Di jantung Kota Wonosari. Tepatnya di suatu lorong di Pasar Argosari, sang Otaku bertanya ke aku,
“Mau ke mana lagi kita sekarang?”
Pertanyaan itu aku jawab tanpa pakai pikir panjang,
“Ikutin mbak-mbak yang pakai piyama itu!”
Sang Otaku terdiam. Tandanya dia manut. #senyum.lebar
Kami pun lantas memposisikan diri kira-kira 10 meter di belakang mbak-mbak berpiyama tersebut. Sang Otaku di posisi depan. Aku sendiri mengintai dari belakang sambil celingak-celinguk mencari “buruan” lain.
Kemudian, saat si mbak-mbak berpiyama berhenti di depan los sayur-mayur, mendadak aku tersadar dan memberi komando pada sang Otaku,
“Tunggu, tunggu! Ayo kita balik!”
Sang Otaku kebingungan,
“Lho? Tadi katanya ngikutin mbak-mbak yang pakai piyama itu? Gimana sih?”
“Eh, aku mau nyari belanjaan yang lain. Kita balik saja!”
Hadeh... hampir saja misi utama gagal karena kehadiran si mbak-mbak berpiyama. #hehehe
Mampir Beli Dagashi Kashi di Pasar Argosari
Pada Sabtu siang (17/4/2016) yang lalu, aku dan sang Otaku blusukan di Pasar Argosari jelas bukan dengan misi membuntuti si mbak-mbak berpiyama lho! #hehehe
Awal ceritanya begini. Sang Otaku baru-baru ini (merasa) sudah sembuh dari penyakit batuk akut yang dideritanya selama 1 bulan lebih. Alhamdulillah bukan karena TBC. Kalau dugaanku sih mungkin karena dirinya acap kali ngoding sambil ngerokok. #hehehe
Jadi, setelah penyakit batuknya itu (dirasa) sembuh, sang Otaku pun mengajak berwisata kuliner di Gunungkidul. Mumpung sekarang kalau dibuat makan dan jalan-jalan badannya sudah agak enakan.
Kalau dulu kami muter-muter Magelang dengan misi memburu sop snerek. Sekarang ini kami ke Gunungkidul dengan misi utama menyantap nasi merah di Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo.
Eh sebentar! Pembaca sudah pada tahu toh kalau Gunungkidul itu nama salah satu kabupaten di Provinsi DI Yogyakarta? Ibu kota kabupatennya adalah Kota Wonosari.
Lha, terus kok mampir Pasar Argosari?
Ya karena searah dan sekalian lewat jadinya mampir deh, hahaha #senyum.lebar. Kebetulan, persediaan ikan pindang buat makan si Pungut dan si Zoro sudah habis. Sekalian juga aku belanja buat persediaan bahan lauk. Kan sehari-hari di rumah aku masak sendiri. Ngirit ceritanya. #hehehe
Tempe dan ikan pindang di Pasar Argosari dijual dengan harga yang sama seperti di Pasar Kranggan. Tapi, menurutku ukuran tempe dan ikan pindang di Pasar Argosari ini lebih banyak sedikit.
Aku juga sempat nanya harga bawang merah. Katanya satu kilogram dijual Rp35.000. Minggu lalu aku beli bawang merah di Pasar Kranggan satu kilogramnya Rp40.000. Apa harganya memang sudah turun ya? Ataukah harga-harga komoditi di Pasar Argosari ini memang lebih murah?
“Eh, tadi aku lihat ada dagashi kashi.”, ujar sang Otaku di dekat pintu keluar pasar
“Dagashi kashi? Di mana?”, aku penasaran
“Aku lupa.”
“Apa ditelusuri lagi dari awal kita masuk pasar?”
“Ya boleh deh.”
Setelah sang Otaku menemani aku belanja tempe dan ikan pindang, sekarang giliran aku yang menemani sang Otaku mencari dagashi kashi. Yang disebut sebagai dagashi kashi ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya cheap sweets candy. Kalau dalam Bahasa Indonesia... hmmm... mungkin lebih tepat disebut sebagai jajanan manis murah ya?
Istilah dagashi kashi jadi populer buat kami semenjak rilisnya anime Dagashi Kashi di musim dingin 2015. Buat Pembaca yang bingung seperti apa anime Dagashi Kashi itu, bisa nge-klik tautan di portal OtakOtaku ini. #promosi #hehehe
Dagashi kashi di Pasar Argosari ini letaknya di lantai 2. Dekat dengan los daging dan ikan. Di sini dijual berbagai macam jajanan yang sudah dibungkus dalam plastik. Harganya murah banget. Satu bungkusnya Rp2.500. Kalau di Pasar Kranggan, kayaknya harga segini belum boleh, hahaha. #senyum.lebar
Berikut adalah 3 jenis jajanan manis murah yang kami beli di Pasar Argosari. Total harganya ya Rp7.500. Cocok sebagai teman ngoding. #senyum.lebar
Eh, semisal Pembaca tahu nama-nama jajanan di atas tolong aku diberitahu ya! #senyum.lebar
Uji Nyali dengan Lauk Spesial di Pari Gogo
Pukul setengah 11 siang transaksi bisnis di Pasar Argosari selesai. Saatnya meluncur ke Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo yang letaknya di Kecamatan Semanu. Jaraknya dari Pasar Argosari sekitar 6 km. Bisa ditempuh kurang dari 15 menit.
Bayanganku, Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo pada hari Sabtu siang ini mesti ramai. Apalagi sudah dekat jam makan siang. Untung tadi kami sudah beli jajanan pasar seumpama di sana nanti mesti ngantri lama, hehehe. #hehehe
Tapi ternyata, Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo sepi!
Ya Alhamdulillah sih. Jadinya enak deh nggak perlu pakai ngantri. #senyum.lebar
“Mbak, makan buat 2 orang ya.”, ujarku ke si mbak yang berjaga di kasir
Tanpa menunggu lama terhidanglah berbagai piring dengan sajian yang ndemenakke ini di meja makan. Sang Otaku memesan minum es jeruk. Sedangkan aku es teh tawar.
“Ingat! What you pay is what you eat!”, aku nge-briefing sang Otaku perihal aturan bersantap di Rumah Makan Pari Gogo
“Lha berarti bayar satu piring gitu? Aku cuma bawa uang Rp100.000.”, sang Otaku sepertinya mulai cemas
“Ya nggak! Kamu bayar sesuai porsi yang kamu makan. Nanti biar si-mbak-nya yang ngitung.”
Baru sang Otaku menciduk nasi merah mendadak aku teringat akan satu hal,
“Oh iya! Jangan makan empalnya! Kalau sayurnya sih gratis.”, aku mewanti-wanti
“Lha, kenapa?”, sang Otaku kebingungan
“Mahal! #hehehe”
Sejak awal perjalanan ke Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo ini, sebenarnya aku sudah memasung niat di sana bakal makan ngirit pakai sayur jangan lombok plus wader goreng thok. Tapi, kok ya ndilalah si mbak pelayan turut menghidangkan sepiring lauk yang membuat aku sangat-sangat tergugah untuk menyantapnya berapa pun kelak harga per porsinya.
Ini dia lauk spesial yang bikin aku semangat itu.
Lauk yang aku foto di atas itu adalah kepompong goreng. Tepatnya kepompong ulat jati. Sepiring dihargai Rp25.000. Tapi, kala itu aku hanya menyantap sebagian dan kena harga Rp15.000.
Iyes! Cuma aku yang menyantap kepompong. Karena sang Otaku nggak kuat nyali. #senyum.lebar
Menurutku sih rasa kepompongnya ENAK! #senyum.lebar
Eh, seumpama Pembaca merasa jijik makan kepompong, silakan lompati paragraf di bawah ini. #hehehe
Pas kepompongnya digigit terasa ada lendir-lendir yang keluar gitu. Kalau aku perhatikan, isi dalam (daging) kepompong ini mirip seperti kacang tanah. Hanya saja teksturnya lebih halus dan terbalut dalam casing... kepompong. #hehehe
Sarapan siang di Rumah Makan Sego Abang Pari Gogo ini pun berakhir dengan total biaya Rp45.000. Tergolong murah dan puas makan tumis kepompong, gyahahaha. #senyum.lebar
Sego Thiwul yang di Luar Bayangan
Sambil menghembuskan asap rokok ke udara, sang Otaku bertanya lagi,
“Habis ini ke mana lagi? Masak cuma makan nasi merah thok?”
“Lha mbuh? Dirimu ada ide mau ke mana lagi nggak? Makanan khas di Gunungkidul setahuku ya cuma ini thok. Kayak orang Jogja variasi makanannya banyak aja.”
“Kalau di daerah Wonogiri sana yang terkenal ada sego thiwul. Dirimu ngerti thiwul toh?”
“Thiwul ya tahu lah. Yang dari singkong dibentuk kecil-kecil bulet-bulet itu toh?”
“Iya, tapi yang ini sego thiwul.”
“Nah, kalau itu aku belum pernah ngerti. Nasi dicampur thiwul gitu kan?”
“Lho? Bukan! Sego thiwul itu bukan nasi dicampur thiwul! Sego thiwul itu thiwul yang dimakan sebagai nasi.”
“Maksudmu gimana sih? Nasi itu kan dari beras toh?”
“Iya dari beras. Tapi kan karena di daerah sini kering, padi susah tumbuh, jadinya nasi diganti sama thiwul. Jadinya, sego thiwul.”
“Aku kok malah tambah bingung?”
“Ya itu istilah saja sebenarnya. Di Jepang contohnya ada istilah gohan yang bisa diartikan sebagai nasi dan juga sebagai santapan pengganti nasi. Kamu mudeng toh?”
“Sik, sik, coba kamu googling sego thiwul Gunungkidul itu wujudnya seperti apa!”
Sembari sang Otaku berselancar di jagat maya, aku memutar otak. Sepertinya, aku selama ini terperangkap dengan arti sego sebagai nasi. Sedangkan bila merujuk ke definisi yang diutarakan sang Otaku ini, sego bisa diartikan sebagai makanan pokok pengganti nasi.
Mungkin sebetulnya ada istilah sego pari, sego thiwul, dan sego-sego lain. Hanya saja, karena umumnya sego itu berasal dari beras nasi. Alhasil, sego lantas diartikan sebagai nasi. Padahal, makna sebenarnya lebih luas.
Eh, mungkin itu juga yang menjelaskan kenapa ada istilah iwak pithik. Padahal iwak kalau diterjemahkan bebas artinya adalah ikan. Sedangkan pithik adalah ayam. Kalau keduanya diartikan sebagai ikan ayam malah ambigu toh? Jadi, arti tepatnya iwak mungkin adalah makhluk hidup yang diolah sebagai masakan untuk teman bersantap sego.
Iya nggak sih? #hehehe
Dengan mengusung misi akhir mencari sego thiwul, kami pun meluncur ke Warung Makan Yu Tum. Berdasarkan hasil googling-annya sang Otaku, kabarnya Warung Makan Yu Tum ini terkenal dengan sajian thiwul dan gatot. Barangkali di sana ada sego thiwul yang dimaksud oleh sang Otaku.
Lagi-lagi, berbeda dari bayangan awalku. Warung Makan Yu Tum ini lebih cocok disebut sebagai toko oleh-oleh daripada rumah makan. Setidaknya itu yang tergambar begitu memasuki bangunan warung. Kami langsung disambut oleh sejumlah produk pangan dalam kemasan plastik yang dipajang di rak-rak.
Sama sepertiku, sang Otaku pun rupanya kecele dengan sego thiwul yang dijajakan di Warung Makan Yu Tum ini. Dalam bayangannya, sego thiwul itu ya “nasi” dari thiwul yang disantap bersama lauk pauk sebagaimana pasangan menyantap nasi pada umumnya.
Akan tetapi, sego thiwul di Warung Makan Yu Tum ini hanya memiliki kawan pendamping santap berupa gatot. Yang disebut gatot adalah olahan singkong yang diiris kecil dan bercita rasa manis dari gula jawa. Sebagai pelengkap disertakan juga taburan kelapa parut.
Sang Otaku yang pada dasarnya nggak suka dengan makanan manis pun hilang selera. Tapi, sudah jauh-jauh sampai ke Warung Makan Yu Tum rasanya aneh kalau pulang dengan tangan hampa. Jadi, aku membeli setengah porsi thiwul dan setengah porsi gatot seharga total Rp15.000. Tambah lagi deh camilan buat ngoding. #senyum.lebar
Bila menilik isi daftar menu, rupanya Warung Makan Yu Tum juga berkreasi dengan menyajikan variasi rasa thiwul yang beragam seperti thiwul keju, thiwul cokelat, dan thiwul nangka. Cukup menarik sih. Tapi, karena aku menganut paham jajanan lokal yang “konservatif”, thiwul itu ya mesti dengan rasa orisinal. #hehehe
Di lidahku, rasa thiwul Warung Makan Yu Tum ini nggak jauh beda dengan thiwul-thiwul lain yang pernah aku santap seperti Thiwul Ayu Mbok Sum di Mangunan. Thiwulnya nggak begitu manis jadinya cocok bila disantap sebagai pengganti nasi. Sedangkan gatotnya sesuai dugaanku ya memang rasanya (terlalu) manis. Boleh jadi warga luar Jogja (macamnya sang Otaku itu #hehehe) nggak tahan dengan manisnya gatot ini.
Bertepatan dengan dikumandangkannya azan zuhur kami pun menuntaskan agenda wisata kuliner di Gunungkidul untuk kembali ke Sarang Penyamun. Apalagi kalau bukan untuk ngoding! Sesuai dengan papan kalimat bijak yang dipajang di Warung Makan Yu Tum itu. #senyum.lebar
Besok-besok wisata kuliner ke mana lagi ya?
di gunungkidul:
http://fenitriutami.blogspot.co.id/2016/04/resume-hasil-perburuan-nasi-thiwul.html
Tapi nek gatot karo tiwul, mbiyen pas jaman cilik sering.
Semoga segera bisa ke Gunungkidul menyantap ungkrung Om. :D
Kalo di Yu Tum harus nunggu agak lama. Dibikinin dulu paling sekitar setengah sampe satu jam-an.