HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Nyepeda Nanjak Lereng Merapi Sampainya di...

Rabu, 16 November 2016, 08:18 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Lagi-lagi, rencanaku semadi pada hari Sabtu (6/2/2016) buat menuntaskan kerjaan yang sudah diburu-buru Juragan terpaksa pupus. Penyebabnya, pada Jumat sore si Gondrong Purwo alias Rizky mengirim SMS mesra yang isinya seperti di bawah ini,

 

“Assalamu’alaikum Kang. Pie kabare?
Duh, basa basi ki. Sesuk ngepit yo Kang? Ning Cangkringan diajak Mas Sigit.”
[1]

 

[1] Assalamu’alaikum Kang. Gimana kabarnya?
Duh, basa basi ini. Besok bersepeda yuk Kang? Ke Cangkringan diajak Mas Sigit.

 

Bagiku, isi SMS Rizky di atas itu bagaikan godaan meneguk es soda gembira di siang hari bolong pas bulan Ramadhan.

 

Eh, kalau godaan es soda gembira sih aku tahan. Tapi, untuk godaan ajakan bersepeda... euh... itu yang aku kurang begitu tahan, hehehe. #hehehe

 

 

Maka jadilah sebagaimana kawan tua yang baik aku membalas SMS tersebut dengan bertanya waktu serta tempat berkumpul. Nggak seberapa lama, Rizky pun membalas,

 

“Maksimal jam 7 kumpul di Warung Ijo Pakem ya Kang!”

 

 

EBLIS !!!

 

Yang bener aje ente Ky? Pukul 7 pagi sampai di Warung Ijo Pakem!?
Itu jaraknya 17 km ++ dari kasurku dan jalan ke sananya itu NANJAK lho!

 

Hellow... ente bercanda kan Ky? Kalau bercanda jangan kebangetan gini lah. #hehehe

 


Buat Pembaca yang kurang paham di manakah letak Pakem dari Tugu Pal Putih Jogja itu.

 

 

Beh! Ternyata serius si Rizky ini. Ngumpul di Warung Ijo Pakem beneran pukul 7 pagi!

 

Aku ingat-ingat. Rekor tercepatku bersepeda ke Warung Ijo Pakem dari rumah itu sekitar 50 menit. Itu tanpa berhenti-berhenti kecuali pas kena lampu merah. Eh, tapi itu dulu ya pas tahun 2010 apa 2011 gitu. Pas zaman-zamannya aku masih bersepeda ke mana-mana nggak pakai udel. Kalau sekarang ya mbuh.... #hehehe

 

Oke lah! Berarti aku harus berangkat bersepeda dari rumah paling lambat pukul 6 pagi kurang. Bangun paginya ya pukul 5 ya bisalah. Terancam nggak tidur ini setelah subuh. Hadeh....

 

 

Ndilalah, pada Jumat malam Kota Jogja diguyur hujan yang awet lamanya. Cocok betul toh hawanya buat tidur? Maka dari itu, setelah mengantarkan Paris ke Stasiun Tugu buat “mudik” menemui istri tercintanya, aku pun memajukan jadwal rapat dengan trio bantal, guling, kasur ke pukul 9 malam.

 

Sabtu pagi, aku sukses bangun pada pukul 4 pagi kurang. #gembira Berhubung belum masuk waktu subuh, aku sempatkan untuk salat malam. Pikirku dengan berwudu bisa bikin mataku tetap melek. Tapi kok malah mataku masih terasa pedih ya? Jadinya aku tunggu deh waktu subuh sambil memejamkan mata....

 

 

EEEH, malah bangun-bangun pukul 6 kurang! KESIANGAN!

 

Modyar.... #hehehe

 

 

Sudah Ngebut di Jl. Kaliurang Malah Ternyata....

Singkat persiapan, bersepedalah aku menanjak Jl. Kaliurang dengan segenap tenaga yang sempat aku kumpulkan. Jangan tanya secepat apa. Ya pokoknya cepat lah. Meskipun ya... kalau diadu balapan sama pesepeda yang pakai road bike, akunya tetap kalah sih. #hehehe

 

Sekitar pukul 7 kurang, aku baru sampai di Jl. Kaliurang km 14 di sekitar kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Warung Ijo Pakem masih jauh! Sekitar 3 km lebih! Aku merasa nggak bakal bisa sampai sana tepat pukul 7.

 


Subhanallah! Gunung Merapinya seakan sudah dekaaat!
Tapi, Warung Ijo-nya masih jauuuh! #hehehe

 

Aku pun berniat mengiba extra time sama Rizky. Jadi, aku berhenti sebentar dan mengaktifkan handphone yang sejak berangkat dari rumah tadi aku cuekin. #hehehe

 

Nah, pas melihat layar handphone itulah aku kaget! Di sana tertera notifikasi 3 missed called dan sejumlah SMS yang belum terbaca!

 

Weh! Ada apa ini!?

 

 

Setelah aku lihat-lihat, rupanya Kang Sigit yang tadi nelpon dan mengirim SMS! Aku lantas membuka satu SMS dan mendapati informasi seperti di bawah ini.

 

“Kowe tekan ngendi Kang? Iki aku lurus terus. Ora sido Pakem. Isih tekan Bimomartani. Dirimu tak tak tunggu ning ndi iki?” [2]

 

[2] Kamu sampai di mana Kang? Ini aku lurus terus. Nggak jadi Pakem. Masih sampai Bimomartani. Dirimu aku tunggu di mana ini?

 

JIYAAAAAH! Kang Sigit sama Rizky rupa-rupanya sama-sama belum sampai ke Warung Ijo Pakem!

 

SEDIH AKU! Sia-sialah tadi aku bersepeda ngebut nanjak Jl. Kaliurang seperti orang kesurupan penunggu pohon nangkanya Mbah Gundul. #eh

 


Dua kawan SPSS yang sedang kangen bersepeda pada hari Sabtu pagi. #senyum.lebar

 

 

Karena kami bertiga sama-sama gagal mencapai titik kumpul di Warung Ijo Pakem, akhirnya titik kumpul kedua pun ditetapkan. Rumah Makan Moro Lejar yang terletak di pinggir Jl. Raya Pakem – Cangkringan terpilih menjadi meeting point berikutnya.

 

Jarak Rumah Makan Moro Lejar dari posisiku di sekitaran kampus UII ya masih jauh. Tapi ya kali ini bersepeda ke sananya dibawa santai lah. Nggak ada lagi acara ngebut pakai gigi depan 2 dan gigi belakang 7. #sumpah.capek.abis

 

Sekitar pukul setengah 8 pagi tibalah aku di depan Rumah Makan Moro Lejar. Di sana aku disambut oleh dua veteran SPSS yang sudah lama nggak bersua kabar. Setelah melepas rindu dan berbasa-basi hambar, aku pun iseng bertanya ke Kang Sigit.

 

“Ini tujuan bersepedanya mau ke mana Kang?”

Sambil terkekeh Kang Sigit pun menjawab, “Nggak tahu! Ya ke Cangkringan? Apa ke Warung Ijo saja po?”

 

 

WEALAH! Payah tenan ik! Kok malah nggak tahu tujuannya mau ke mana. Lirik lagu ini namanya! #hehehe

 

Tapi masak hanya ke (Kecamatan) Cangkringan? Rumah Makan Moro Lejar ini kan ya sudah masuk wilayah Cangkringan. Sedangkan kalau tetap ke Warung Ijo, sama saja lah aku bolak-balik dari barat, ke timur, ke barat lagi! Males bangeeeeet!

 

 

Ya sudah, karena dua perjaka ini nggak tau mau ke mana, aku pun menyumbang ide yang menurutku tergolong “wajar” untuk ukuran dengkul-dengkul kami.

 

“Ke Kaliurang saja po?”, usulku

Kang Sigit pun penasaran, “Kaliurang? Lewatnya mana? Kali Kuning?”

“Ya lewat Kali Kuning boleh.”, jawabku tanpa ingin mengundang debat panjang

 

 

Aku nggak nyangka lho Kang Sigit tertarik sama usulanku! Soalnya, jarang-jarang Kang Sigit mau diajak bersepeda yang medannya nanjak seperti ke Kaliurang. #hehehe

 

“Tapi, pas nanjak jangan cepet-cepet ya!”, pinta Kang Sigit

“Lha, kenapa emangnya Kang?”, tanyaku heran

“Soalnya aku pakai seli (sepeda lipat) ini.”, Kang Sigit menunjuk sepeda yang ditungganginya.

“Woooh! Tenang saja Kang! Kalau nggak kuat kan bisa numpang truk lewat.”, kataku sambil menunjuk truk-truk pasir yang wira-wiri di jalan raya. #senyum.lebar

 

Rupanya, sepeda MTB yang biasa ditunggangi Kang Sigit ganti ditunggangi oleh Rizky. Sebabnya, sepeda yang biasa dipakai Rizky sudah berpindah tangan ke sang pemilik asli yang tidak lain adalah kakak tercintanya. #senyum.lebar

 

Semoga pakai sepeda lipat tetap lancar nanjak lereng Merapi ya Kang! Hahahaha. #senyum.lebar

 

 

Awalnya kan ke Kali Kuning, Tapi kok Malah....

Kami memilih rute aman dari Rumah Makan Moro Lejar menuju Kali Kuning. Yang dimaksud dengan rute aman adalah dengan tetap menyusuri jalan aspal tanpa mencoba blusukan lewat jalan-jalan kampung. Ini semata-mata demi meminimalisir adegan nyasar sih, hehehe. #hehehe

 

Sepengamatanku, medan jalan menuju Kali Kuning masih sama seperti yang pernah aku libas bertahun-tahun silam. Maksudku masih berwujud jalan aspal mulus menanjak dengan kontur yang nggak begitu curam. #hehehe

 

Alhamdulillah hawa di pagi hari itu lumayan sejuk. Selain karena masih pagi, mungkin juga efek karena semalam Jogja awet diguyur hujan. Jadinya cocok deh buat bersepeda nanjak. #senyum.lebar

 


Medan jalan ke Kali Kuning wujudnya begini semua. Jadi ya... bersabarlah wahai perut dan dengkul! #hehehe

 

 

Kang Sigit yang tadi minta handicap karena pakai sepeda lipat, eh kenyataannya malah bersepeda nanjak di posisi paling depan! Mana kecepatannya setara MTB pula! Beh!

 

Rizky juga sama saja! Kuat juga dia ngekor Kang Sigit. Bener-bener kualitas dengkul cap SPSS lah. #senyum.lebar

 

Sedangkan seorang Wijna masih setia menempati urutan nanjak paling buntut, WAKAKAKAK! #senyum.lebar

 

 

Lha piye? Tenagaku tadi sudah terkuras habis buat ngebut di Jl. Kaliurang je! Ditambah lagi, sampai sekarang nanjak ke Kali Kuning ini aku SAMA SEKALI belum ngisi bensin perut!

 

Kang Sigit sama Rizky sih enak! Pas nunggu kedatanganku di Rumah Makan Moro Lejar, mereka berdua sempat ngemil arem-arem. Beh! Mana aku nggak dibeliin pula. #hehehe

 

 

Lagipula mau mengisi bensin perut di mana? Sepanjang jalan tanjakan ini minim warung dan toko! Kalaupun ada ya masih belum pada buka! Sengsara toh? #hehehe

 

Persediaan air minum yang hampir menipis pun aku awet-awet. Kang Sigit sampai keheranan. Kok aku betah banget nggak minum kayak onta. #senyum.lebar

 

Jujur ya! Bisa bersepeda nanjak sampai sini itu pun karena aku sudah memakai kalori dari bahan bakar cadangan yang merknya SEMANGAT! #serius

 


Istirahat sih, tapi di dekat sini nggak ada satu pun warung yang buka! Hadeh....

 

 

Sekitar pukul setengah 9 pagi kami sampai di titik istirahat pertama, dekat dengan pos retribusi kawasan Kali Kuning. Alhamdulillah, sampai tahun 2016 pesepeda yang lewat sini masih belum dikenai retribusi. #senyum.lebar

 

Berjarak sekitar 200 meter dari Balai Desa Umbulharjo, di sisi kanan jalan aku lihat ada warung kecil yang sudah buka. Langsung saja aku merapat dan nyetok perbekalan roti serta air minum. Fiuh! Aman lah sudah persediaan tenaga untuk nanjak! #hehehe

 

Nggak jauh dari sini juga ada pertigaan yang mengarah ke obyek wisata Kali Kuning. Karena di depan Rumah Makan Moro Lejar tadi kami menyepakati tujuan bersepedanya ke Kali Kuning maka aku menyeru ke Kang Sigit yang masih bertahan nanjak di posisi terdepan.

 

“Kang! Itu belokan ke Kali Kuning Kang!”, teriakku

Tanpa aku duga-duga, Kang Sigit membalas dengan perintah, “Sudah, nanjak terus saja! Ngikutin jalan aspalnya!”

“Weh! Memangnya mau bersepeda sampai mana ini Kang?”, tanyaku

“Sampai ujungnya jalan aspaaal!”, jawab Kang Sigit sambil tetap nanjak

 

 

WOOOH! PRET TENAN!

 

Kok misi bersepedanya mendadak ganti!?

Mana mirip misi PEKOK pula!?

Kok ya si Rizky juga nggak protes sih?

Kok ya aku juga mau-maunya tetap bersepeda nanjak?

 

Hahahaha. #senyum.lebar

 

Wis lah lakoni wae. Sing penting basmallah sik and stay strong! #senyum.lebar

 

 

Dari PODOMORO Kami Malah Sampai di....

Jam menunjukkan pukul 9 pagi kurang beberapa menit. Jalan aspal masih membentang puanjaaang seakan tak berujung. Di tengah perjalanan nanjak ini kami singgah di suatu toko kelontong bernama PODOMORO.

 

Yoi! Sesuai nama toko kelontong ini dalam bahasa Jawa, podo = pada dan moro = mampir. Alhasil PODOMORO artinya pada mampir. Jadinya pas toh buat tempat istirahat? #senyum.lebar

 


Mau PODOMORO kek! Mau ARTOMORO kek! Yang penting di sini jual camilan dan minuman! Legaaaaa! #senyum.lebar

 

 

Apalagi slogan toko PODOMORO ini benar-benar sesuai dengan kondisi kami saat itu yakni “MENGERTI KEBUTUHAN ANDA”!

 

Cocok banget kan!? Di tengah perjalanan bersepeda yang menguji kekuatan dengkul ini kami SANGAT BUTUH tempat meluruskan kaki yang dilengkapi suplai jajanan, cemilan, dan minuman! #senyum.lebar Toko PODOMORO benar-benar amat mengerti kebutuhan para pesepeda! #terharu

 

Belum lagi ditambah moto toko ini, TIP TOP yang merupakan singkatan dari “TIPis harganya, TOP barangnya”. Alamaaaaak... Gusti Allah paringi kulo arto! #weh

 

 

Eh, ini kok jadi rasanya aku lagi nge-endorse toko PODOMORO ya? Wakakakaka. #senyum.lebar

 

Tapi beneran! Buat kami para pesepeda yang sedang melibas medan tanjakan, toko kelontong seperti ini ibarat surga dunia! Pemandangan dari toko ini pun sangat memanjakan mata. Apalagi kalau bukan pesona anggun Gunung Merapi yang sempat aku abadikan dalam foto di bawah ini.

 


Hooooi Merapiii! Semoga kamu tetap cerah sampai nanti kami ketemu ujung jalan aspal ya! #senyum.lebar

 

 

Dari toko PODOMORO perjalanan pun berlanjut. Di pinggir-pinggir jalan aku melihat sejumlah tempat yang sepertinya memiliki pemandangan menarik. Merasa tertarik, aku pun menawari Kang Sigit untuk berhenti mampir (sekaligus istirahat #hehehe). Sayangnya, Kang Sigit tetap kukuh pada pendirian,

 

MENGIKUTI JALAN ASPAL NANJAK SAMPAI KE UJUNGNYA!

 

Weh!?

 

 

Dan sesuai dugaanku, sekitar pukul 9 pagi lebih 15 menit kami bertiga tiba di suatu tempat yang... ... aku sama sekali nggak menyangka bisa sampai ke sini dengan bersepeda.

 

Eng ing eng! Inilah dia... kawasan parkir pengunjung Lava Tour Merapi! #senyum.lebar

 


Kalau ke sininya dengan naik sepeda nggak ada yang sudi menawari jasa jeep lava tour, hahaha. #senyum.lebar

 

Aku sendiri sudah beberapa kali singgah di sini sewaktu menemani Pakdhe Prap keliling-keliling memotret Gunung Merapi dengan naik jeep. Tapi ya selama ini aku perginya dengan naik mobil. Baru sekali ini aku sampai ke tempat ini dengan bersepeda.

 

Kurang kerjaan banget kan? Hahahaha. #senyum.lebar

 

 

Eh, omong-omong jalan aspalnya masih panjaaang membentang lho! Dan juga, pesepeda nggak ditarik retribusi saat masuk ke kawasan parkir pengunjung Lava Tour Merapi!

 

YES! Sepeda tetap tunggangan yang bebas retribusi! #senyum.lebar

 

 

Ujung Jalan Aspal itu Ternyata Adalah....

Kami sama sekali nggak istirahat di kawasan parkir pengunjung Lava Tour Merapi. Kang Sigit nggak mau diajak mandeg! Padahal di sini kan banyak warung yang menjual makanan.

 

Aku sebenarnya pingin istirahat sebentar buat sarapan. Soalnya dari awal bersepeda kami bertiga BELUM sarapan! Mana tanjakan masih panjang pula! Hadeh....

 

Berhubung Kang Sigit masih semangat nanjak ya aku manut dirinya saja. Pas aku tanya kenapa dia nggak mau berhenti, Kang Sigit menjawab.

 

“Kalau kebanyakan berhenti nanti nggak sampai-sampai!”

 

 


Karena jalannya miring jadi fotonya juga ikut miring. #senyum.lebar

 

Kalau dipikir-pikir ya betul juga omongannya Kang Sigit. Tapi kan nggak semua orang kuat bersepeda (nanjak) tanpa banyak berhenti. Aku khawatirnya sama Rizky. Soalnya dia cerita kalau dirinya sudah jarang bersepeda kayak gini. Lha kalau bocah yang baru lulus ujian tugas akhir ini semaput di tengah jalan piye? #hehehe

 

Tapi sepertinya si Rizky baik-baik saja tuh ngekor di belakang Kang Sigit. Kayaknya dia ikut terbawa semangatnya Kang Sigit menggapai ujung jalan aspal. Makanya, setelah melewati kawasan parkir pengunjung Lava Tour Merapi, si Rizky semangat banget bersepeda nanjak sambil ngebut.

 

Melihat aksinya yang seperti itu aku bilang ke dirinya.

 

“Bersepedanya santai saja lho nak! Ingat kamu belum diwisuda!” #senyum.lebar

 

Pas giliran aku menyalip Rizky di tanjakan, ganti dirinya ngomong ke aku.

 

“Bersepedanya santai saja lho pak! Ingat kamu belum nikah!” #hehehe

 

WUASYEM!

 

 


Setia di jalan aspal. Setia nuntun. Nggak peduli dengan tempat menarik di pinggir jalan. #hehehe

 

Entah karena tenaga kami sudah kelap-kelip merah atau memang medan jalan aspalnya semakin miring, jadinya di ruas jalan aspal ini kami akhirnya NUNTUN sepeda, wakakakak. #senyum.lebar

 

Pas lewat di pinggir jalan itu aku lihat ada papan petunjuk ke arah petilasan Alm. Mbah Maridjan. Tapi ya lagi-lagi, Kang Sigit nggak mau diajak berhenti!

 

Hadeh... sudah berapa banyak ini obyek menarik di pinggir jalan yang terlewatkan semata-mata demi menggapai ujung jalan aspal? #hehehe

 

 


Woooh! Sugeng rawuh dugi Kinahrejo! Menawi ajeng teng puncak margine pundi? #senyum.lebar

 

Kira-kira pukul 10 kurang 10 menit, kami lihat ada papan petunjuk yang mencantumkan nama tempat “PUNCAK KINAHREJO”. Oh yes! Apakah ini pertanda bahwa ujung jalan aspal sudah dekat!? #senyum.lebar

 

Ternyata betul saudara-saudara sekalian! Setelah kami mengikuti arah menuju “PUNCAK KINAHERJO”, kami bertemu dengan ujung jalan aspal yang tidak lain adalah...

 

JURANG!

 


WADUH! Masa depan suram ini namanya.... #hehehe

 

 

Kaget? Jelas! #senyum.lebar

 

Walaupun sebetulnya sih, aku sudah punya firasat bahwasanya semua jalan aspal yang dekat dengan puncak Merapi pasti kondisinya porak-poranda setelah bencana erupsi tahun 2010 silam.

 

Lha ya terus gimana ini?

Jadinya petualangan bersepedanya berhenti sampai di pinggir jurang?

 

“Piye Wij? Lihat ada jalan muter nggak buat nyeberang jurang?”, tanya Kang Sigit sambil celingak-celinguk

 

Tanpa pikir panjang, pertanyaan Kang Sigit itu aku balas dengan “ceramah” singkat.

 

“Lha gimana toh? Kita ini kan mantan militan SPSS! Masak sama jurang begini saja nggak bisa lewat!? Kita kan sudah dilatih sama Mbah Gundul buat melibas medan yang aneh-aneh. Ketemu jurang begini ya tinggal disebrangin saja toh? Angkat saja sepedanya!”

 

“Lha emang buat ke bawah jurang ada jalannya?”, tanya Kang Sigit

“Ada lah pasti. Kalau nggak ada, kita bikin aja jalannya!”, jawabku sekenanya #hehehe

 

 


Percaya deh! Kami sudah pernah melakukan akrobat sepeda yang lebih parah dari menuruni jurang macam ini. #hehehe

 

Jadilah kami bertiga berakrobat menyebrangi jurang sambil membawa sepeda dengan ajian ilmu “ora kalap” bin “koyok” ala SPSS yang sudah sekian tahun nggak dipraktekkan. #senyum.lebar

 

Untungnya jurang ini nggak terlampau dalam. Hanya sekitar 30-an meter. Untungnya juga dasar pasirnya lumayan kokoh. Jadi ya Alhamdulillah kami sukses menyebrang ke sisi seberang jurang dalam tempo yang lumayan singkat.

 

Tapi, kalau mau dipraktekkan lagi ya WEGAH! #hehehe

 

 


Nggak afdol blusukan kalau nggak nyerempet masuk hutan. #senyum.lebar Minimal ya semak belukar lah. #hehehe

 

Di sisi seberang jurang jelas sudah nggak ada lagi yang namanya jalan aspal. Yang ada hanya batu, kerikil, pasir, dan semak-semak. Boleh dibilang suasananya seperti di pinggir hutan lah.

 

Tapi, dari tadi kami dihantui rasa penasaran. Sebetulnya di seberang jurang ini ada apa sih? Soalnya, pas sebelum nyeberang jurang tadi kami mendengar suara riuh yang asalnya dari sisi seberang.

 

Nah, begitu kami menyibak sisi seberang jurang lebih jauh, kami dikagetkan oleh pemandangan yang tidak kami sangka-sangka...

 

KALIADEM!

 

... wee ...

 

KAMI NYEPEDA SAMPAI KALIADEM!

 

... gilak ...

 


STOP! STOP! STOP Kang! Jalan aspalnya udah nggak ada!!! (gile aje bersepeda sampai puncak Merapi #hehehe)

 


Foto keluarga dulu, hahaha, latarnya kayak editan studio. Tapi beneran NO HOAX lho ini! #senyum.lebar

 

Eh, buat Pembaca yang belum tahu apa itu Kaliadem, silakan klik tautan ini ya!

 

 

Di Kaliadem kok Malah Banyak....

Ini betul-betul agenda bersepeda yang kurang kerjaan! Hahaha. #senyum.lebar

 

Hanya dengan mengikuti jalan aspal dari Cangkringan, ternyata malah berujung di Kaliadem! Selepas erupsi Merapi tahun 2010, akses jalan ke Kaliadem hanya bisa dilalui oleh Jeep. Tapi ini kami ke Kaliadem DENGAN NYEPEDA!

 

Waow... fantastis....

 

 

Terus terang, kehadiran kami tiga pesepeda dengan satu sepeda lipat itu mengundang rasa gumun dari orang-orang di sana. Terutama turis asing ya. Aku mendengar ada cewek bule yang ngomong begini ke pemandu wisatanya.

 

“So, you could bike up to here?”

 

Jelas si pemandu wisata cuma diam dan memandang kami. Sedangkan aku mesam-mesem mendengar pertanyaan si bule. #senyum.lebar

 


Umumnya orang ke Kaliadem naik jeep. Kalau kami nggak umum karena naik sepeda. #hehehe

 

 

Kami tiba di Kaliadem pada pukul setengah 11 siang. Itu artinya, kami membutuhkan waktu bersepeda 3 jam dari Rumah Makan Moro Lejar. Sedangkan kalau dihitung dari rumahku di pusat Kota Jogja ya waktunya sekitar 4,5 jam lah.

 

Lumayan kan untuk jarak tempuh nanjak sejauh 30-an km? #senyum.lebar

 

Ternyata bersepeda ke Kaliadem itu nggak secapek dibandingkan bersepeda ke Pantai Ngunggah atau Laut Bekah. Mungkin karena kemiringan jalannya nggak terlampau curam dan hawanya sejuk khas pegunungan.

 

Tapi ya buat yang nggak terbiasa bersepeda jauh pakai sepeda lipat, JANGAN COBA-COBA bersepeda ke Kaliadem kayak Kang Sigit itu! #hehehe

 

 


Nggak ada kantong sampah plastik, tas kamera Lowepro pun tak jadi soal. #hehehe

 

Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, melihat kondisi di sekitarku penuh sampah, aku pun berinisiatif memungutnya. Karena pas waktu itu nggak bawa kantong plastik, jadinya terpaksalah tas kamera jadi wadah sampah darurat. #senyum.lebar

 

Ngawur toh? Tapi lebih ngawur lagi ORANG YANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN DI LERENG MERAPI! #emosi

 

Sebagai orang yang tidak hobi naik gunung, inilah aksi yang bisa aku lakukan supaya Merapi tetap bersih dan terawat. #senyum

 

 

Bersepeda Pulang dari Kaliadem Lewatnya itu....

Sekitar pukul 11 siang lebih sedikit, kami pun balik dari Kaliadem. Rute pulangnya nggak lagi nyebrang jurang, melainkan lewat jalan yang biasa dilalui sama jeep-jeep Lava Tour Merapi.

 

Ini yang seru! Soalnya medan jalannya berupa jalan kerikil bercampur pasir yang sangat-sangat-sangat NGGAK NYAMAN dilalui sepeda yang pakai fork ala kadarnya. Apalagi sepeda lipat yang jadi tunggangannya Kang Sigit. Nggak kebayang deh gimana itu rasa goncangannya. #hehehe

 

Makanya, di sepanjang jalan rusak yang menurun ini aku berulang kali berdoa.

 

“Ya Allah! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor! Bannya jangan bocor!” #hehehe

 


Jalannya rusak mungkin karena sering dilalui jeep. Sepertinya juga nggak ada niat untuk diperbaiki.

 

 

Alhamdulillah, di sepanjang perjalanan menuruni jalan rusak ini nggak ada kendala yang berarti. Hanya sekali rantai sepedanya Rizky mencolot dari gir depan. Selain itu semuanya aman-aman saja. #senyum

 

Kami baru berjumpa dengan jalan aspal yang mulus rata dan bergaris putih pembatas kira-kira pada pukul setengah 12 siang. Jalan aspal ini berujung di ruas Jl. Cangkringan – Prambanan di pertigaan arah ke Sendang Srodokan.

 

Sebelum pulang ke kediaman masing-masing, kami sarapan kesiangan dulu di warung soto murah meriah pinggir jalan. Tentu si mbak warung soto keheranan begitu mendengar cerita kami bersepeda sampai Kaliadem. #hehehe

 


Dua orang pria tangguh dengan sepeda tangguh. #senyum.lebar Masih pantas lah punya ijazah SPSS, wekekekek.

 

 

Agenda bersepeda kali ini menurutku sangat menarik! Soalnya ya baru sekali ini aku bersepeda sampai ke Kaliadem! Biasanya ya hanya sampai di Kaliurang.

 

Kalau dipikir-pikir, bersepeda ke Kaliadem sama bersepeda nyari Mata Air Bebeng itu jarak tempuhnya kurang lebih sama lho! Tapi kok yang bersepeda ke Kaliadem ini selepas zuhur sudah rampung sementara yang bersepeda ke Bebeng itu malah masuk kategori PEKOK ya? Hahahaha. #senyum.lebar

 


Klik tautan ini untuk membaca kisah kami bersepeda mencari Mata Air Bebeng di tahun 2014 silam. #senyum.lebar

 

 

Oh iya, kabarnya pada pertengahan tahun 2016 ini bakal dibangun jalan dan jembatan yang melintasi jurang yang kami sebrangi itu. Jadinya, mungkin setelah ini bakal banyak pesepeda yang meramaikan Kaliadem.

 

Kalau menurutku ke Kaliadem itu lebih enak naik sepeda daripada naik jeep. Terutama buat mereka yang pingin ngirit ya. Soalnya ongkos naik jeep Lava Tour Merapi kan mahal. Lha, dengan sepeda paling cuma keluar uang Rp10.000 buat beli jajanan dan minum. Tapi ya jelas kalau mau bersepeda ke Kaliadem syaratnya harus punya dengkul yang prima, hehehe. #hehehe

 

Jadi, bagi Pembaca yang siapa tahu kurang puas bolak-balik bersepeda Jogja – Pakem – Kaliurang, sekali-kali boleh dong nyobain rute ke Kaliadem! Sepeda lipat saja bisa kok! TANPA LOADING pula! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI