Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pada Rabu siang (9/3/2016) itu, aku tengah berada di suatu tempat yang asing. Aku sama sekali belum pernah ke sini. Belum kenal tempat ini. Sama sekali buta dengan kondisi di sekitar sini.
Di tengah keterasingan itu, aku memberanikan diri untuk melangkahkan kaki. Maju menyibak masa depan yang senantiasa terlihat samar. Diiringi oleh untaian peluh yang menetes satu demi satu.
Hingga pada suatu ketika, di suatu padang ilalang, pandanganku terpaku pada wujud suatu rumah. Rumah yang terletak di atas bukit. Rumah yang diam menyepi, menyendiri, terasing, sebagaimana aku di siang hari itu.
Tanpa pikir panjang, aku pun mengubah haluan. Kulangkahkan kaki menuju ke rumah. Menyibak lebatnya rumpun ilalang. Mengusir satu demi satu keraguan. Yang mana, aku yakin akan kutemukan jawabannya di rumah tersebut.
“Akhirnya! Ketemu juga tempat untuk berteduh!”
Rumah Tua di Atas Bukit
Dalam perjalanan ini, sekali-dua kali aku merogoh saku celana. Kemudian melirik ke layar handphone. Tak ada sinyal. Rasa-rasanya, di tempat ini aku benar-benar terasing dalam ketersendirian.
Sepintas pula aku lirik angka yang muncul di jam handphone. Ada angka 10 bersanding dengan angka 42. Ah... rupanya belum ada pukul 12 siang. Tapi entah kenapa, matahari di Kabupaten Belitung Timur bersinar terik sekali. Alhasil, suhu udara pun terasa PANAS BUKAN MAIN! Boleh jadi, lebih panas dari Kota Surabaya maupun Kota Semarang di siang hari bolong.
Maka dari itu. Demi mencari tempat teduh untuk sekadar meluruskan kaki dan meneguk bekal air minum, aku pun mengarahkan langkah menuju ke teras rumah. Semoga di sana ada tempat yang representatif untuk beristirahat.
Di teras rumah tua itu aku menatap nanar ke arah seng-seng tua nan berkarat yang menutup jendela-jendela dan pintu rumah. Aku amati, benar-benar tidak ada satu pun celah yang memungkinkanku untuk bisa menyelinap ke dalam rumah.
Meski begitu, tidak lantas aku berputus asa. Aku mencoba mencari celah lain. Aku melongok ke samping rumah dan melihat ada sederet jendela berukuran besar. Ini dia! Bila lewat pintu gagal, lewat jendela pun tak jadi soal. #hehehe
Tapi, lagi-lagi! Ternyata jendela-jendela besar ini pun terkunci rapat! Aku coba menggoyang-goyangkan bingkai-bingkai kusen tua, namun tetap saja tak membawa perubahan. Benar-benar sama sekali nggak ada celah buatku untuk menyelinap masuk.
Wew, gimana ini?
Dengan asa yang kian memudar, aku sempatkan melongok isi rumah lewat kaca jendela. Sesuai dugaanku, nggak ada satu pun benda berharga di dalam rumah. Isi rumah kosong melompong tanpa ada perabot. Walau demikian, menurutku kondisi isi rumah ini lumayan bersih.
Eh, eh, eh...
Sebentar deh...
Setelah aku pikir-pikir, kelakuanku di atas ini kok mencurigakan mirip maling ya? #senyum.lebar
Sosokmu di Antara Hamparan Rumput
Karena tak bisa masuk ke rumah, akhirnya ya aku kembali lagi saja ke teras. Aku duduk beralaskan tegel teras yang kusam oleh debu. Aku keluarkan botol air mineral dari dalam tas kemudian meneguknya perlahan.
Ah! Alhamdulillah...
Seger...
Sembari meneguk air minum aku memperhatikan langit yang merona biru. Di satu sudut langit, aku lihat ada kerumunan awan-awan mendung. Ah, mungkin itu sebabnya cuaca di siang hari ini panas sekali. Tanda-tandanya mau turun hujan. Tapi kok ya, aku malah nggak bawa mantel? Duh! Gawat! #hehehe
Selang beberapa menit, aku pun bangkit dan memutuskan untuk kembali ke titik awal perjalananku di tempat asing ini. Sebelum beranjak pergi, untuk yang terakhir kali aku ingin menikmati pemandangan indah yang menemaniku sewaktu duduk-duduk di teras rumah.
Ah... Subhanallah!
Andai saja rumah tua ini tidak terbengkalai, sepertinya enak sekali berlama-lama di sini memanjakan mata. Mungkin itu juga yang dinikmati oleh mereka yang dahulu kala menghuni rumah ini.
Kalau mau ke pantai ya tinggal jalan kaki. Kalau pun malas berbasah-basahan, tinggal duduk-duduk di teras sambil memandang lautan lepas. Dahulu kala, mungkin rumput-rumput ilalangnya belum serimbun sekarang.
Eh, tapi tunggu dulu!!!
Apakah betul tumbuhan yang aku lihat ini yang disebut rumput ilalang?
Apakah tumbuhan ini memang Imperata cylindrica? Atau malah Miscanthus sinensis?
Sebabnya, Kota Manggar yang notabene tempat di mana rumah dan pantai ini berada memiliki ejaan dalam aksara China sebagai 芒加尔.
Karakter 芒 bisa diartikan sebagai Miscanthus sinensis. Dibaca mang.
Karakter 加 diartikan sebagai aksi menambahkan (to add). Dibaca jia.
Karakter 尔 punya arti kamu (you). Dibaca er.
Sumber: https://en.wiktionary.org/wiki
Aku sendiri mengartikan Manggar sebagai KAMU, duhai sang penyuka laut, yang terlihat anggun di antara hamparan Miscanthus sinensis.
Tak tahulah. Sosokmu senantiasa menyeruak ke dalam benakku, setiap kali aku singgah di pantai berpasir putih dan berlaut biru. Seakan-akan, di pantai yang tak bernama ini, aku bisa melihat wujudmu dengan jelas.
Engkau berdiri di sana.
Membelakangiku.
Dikelilingi rerumputan.
Menatap lepas ke arah laut.
Dengan pakaian yang berkibar-kibar tertitup angin.
Seperti itu. #senyum.lebar
Lantas, bolehkah bila aku memendam tanya?
Apakah kamu senang berada di antara rerumputan ilalang?
Apakah kamu senang menikmati pantai yang sepi dan terasing ini?
Apakah kamu senang mengagumi karya Tuhan?
Dan juga, apakah kamu seorang penikmat kopi?
Sebab Manggar terkenal dengan kopinya. Kopi Manggar. Kamu mungkin bakal terkesima dengan banyaknya warung kopi di seantero Manggar. Bagi warga Manggar, tiada hari tanpa minum kopi. Sebagaimana aku, tiada pantai tanpa terbayang oleh sosokmu.
Mungkin pula, sebaiknya kamu tidak usah menyesap kopi Manggar. Supaya kamu tidak terjaga dari mimpi yang kelak kan mengantarmu ke pantai ini. Setidaknya, di alam mimpi, kamu bisa menikmati pantai ini TANPA KEPANASAN seperti yang aku alami di siang hari ini. #hehehe
Mohon maaf, bila hanya doa dan harapan yang sanggup aku berikan kepadamu dari Manggar sebagai oleh-oleh. #senyum
Aku di Suatu Tempat di Belitung Timur
Nah, jadi sebetulnya, di pantai manakah aku berada sekarang ini?
Jawabannya adalah AKU NGGAK TAHU! Gyahahaha #senyum.lebar.
Yang jelas, awalnya aku tadi iseng-iseng jalan kaki menyusuri bibir Pantai Nyiur Melambai yang terletak di Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Tahu-tahu, setelah sekian puluh menit berlalu, eh malah nemu pantai sepi yang di dekat sana ada rumah tuanya ini.
Ya namanya juga Pulau Belitung. Garis pantainya kan puaaanjaaang. Bermula menyusuri pantai yang ini, bisa berakhir di pantai yang sana. Ujung-ujungnya? Ya nyasar! #senyum.lebar
Dari rumah tua, iseng-iseng lagi aku berjalan kaki mendaki bukit. Aku ya penasaran. Ada obyek menarik apa lagi sih di sekitar rumah tua ini? Eh! Nggak disangka-sangka, aku malah nemu jalan raya!
Alhamdulillah! Akhirnya ketemu jalan pulang juga! Hahaha. #senyum.lebar
Aku berasumsi kalau ujung jalan raya ini adalah di pusat keramaian Pantai Nyiur Melambai. Jadi ya, ganti suasana jalan pulang lah! Masak pergi-pulang menyusuri bibir pantai terus? Sekali-kali nyari medan jalan yang kering lah. #senyum.lebar
Sepanjang aku berjalan kaki menyusuri jalan raya ini suasananya masih sama. Sama sepinya maksudku. Nggak ada orang lewat. Nggak ada kendaraan lewat. Pun nggak ada ayam yang numpang nyebrang. #eh
Intinya masih sama... SEPI....
Tapi boleh dikata, pelan-pelan aku mulai terbiasa dengan suasana sepi nan syahdu di Pulau Belitung ini. Menurutku, Belitung ini benar-benar tempat yang cocok untuk mengasingkan diri, untuk menyepi, untuk semadi #eh, untuk menjauh dari hiruk-pikuk kota besar. Intinya, Belitung adalah tempat yang cocok untuk menemukan jati diri dalam keterasingan (haiyah, bahasanya! #hehehe).
Di pinggir jalan raya, aku lihat ada sejumlah rumah tua. Kondisinya masih lumayan terawat. Boleh jadi karena masih dihuni. Gaya arsitekturnya sendiri 11-12 dengan rumah tua yang tadi aku singgahi. Mungkin ya dibangunnya sekitar tahun 1970-an atau 1980-an. Klasik dan antik lah pokoknya.
Dari jalan raya aku ya sempat celingak-celinguk. Siapa tahu, ada penghuni rumah yang kebetulan berada di halaman. Siapa tahu pula mereka berkenan diajak berbasa-basi. Akan tetapi sayang, nggak ada seorang pun di luar rumah. Mungkin karena hawa di luar panas. Jadinya warga lebih memilih untuk ngadem di dalam rumah.
Sedangkan aku? Panas-panasan begini malah jalan kaki! Gyahahaha. #senyum.lebar
Selain rumah-rumah tua, aku juga melihat sejumlah bangunan kusam dan tak terawat di pinggir jalan raya. Dugaanku, bangunan-bangunan ini difungsikan sebagai tempat peristirahatan alias rest area. Yakni tempat di mana para pelancong bisa ber-kongkow-kongkow sambil menikmati pesona pantai pasir putih yang dinaungi langit biru cerah.
Di antara gazebo-gazebo rest area itu, terlihat satu-dua sepeda motor terparkir di bawah pepohonan rindang. Ah, nggak perlulah kita selidiki di mana kiranya penunggangnya berada. Mungkin saja yang bersangkutan juga sedang berteduh dari hawa panas Belitung sambil melakukan hal-hal positif. #hehehe #jangan.berpikir.buruk
Dari rest area ini, aku memutuskan untuk turun menjejak pasir pantai. Sebab, bila aku endus-endus, sepertinya lebih cepat sampai ke Pantai Nyiur Melambai dengan menyusuri pantai daripada dengan menyusuri jalan raya. Tapi ya dengan resiko bakal lebih panas karena tidak ada pohon peneduh.
Anyway, dalam hidup ini kita selalu disodori pilihan bukan? Antara yang cepat tapi sulit dan yang lambat tapi mudah? #senyum.lebar
Ternyata keputusanku tepat! Selain karena Pantai Nyiur Melambai sudah tampak di pelupuk mata, di sepanjang perjalanan menyusuri bibir pantai ini aku juga berjumpa dengan beberapa pengunjung.
Ada yang ramah menyapaku, “Motret juga Mas?”, kemudian berlalu dengan DSLR di selempangannya.
Ada pula yang berseru kegirangan, “Sini! Sini! Foto!”, sambil berpose di atas hamparan pasir putih berlatar laut biru.
Apa pun itu, akhirnya, blusukan-ku dalam keterasingan dan kesendirian ini pun paripurna. #senyum.lebar
“Dari mana Mas?”, tanya seorang bapak yang menyadari kalau barusan diam-diam aku memotret sosoknya dengan putranya #kegep #hehehe
“Dari pantai di sebelah sana Pak”, tunjukku sekenanya ke arah yang kira-kira merupakan lokasi di mana pantai tak bernama yang kusinggahi tadi berada
“Bukan, asalnya dari mana?”
“Oh, Jakarta Pak. Kalau bapak dari mana?”, di saat seperti ini, lebih baik menyebut daerah asal sama seperti identitas di KTP #hehehe
“Kalau saya sih warga sekitar sini Mas. Sudah lama di Belitung?”
“Sudah 2 hari Pak. Dari Senin kemarin. Mumpung ada gerhana jadinya jalan-jalan ke Belitung deh Pak.”
“Ya sekalian jalan-jalan di Belitung Timur Mas! Di sini banyak tempat yang bagus-bagus! Di pantai ini kalau sore-sore juga banyak yang main bola.”
“Hah? Main bola Pak!? Di mana?”, aku heran, kayaknya dari tadi aku nggak lihat tuh ada lahan luas yang bisa dipakai buat main bola
“Ya di sini ini Mas! Di sini kan lautnya nggak dalam. Hanya sebatas itu (sambil menunjuk perahu di kejauhan). Kalau pas sore ya air lautnya surut sampai ke batas itu.”
Wew! Ternyata di Pantai Nyiur Melambai ini air lautnya juga mengalami pasang surut yang jauh banget! Rupanya sama karakteristiknya seperti di Pantai Tanjung Pendam. Sama-sama nggak cocok untuk motret nyari ombak. #hehehe
Obrolan kami pun terputus tatkala putra beliau merajuk pindah lokasi bermain. Ah, sepertinya pantai-pantai di Belitung ini memang idealnya untuk bermain air, bukan untuk mencari obyek foto slow-speed.
Kalau aku pikir-pikir, memang lebih nyaman bermain air di pantai yang ombaknya tenang dan lautnya dangkal seperti ini. Orangtua yang membawa anak kecil pun nggak bakal dibuat terlalu khawatir.
Beda lah dengan laut di pantai-pantai Pulau Jawa. Apalagi di kawasan pantai selatan yang ombaknya ganas-ganas. Kalau tidak waspada, bisa-bisa hanyut terbawa ombak. Hiii....
Pantai Nyiur Melambai pada Hari Gerhana
Pantai Nyiur Melambai adalah pantai primadona bagi warga Kota Manggar. Pantai ini termasuk salah satu titik pengamatan gerhana matahari total. Khususnya di wilayah Kabupaten Belitung Timur.
Ternyata, nggak hanya kami yang notabene turis Jakarta saja yang tertarik berwisata kemari. Aku juga sempat bertemu seorang ibu asal Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang jauh-jauh singgah di Belitung Timur dalam rangka menyaksikan fenomena gerhana matahari total.
Sepertinya memang benar kalau fenomena gerhana matahari total ini betul-betul membuat seluruh perekonomian di Belitung menggeliat. Semoga ya bukan sesaat saja.
Oh iya, jarak pantai ini dari Kota Tanjung Pandan lumayan jauh lho! Sekitar 50-an kilometer. Soalnya, Kota Tanjung Pandan kan di sisi ujung barat Pulau Belitung. Sedangkan Kota Manggar di sisi ujung timur Pulau Belitung. Ya, dari ujung ke ujung lah ceritanya.
Aku akhirnya berkumpul kembali dengan Bapak dan Ibu di suatu kafe di pinggir pantai. Beliau-beliau ini tampak asyik melahap bakso ikan sambil menyeruput air kelapa muda. Duh, nikmatnya. #hehehe
Dari Pantai Nyiur Melambai, perjalanan kami pun berlanjut. Masih di seputaran Kota Manggar. Sebab, urusan kami dengan Kota Manggar masih jauh dari usai!
Pembaca mau punya rumah di pinggir pantai seperti yang ada di awal artikel ini? #senyum.lebar
Tapi, meskipun sepi di sana kayaknya tetap merasa aman ... tidak seperti di Jawa, kalau di daerah sepi .. ketemu orang malah takut. :D
Eh btw, kok kamu berani ya masuk-masuk omah tua gitu. Kalau ada apa-apa gimana? haha.
Kamu rajin banget updatenya. Mainnya jauh-jauh mulu.
Nek aku sih pasrah wae seumpama ada apa-apa, hahaha. :D
Ini jarang-jarang main jauh yaaa.
Eh pantainya bagusss banget lho ya, biruu kontras putih sama pasirnya.
Jadi udah ketemu hantu di rumah tua?