiga, nasi penggel Pak Melan itu hanya satu dari 3 kuliner Kebumen yang menjadi buruan Sang Otaku.
Jadi, mari kita lanjutkan perburuan kuliner Kebumen berikutnya! #senyum.lebar
“Eh, mampir ke pasar nyari dagashi kashi nggak nih?”, tanyaku sesaat sebelum kami bertolak dari lapak nasi penggel
“Yo boleh. Tapi, pasar yang mana?”, Sang Otaku balik bertanya
“Tadi kan kita pas ke sini ngelewatin pasar. Ke pasar yang itu saja.”, balasku
Jadilah kami berdua kembali meluncur menyusuri jalanan Kebumen menuju pasar yang bernama Pasar Mertokondo. Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit berkendara dari lapak nasi penggel Pak Melan ke pasar ini.
Ndilalah di dekat Pasar Mertokondo kami ketemu lagi sama mbak-mbak berpiyama yang tadi juga beli nasi penggel di lapaknya Pak Melan, hahaha. #senyum.lebar
Benar-benar kebetulan yang membawa berkah. #nggak.nyambung
Selesai memarkirkan sepeda motor secara ngawur (bingung parkir di mana #hehehe), tanpa menunggu lama kami pun masuk ke Pasar Mertokondo. Di dalam pasar suasananya bikin aku terkaget-kaget.
Pasarnya SUEPIII!
Suasana di Pasar Mertokondo ini beda banget sama suasana di Pasar Kranggan dekat rumah yang pukul 4 pagi saja sudah rame. Apa memang pasar-pasar di Kebumen pas pagi memang sepi seperti ini ya?
“Pedagang-pedagang biasanya datang jam 9 pagi Mas. Kalau pagi pasarnya ya sepi.”, terang seorang ibu penjual jenang
“Ini jenang-jenang yang di plastik pesanannya para pedagang. Tapi ya diambilnya kalau hari ini mereka pas datang ke pasar.”, tambahnya lagi
Ya begitulah. Berhubung pagi hari itu Pasar Mertokondo sepi, para pedagang belum banyak berdatangan, dan otomatis kios-kios juga masih pada tutup, jadinya ya nggak ada yang jual dagashi kashi deh. #hehehe
Karena aku tergoda dengan jenang yang dijajakan si ibu (sekaligus buat mengorek informasi #hehehe), jadilah aku mengakrabkan diri dengan beliau. Sedangkan Sang Otaku karena kurang doyan santapan manis maka ia keluyuran mengobservasi pasar sambil motrat-motret.
Jenang yang aku santap ini terbuat dari tepung beras yang direbus bersama santan dan daun pandan sehingga warnanya menjadi hijau. Nama lainnya adalah bubur sumsum. Kuah teman menyantapnya adalah gula jawa cair. Porsinya banyak dan harganya murah. Cukup Rp2.000 saja.
Nyam lah pokoknya! #senyum.lebar
Cocok sebagai pencuci mulut setelah menyantap nasi penggel. #senyum.lebar
Ronde Kedua di Pantai Petanahan
Setelah gagal terpuaskan dengan Pasar Mertokondo, kami pun meluncur menuju lokasi perburuan kuliner Kebumen berikutnya yang disinyalir ada di Pantai Petanahan.
Di tengah perjalanan menuju Pantai Petanahan, Sang Otaku takjub dengan pemandangan siswa-siswi SD, SMP, dan SMA yang ramai-ramai berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Aku ya baru tahu kalau sekolah di Kebumen itu hari Sabtu nggak libur.
“Di Jogja sama di tempat asalku kayaknya jarang lihat anak-anak yang ke sekolah naik sepeda ya?”, tanya Sang Otaku
“Di Jogja anak-anak lebih seneng ke sekolah naik sepeda motor kali, hehehe.”, jawabku
Tapi, setelah beberapa kali berpapasan dengan anak-anak sekolah yang bersepeda, aku mencermati ada sesuatu yang janggal. Aku pun bertanya ke Sang Otaku.
“Eh, kok anak-anak cewek yang naik sepeda nggak ada yang nggak berjilbab ya?”
“Lho gimana sih? Kebumen kan Kota Beriman.”, jawab Sang Otaku
“Lha? Memangnya jilbab sama iman ada hubungannya?”, tanyaku balik
“Ya kan tolok ukur orang beriman itu paling gampang dilihat dari penampilan fisik. Jilbab itu salah satunya.”
Hmmm... ada betulnya juga ocehan Sang Otaku. #hehehe
Karena keasyikan ngobrol ngalor-ngidul dengan Sang Otaku, tanpa sadar tanggung-jawabku sebagai penunjuk arah di jok belakang terabaikan. #senyum.lebar
Kami SALAH AMBIL JALAN! Gyahaha. #senyum.lebar
Kami malah nyasar sampai ke ring road. #senyum.lebar
Tapi ada untungnya juga kami salah ambil jalan karena jadi bertemu dengan pemandangan indah seperti foto-foto di bawah ini.
Jadinya berhenti dulu dong! Jepret sana-sini. #hehehe
Aaaah, Kebumen!
Makanannya enak. Pemandangannya indah. Orangnya ramah-ramah.
Kurang apa coba?
Kalau buatku sih, kurang ngerti bahasa ngapak-nya mereka aja, hahaha. #senyum.lebar
Mendekati Pantai Petanahan, lagi-lagi kami terpana oleh pemandangan menakjubkan di pinggir jalan. Ada hamparan air yang luaaas banget!
Danau kah? Rawa kah? Empang kah?
Barangkali disebut rawa lebih tepat ya?
Yang juga membuatku takjub, di sana itu tumbuh banyak tanaman teratai. Seandainya semua bunga teratainya mekar... Subhanallah... pasti indah banget! #senyum.lebar
Habis itu berubah deh jadi lokasi selfie. Hadeh... #hehehe
Saat kami sedang menikmati pemandangan indah rawa di atas, Sang Otaku mendadak bertanya,
“Mas Wi, harga tanah di sini kira-kira berapa ya?”
What the hell!?
Sang Otaku sepertinya tertarik untuk bermukim di Kebumen. Dia mulai berfantasi membangun semacam gazebo di tengah rawa. Dia mulai mengira-ngira berapa luas tanah yang dia butuhkan untuk mewujudkan fantasinya itu.
Sampai akhirnya ketika kami tiba di loket masuk Pantai Petanahan, bertanyalah Sang Otaku perihal rawa tersebut kepada mas-mas penjaga loket. Dengan logat ngapak-nya, si mas penjaga loket pun berujar.
“Itu bukan rawa Mas! Itu cuma genangan air.”
WEEEEH!?
Genangan Air???
“Iya Mas, genangan air. Kalau pas hujan deras itu sawah-sawah di sana jadi tergenang air kena banjir. Setengah tahun baru surut airnya.”, si mas penjaga loket menjelaskan
“Lha karena sawahnya jadi nggak produktif, warga-warga iuran beli benih ikan terus dibiakkan di sana. Yang punya sawah itu ya warga dusun Karang Gadung sini kok.”, tambahnya
Gimana mas Otaku? Masih jadi beli tanah di sana? #hehehe
Pukul 8 pagi kurang beberapa belas menit. Suasana Pantai Petanahan terlihat masih SUEPIII! Pengunjung saat itu rasanya bisa dicacah pakai jari tangan ditambah jari kaki. #hehehe
Aneh ya Kebumen ini? Pagi-pagi kok semua tempat masih sepi ya?
Eh, apa Pantai Petanahan sepi karena memang anak-anak sekolah nggak libur pada hari Sabtu? Tapi anak-anak mudanya ya pada ke mana?
“Kalau hari Sabtu pantainya sepi Mas. Ramainya baru besok hari Minggu.”, terang ibu pemilik warung tempat kami nongkrong
“Mau mencoba nasi pecel Mas? Enak lho?”, tawarnya
“Hehehe, nanti ya Bu. Sekarang ini dulu saja.”, kataku sambil mengangkat plastik berisi yutuk goreng
Yups! Yutuk goreng adalah kuliner perburuan kami di nomor 2. #senyum.lebar
Yutuk adalah bahasa Jawa untuk hewan bernama undur-undur laut (Emerita sp.). Yutuk ini ukurannya sebesar ibu jari pria dewasa. Hewan ini bercangkang tapi cangkangnya lunak. Sehingga untuk menyantapnya tinggal dimasukkan ke mulut kemudian dikunyah, hehehe. #hehehe
Sejauh ini, buatku yutuk adalah kuliner yang paling ENAK!
Rasa yutuk mirip-mirip dengan kepiting. Apalagi harganya murah! Sebungkus berisi kira-kira 20 yutuk goreng harganya hanya Rp5.000!
WAOW! Sebungkus yutuk goreng disantap bersama nasi pulen hangat, sambal bawang, dan lalapan itu adalah nikmat dunia ala Kebumen yang sulit untuk dielakkan, hahaha. #senyum.lebar
Sebetulnya yutuk goreng ini bukan murni kuliner asli Kebumen. Di sepanjang kawasan pantai selatan bagian barat Jawa Tengah (termasuk di pantai Kulon Progo Yogyakarta) penjual yutuk goreng banyak dijumpai.
Tapi, entah kenapa aku nggak pernah melihat penjual yutuk ini di pasar Kota Jogja. Apa mungkin orang kota kurang doyan yutuk ya?
Sang Otaku sendiri waktu itu hanya mengicip beberapa yutuk goreng. Soalnya dia kebetulan sedang batuk-batuk. Alhasil, yutuk gorengnya aku yang ngembat deh, hehehe. #hehehe
Oh iya, di warung Pantai Petanahan ini aku sempat menyantap jajanan tradisional khas Kebumen yang bernama clorot.
Seperti yang tampak pada foto, clorot ini bentuknya seperti corong gitu. Bungkus corongnya terbuat dari janur (daun kelapa). Isi di dalamnya beras ketan yang rasanya gurih. Cocoklah disantap dengan teman yutuk goreng.
Kalau nggak salah sih 1 clorot harganya Rp1.000. Murah lah pokoknya.
Rasanya, bertualang kuliner di pantai belum lengkap kalau belum berurusan dengan ikan laut. Sudah jadi bayangan yang umum toh kalau wisata kuliner di pantai itu identik dengan menyantap ikan laut bakar ditemani desir ombak dan semilir angin? Hehehe. #hehehe
Sayangnya, di Pantai Petanahan maupun di dekat-dekat sana nggak ada Tempat Pelelangan Ikan. Jadinya ya pupus sudah keinginan makan ikan laut di pinggir pantai. #sedih
“Wah, kalau ikan musiman Mas. Nggak setiap saat ada nelayan yang melaut. Kalau ada nelayan yang dapat ikan ya langsung dibeli saja. Di sini nggak ada pasar ikan.”, kata seorang bapak petugas kebersihan yang sedang menyapu parkiran Pantai Petanahan
Oleh si bapak kami lantas diberi tahu kediaman warga bernama Pak Ngadiman yang di rumahnya menjual ikan-ikan laut. Dengan sedikit nyasar-nyasar kami pun akhirnya merapat di rumah beliau. Di sana memang menjual ikan laut tapi dalam kondisi beku. #sedih
Walaupun demikian, harga ikan lautnya lumayan murah lho! Ikan kembung satu kilogramnya dihargai Rp26.000. Ikan tongkol satu kilogramnya dihargai Rp22.000. Kalau sudah masuk supermarket Kota Jogja, satu kilogramnya minimal bisa Rp40.000 itu.
Ronde Ketiga di Jalan Raya Daendels
Waktu menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Saatnya kami bergegas motoran ke Yogyakarta mengingat kedua pasang mata sudah keriyip-keriyip alias mengantuk karena kekenyangan, hahaha. #senyum.lebar
Tapi kami masih punya misi menuntaskan perburuan kuliner Kebumen yang terakhir. Untungnya lokasi warung kuliner ini searah dengan jalan pulang menuju Yogyakarta.
Yups! Apalagi kalau bukan Sate Ambal yang terkenal itu. #senyum.lebar
Saking terkenalnya, ada banyak banget warung Sate Ambal yang berdiri di Jalan Daendels wilayah Kecamatan Ambal!
“Nggak bener ini! Mestinya warung satenya nggak dempet-dempetan seperti ini.”, protes Sang Otaku karena kebingungan memilih warung sate yang mana #senyum.lebar
Pada akhirnya yang terpilih adalah warung Sate Ambal Pak Kasman Asli yang Paling Pertama. Nggak tahu ya apakah memang benar warung Sate Ambal ini sesuai klaim namanya yang “Asli” dan “Paling Pertama”.
Yang jelas, pokoknya buat kami makan Sate Ambal di Ambal lah! #hehehe
Setelah menunggu sekian menit, akhirnya datang juga pesanan kami. Dua porsi Sate Ambal yang seporsinya berisi 20 tusuk sate, dua piring ketupat, segelas es jeruk, dan segelas air putih kami tebus seharga Rp57.000.
Mahal ya? Yah, namanya juga makanan terkenal. #hehehe
Pas menatap wujud kuah sate yang disediakan dalam mangkuk terpisah itu, secara refleks aku melihat sekilas ke Sang Otaku. Raut wajahnya terlihat tak biasa saat dirinya mengunyah daging sate ayam yang terlumuri kuah sambal tempe itu.
“Manis!”, katanya, “Kemanisan!”
Sesuai apa yang aku duga. Kuah Sate Ambal ini manis. Bahkan mungkin boleh dibilang sangat manis di lidahku yang sudah terbiasa mentolerir rasa manis gudeg.
Mimpi buruk lah bagi Sang Otaku yang nggak doyan makanan manis. #hehehe
“Sambal tempenya nggak berasa tempe. Padahal aku pikir bakal kerasa aroma tempenya gitu.”, komentar Sang Otaku lagi
“Dari sekian banyak kuliner Kebumen yang tadi kita makan. Ini yang paling mengecewakan. Yang menurutku enak ya nasi penggel tadi pagi itu.”, simpulnya
Yah, mau bagaimana lagi?
Setenar-tenarnya Sate Ambal, bagi orang yang nggak doyan makanan manis seperti Sang Otaku ini, Sate Ambal jelas kalah lezat dibandingkan nasi sambal pete, hahaha. #senyum.lebar
Berbeda dengan sate ayam madura, aku sendiri juga nggak berminat menyantap kuah Sate Ambal ini banyak-banyak. Mungkin kalau takaran manisnya sedikit dikurangi dan sedikit dibuat lebih gurih rasanya bakal jadi lebih lezat?
Akhir Kulineran di Kebumen
Yak! Selesai sudahlah agenda jalan-jalan kami berburu kuliner yang ada di Kebumen. Selanjutnya, mari kita hitung perolehan nilainya! #senyum
Pertama, nasi penggel. Nilainya 8.5 dari 10.
Kedua, yutuk goreng. Nilainya 8 dari 10.
Ketiga, Sate Ambal. Nilainya 6.5 dari 10.
Dengan demikian, yang jadi juara kuliner di Kebumen adalah NASI PENGGEL!
Yeeeey! #senyum.lebar
Selain tiga kuliner di atas, sebetulnya kuliner menarik di Kebumen ya masih BUANYAAK! Tapi sayang, waktu senggang serta daya melek mata kami terbatas untuk melanjutkan petualangan di Kebumen, hahaha. #senyum.lebar
Yah, semoga suatu saat bisa mampir ke Kebumen lagi dan memanjakan perut dengan kuliner-kuliner khas Kebumen. #senyum
Kalau Pembaca pernah menyantap kuliner Kebumen yang mana?
KATA KUNCI
- bubur sumsum
- clorot
- harga nasi penggel
- harga sate ambal
- jawa tengah
- jenang
- kebumen
- kuliner
- kuliner jawa tengah
- kuliner kebumen
- lokasi nasi penggel pak melan
- nasi penggel
- nasi penggel pak melan
- pantai jawa tengah
- pantai kebumen
- pantai petanahan
- pasar
- pasar kebumen
- pasar mertokondo
- sambal tempe
- sang otaku
- sate ambal
- sate ambal pak kasman
- undur-undur goreng
- undur-undur laut
- wisata kuliner kebumen
- yutuk
- yutuk goreng
Saya pernah makan sate Ambal di Jogja kok gak terlalu manis ya... warna sambal tempenya kuning kecoklatan. Mungkin tidak semua sate Ambal seperti yang anda sebutkan tergantung selera pembuatnya.
Jenang sumsum sama clorotnya ya skornya 7.5 lah. :D
Sepertinya kuliner itu menyesuaikan lidah warga setempat. Bisa jadi ya memang tergantung selera pembuatnya dan penyantapnya juga.
Jangan-jangan Kebumen hidupnya di malam hari .. hahaha.
Mantab juga nih kelihatannya .. wkwkwk
Di purworejo ada juga clorot, tapi manis, pake janur, tapi beda cara pengemasannya.
Di Lombok juga ada persis seperti di Purworejo tapi namanya cerorot.
Sedangkan untuk clorot yang seperti di Kebumen yang asin, di Lombok juga ada tapi namanya Bulayak, pembungkusnya bukan daun kelapa/janur tapi daun bulayak/aren.
Eh yutuknya kok kesian ya aku nengoknya. Gak tega : Tapi enak po?