Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Sepeda lipat kuning dengan julukan Selita sepertinya sudah lama banget nggak aku ajak jalan-jalan. Selama ini Selita memang lebih sering aku tunggangi untuk bolak-balik rumah – Sarang Penyamun. Jadi ya sekali-kali kayaknya Selita perlu diajak "sedikit” bertualang di alam bebas. #hehehe
Akan tetapi, aku agak khawatir juga kalau-kalau medan di alam bebas kurang bersahabat untuk sepeda lipat. Alhasil, supaya lebih yakin, aku balas pesannya Mbah Gundul dengan pertanyaan di bawah ini.
“Nek aku numpak seli nggolek perkara ra?” [1]
“Angger selimu waras ae ora popo” [2]
“Waras koyone, hahaha” [3]
“Oke, jam 6:30 kowe nek joglo gedongkuning yo” [4]
“Sip mbah”
[1] Kalau aku naik seli (sepeda lipat) nyari perkara nggak?
[2] Asal selimu waras aja sih nggak apa-apa
[3] Waras kayaknya, hahaha
[4] Oke, jam 6:30 kamu ke joglo gedongkuning ya
Beberapa hari setelahnya. Tepatnya pada hari Rabu (25/5/2016) sekitar pukul setengah 7 pagi lebih-lebih sedikit, aku sudah merapat di Joglo Gedongkuning. Jarang-jarang aku bisa on time janjian bersepeda sama Mbah Gundul, hehehe. #hehehe
Eh, sampai di sana ternyata pintu gerbang joglo masih tergembok rapat. Tapi, aku lihat sepedanya Mbah Gundul masih bertengger di halaman.
Di tengah kondisi yang membingungkan ini aku dapat kiriman SMS. Oh, ternyata dari Mbah Gundul. Isi pesannya singkat padat jelas, yaitu:
“Aku ngising!”
ORA KALAP! Simbah ngendog nggak ngajak-ajak! #eh
Tantangan Pertama di Dekat Jalan Jogja – Wonosari
Sesudah Mbah Gundul merampungkan urusan buang hajatnya, kami pun lanjut ke agenda utama yaitu bersepeda pagi hari pada hari kerja. Ya gampanglah, nanti kan aku bisa kerja pas sore harinya, hehehe. #hehehe
Lagipula, hari ini agenda bersepedanya bukan yang berjenis PEKOK kok! Katanya Mbah Gundul sih, area bersepedanya masih di seputaran Kecamatan Piyungan di Kabupaten Bantul. Obyek sasarannya kalau nggak salah bernama Watu Tumpak atau Watu Tompak gitu.
Dari sekilas info yang di-briefing Mbah Gundul, rute menuju ke Watu Tumpak itu lewat Jl. Raya Jogja – Wonosari. Nanti, di sekitar km 12 bakal ada SPBU di sisi kanan (selatan) jalan raya. Nah, letak gang jalan kampung menuju Watu Tumpak persis di sebelahnya (barat) SPBU.
Aku sendiri nggak asing dengan Jl. Raya Jogja – Wonosari. Apalagi di km 12. Soalnya, di sana itu kan ada situs purbakala yaitu Situs Payak. Mungkin Pembaca juga sudah ada yang pernah singgah di Situs Payak?
Sekitar pukul 7 lebih 20 menit, sampailah kami berdua dengan bersepeda di seberangnya SPBU di Jl. Raya Jogja – Wonosari km 12. Cabang jalan kampung yang dimaksud Mbah Gundul sudah di depan mata. Tapi, kondisi jalan raya yang dipadati kendaraan bermotor berkecepatan tinggi bikin kami ragu-ragu buat nyeberang. #sedih
Aku perhatikan sekitar 50 meter di timur SPBU ada zebra cross yang dijaga oleh bapak-bapak polisi. Kan lumayan bisa dimanfaatkan untuk menyebrang jalan raya dengan aman, hahaha. #senyum.lebar
“Mbah, nyeberang nang cerak e pak polisi kae wae!” [5]
[5] Mbah, nyeberang di dekatnya pak polisi itu saja!
Setelah menyeberang jalan raya ini, eh kami malah ketemu dengan cabang jalan lain yang posisinya sejajar dengan cabang jalan “resmi” di dekat SPBU itu.
“Wis, njajal lewat dalan kene yoh! Sopo ngerti tembus.” [6]
[6] Wis, coba lewat jalan ini yuk. Siapa tahu tembus.
“Oke Mbah! Manut nek aku.”
Kami pun melanjutkan perjalanan blusukan di dalam perkampungan. Eh, ternyata ujung jalan kampung ini malah berakhir di pinggir sungai! Buntu dong?
“Meh nyoba ngusung pit ora Mbah? Ketok e ora jero deh.” [7]
“Ojo! Ojo! Coba lewat e kene wae!” [8]
[7] Mau nyoba mengusung sepeda nggak Mbah? Sepertinya nggak dalam (sungainya) deh.
[8] Jangan! Jangan! Coba lewatnya sini saja!
Mbah Gundul menunjuk jalan kecil yang ada di dekat turunan menuju sungai. Aku perhatikan, jalan kecilnya itu malah mengarah ke rumah warga. Duh, ngawur ini si Mbah! Daripada harus nyasar-nyasar di kampung, mending balik ke jalan “resmi” yang ada di sampingnya SPBU itu lah Mbah! #hehehe
Usai membuang-buang 5 menit waktu yang kurang berharga, kami pun kembali ke jalan yang "resmi", yaitu gang jalan kampung di sebelahnya SPBU itu. Nah, ini dia jalan yang betul! Soalnya, di tengah jalan kami melewati jembatan yang membelah sungai.
Selepas menyeberang jembatan, suasana pemukiman pun bersalin menjadi pemandangan persawahan. Cakepnya....
Eh, belum ada semenit aku menikmati hijaunya pemandangan, Mbah Gundul sudah ngasih peringatan.
“Siap-siap lho Wis!”
“Siap-siap opo Mbah?”, aku berlagak pilun #hehehe
“NANJAK!”
Jawaban singkat Mbah Gundul itu bagaikan petir di pagi bolong! Sebenarnya, di awal perjalanan Mbah Gundul juga sudah bilang kalau rute bersepeda pagi ini bakal dilengkapi medan tanjakan. Tapi ya aku nggak menduga saja kalau ternyata tanjakanannya bakal muncul SECEPAT INI dan SEMIRING ITU.
Bayanganku, karena "cuma" di Piyungan jadinya jalan landainya lebih banyak dari tanjakannya. Eh, ternyata salah besar! Hahaha. #senyum.lebar
Oleh sebab medan tanjakan sudah tersaji ya... mau nggak mau ya harus dilibas toh? #hehehe
Rantai Selita aku pasang ke gir belakang paling besar supaya enteng pas nanjak. Tapi kok nanjaknya masih terasa BERAT ya? Apa karena aku lama nggak bersepeda nanjak pakai sepeda lipat ya? Jadi ya akhirnya, mau nggak mau nuntun deh. #hehehe
Medan tanjakan ini bentuknya seperti tangga, yaitu landai – nanjak – landai – nanjak – landai – nanjak. Di medan landai kedua (atau yang keberapa ya?) aku sempat mengungguli Mbah Gundul dengan nanjak di posisi terdepan! #YES
Bagi mereka-mereka yang pernah bersepeda bareng Mbah Gundul, adalah suatu prestasi yang luar binasa jika sanggup membalap si Mbah di tanjakan. #senyum.lebar
Akan tetapi, setelah mengerahkan segenap tenaga untuk nanjak, aku malah jadi capek dan ngos-ngosan. Alhasil berhenti agak lama. Jadinya malah disalip sama Mbah Gundul lagi deh. Doh!
Ilmu nanjakku masih kurang jos ternyata. Percuma kan kalau bisa menaklukkan Mbah Gundul di satu ronde tapi KO di ronde-ronde berikutnya? #hehehe
Sepertinya, untuk mengalahkan si Mbah wajib hukumnya menguasai ilmu bersepeda nanjak tanpa berkeringat. Entah gimana itu caranya....
Dapat Pencerahan di Kandang Ternak
Puncak tanjakan ini adalah bangunan bak penampungan air yang dicat warna biru. Nggak seberapa jauh dari sana berdiri semacam kandang ternak yang dilengkapi lincak (bangku dari bambu). Dari kejauhan aku lihat Mbah Gundul sedang asyik duduk-duduk di lincak kemudian menyeru.
“Rene, leren sik!” [9]
[9] Sini, istirahat dulu!
Mbah Gundul mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Weh? Sesajen kah itu?
Oh ternyata, yang setelah dibuka isinya adalah... kue pukis! Jumlahnya ada 4 potong. Bila dibagi rata, berarti masing-masing dari kami mendapat jatah 2 potong kue pukis.
Alhamdulillah ada makanan! Soalnya, dari berangkat bersepeda ini kan sama sekali nggak sempat sarapan. Tapi kok kue pukisnya ini bikin seret kerongkongan ya? Jadinya, aku khilaf meminum jatah air dari botol 600 ml yang lebih banyak dari biasanya. #haus.banget
Oh iya! Di kandang ternak ini aku lihat ada ruas bambu yang ditulisi oleh orang yang dahulu pernah singgah di sana. Isi tulisannya lumayan menarik. Lebih tepatnya sih menohok hati. #hehehe
“Jangan suka menangis karena cinta. Menangislah karena dosa.”
Jleeeb sekali kalimat ini! Seakan mengorek-orek luka di masa lampau, hahaha. #senyum.lebar
Tapi, aku kan memang cengeng #hehehe. Selain itu, kalau diingat-ingat aku sudah setahun lebih nggak nangis. Terutama menangis karena cinta. #hehehe
Selain kalimat yang menohok hati di atas, adapula kalimat lain yang tertulis di sebelahnya.
“Jangan suka menulis di atas kaca. Menulislah di atas meja.”
Benar-benar cerdas dan masuk akal! Tapi... gimana kalau mejanya terbuat dari kaca ya? Eh, kalau mengaitkan dengan kalimat sebelum ini, bukankah lebih pas kalau menyinggung tentang perasaan yang rapuh seperti kaca? #baper
Apa pun itu, salah satu hal yang membuatku senang bersepeda adalah saat menjumpai “pencerahan-pencerahan” tak terduga seperti di atas ini. #senyum.lebar
Ke Suatu Tempat di Pinggir Tebing
Jam menunjukkan pukul 8 pagi kurang sedikit dan kami bergegas melanjutkan perjalanan dari kandang ternak. Nggak ada semenit dari kandang ternak, seusai melintasi medan turunan yang hanya sekejap mata #kecewa, kami tiba di suatu pertigaan jalan dengan semacam bangunan mirip cungkup makam di dekat sana.
Auranya agak mistis...
Aku pikir kami bakal mengambil cabang jalan yang mendekati bangunan unik itu. Jadi aku bisa mengidentifikasinya lebih lanjut. Tapi, Mbah Gundul ternyata memilih cabang jalan yang satunya, yakni cabang jalan yang berwujud jalan tanah, bukan jalan cor semen.
Perasaan nggak enak mulai menghantui sanubari. Jangan-jangan, setelah tadi melibas medan tanjakan, medan selanjutnya bakal berwujud jalan tanah rusak yang sama sekali nggak nyaman dilibas pakai sepeda lipat? Duh! Kok mendadak jadi terbayang “jalan penderitaan” ke Laut Bekah dulu itu ya?
Tapi, sebelum pikiranku diracuni bayang-bayang negatif, Mbah Gundul mendadak berbelok seraya berujar,
“Sik! Ngecek kene sik Wis!” [10]
[10] Sebentar! Ngecek ke sini dulu Wis!
Dari jarak berpuluh-puluh meter di belakangnya, aku lihat Mbah Gundul mengayuh sepeda menuju garis batas imajiner antara tanah dan langit. Ngapain Mbah Gundul ke sana? Apa itu Watu Tumpak yang dimaksud Mbah Gundul?
“Piye? Apik toh?” [11]
[11] Gimana? Bagus kan?
Subhanallah!
Pemandangan hijau pedesaan di Yogyakarta tersaji dalam satu sapuan mata! Benar-benar pemandangan indah, yang patut disyukuri, dan perlu dirawat agar generasi mendatang masih bisa menikmatinya.
Sayang sekali pas waktu itu langitnya putih berkabut. Gunung Merapi nggak terlihat deh.
Kami berada di suatu tempat di atas bukit yang berbatasan langsung dengan tebing yang tinggi. Sewaktu aku sedang asyik mengabadikan foto pemandangan dari puncak bukit tersebut, Mbah Gundul menunjuk salah satu batu.
“Wis, deloknen kae, watune mirip sirah.” [12]
“Watu sing ngendi Mbah? Perasaanmu wae yak e.” [13], aku mencari-cari batu yang dimaksud si Mbah
“Sik, sik. Aku tak mrono. Dirimu nang kene wae!” [14]
[12] Wis, coba kamu lihat itu, batunya mirip kepala.
[13] Batu yang mana Mbah? Perasaanmu saja mungkin.
[14] Sebentar, sebentar. Aku ke sana. Dirimu di sini saja!
Mbah Gundul kemudian berjalan kaki menuruni tebing kecil dan mengarah ke batu yang menurutnya mirip kepala itu. Aku pikir, batunya itu ada di dekat-dekat sana. Eh, ternyata batu yang dimaksud Mbah Gundul itu posisinya ada di ujung tebing tinggi.
“Iki mripat e ne. Iki irung e. Ngisor kae mulut e.” [15]
[15] Ini matanya. Ini hidungnya. Di bawah itu mulutnya.
Aku ngeri melihat atraksinya si Mbah Gundul. Kaki-kakinya yang dipenuhi rambut lebat itu #jangan.dibayangkan! #hehehe dijulur-julurkannya untuk menjelaskan bukti-bukti kalau batunya itu menyerupai kepala. Waduh! Salah-salah melangkah si Mbah bisa is death ini. Masih lajang sudah merenggang nyawa kan nggak lucu. #eh
“Wis! Wis Mbah! Aku wis mudeng! Wis kono balik! Nek kowe tibo ciloko mengko!” [16]
“Eh, kosek! Aku difoto sik Wis!” [17]
“Hah?”
[16] Sudah! Sudah Mbah! Aku sudah paham! Sudah sana balik! Kalau dirimu jatuh celaka nanti!
[17] Eh, tunggu! Aku difoto dulu Wis!
Aku sebenarnya kepingin juga sih berfoto di pinggir tebing seperti foto Mbah Gundul di atas itu. Sayangnya aku nggak bernyali buat duduk di pinggir tebing, hahaha #senyum.lebar. Tapi, kemudian aku menemukan ide.
“Mbah, nek pit iso difoto nang kono ora?” [18]
“Iso wae. Seline wae sing digawa rene.” [19]
[18] Mbah, kalau sepeda bisa difoto di sana nggak?
[19] Bisa saja. Selinya saja yang dibawa ke sini.
Asyiik! Akhirnya dapat juga foto sepeda lipat di pinggir tebing. #senyum.lebar
“Ojo ke pinggir-pinggir lho Wis! Nek tibo jupuknen dewe!” [20]
[20] Jangan ke pinggir-pinggir lho Wis! Kalau jatuh ambil sendiri!
“Sip Mbah!” #senyum.lebar
Ternyata Masih Jauh...
Meskipun lokasi ini menawarkan pemandangan indah, ada satu hal yang bikin aku SEDIH BERAT! Ada “fenomena” memperihatinkan yang aku saksikan di salah satu sisi tebing. Aku sebut sebagai “fenomena” dikarenakan istilah “sampah terjun” jelas bukan merupakan kejadian campur-tangan alam kan? #sedih
Cukup aku tampilkan foto sisi tebingnya saja. Kalau aku sertakan foto “penampakan” di dasar tebing, mungkin Pembaca bakal lebih terperangah lagi. Dugaanku, selain sebagai tempat untuk menikmati pemandangan, lokasi ini juga merangkap sebagai tempat pembuangan sampahnya warga sekitar.
Benar-benar kelakuan manusia yang ora kalap toh? #sedih
“Yoh, ganti spot yoh!”
Ajakan Mbah Gundul itu seketika membuyarkan lamunanku dan sekaligus membuatku bingung. Apa yang si Mbah maksud dengan ganti spot?
“Lho? Kok ganti spot Mbah?”
“Jare meh nang Watu Tumpak? Sido ora?” [21]
“Lho? Iki udu Watu Tumpak toh?” [22]
“Udu yo! Lha kae.” [23]
[21] Katanya mau ke Watu Tumpak? Jadi nggak?
[22] Lho? Ini bukan Watu Tumpak toh?
[23] Bukan! Lha itu.
Mbah Gundul mengarahkan pandangan ke suatu sisi tebing nun jauh di sana. Aku ikuti arah pandangannya dan samar-samar aku perhatikan ada spanduk yang berkibar-kibar di pinggir tebing. Eh, umbul-umbul dink #hehehe.
Jadi, itu yang namanya Watu Tumpak? Wew... masih jauh juga ya? Masih banyak tanjakannya nggak ya?
Aaaargh! Semangat-semangat! Sebentar lagi sampai!
Lha, terus nama spot ini apa ya? Watu Sirah (batu kepala) dijadikan nama cocok nggak ya? Hehehe. #hehehe
Kalau punjangga desa ini lihat, pasti bakalan menulis kata-kata bijak lagi ...
Kali ini tidak berhubungan dengan dosa tapi dengan kegundulan. :D
Keseluruhan artikel tentang Jogja, membantu rasa kangen terhadap kota ini.
Kuat aja naik sepeda berjam-jam, Mas.
Kan aku sudah biasa nyepeda ke mana-mana Mbak, jadinya nggak begitu capek.
mas?