Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Di pinggir jalan raya di Kecamatan Piyungan, Bantul. Tepatnya di emperan kedai jajanan pasar. Aku dan Mbah Gundul terlibat suatu obrolan singkat.
“Wis, wis tau kerungu Puncak Bucu urung?” [1], tanya si Mbah
“Sing kerep ono ng internet kae toh Mbah? Mung aku rung tau merono.” [2]
“Merono gelem ra?” [3]
[1] Wis, sudah pernah dengar Puncak Bucu belum?
[2] Yang sering ada di internet itu toh Mbah? Tapi aku belum pernah ke sana.
[3] Ke sana mau nggak?
Nah! Ini dia! Ini dia ajakan khas Mbah Gundul yang amat sangat harus dicurigai! #hehehe
Terus terang, ajakan Mbah Gundul itu nggak bisa serta-merta aku jawab lugas. Aku lirik ke sebelah. Tampak Kang Sigit lagi asyik ngemil jajanan. Sepertinya dia nggak mendengar obrolan kami barusan. #hehehe
“Aku sih manut wae Mbah. Gur Wonolelo kae toh?” [4], ujarku pelan
“Yo, Wonolelo isih munggah meneh.” [5]
[4] Aku sih manut saja Mbah. Cuma di Wonolelo itu toh?
[5] Ya, Wonolelo masih naik lagi.
Selepas itu, nama Puncak Bucu nggak pernah disebut-sebut lagi sepanjang perjalanan. Dari kedai jajanan pasar, kami fokus bersepeda menuntaskan misi utama yakni mengunjungi Air Terjun Surupethek di Desa Bojong.
Singkat cerita, Alhamdulillah misi bersepeda pada hari Sabtu (19/12/2015) itu pun akhirnya sukses terlaksana. Bagi Pembaca yang ingin tahu bagaimana perjalanan ke Air Terjun Surupethek, silakan nge-klik tautan di bawah ini. #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Perjalanan Pulang Masih Panjang
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi saat kami bersiap-siap pulang dari Air Terjun Surupethek. Dalam kamus kami, pukul 10 itu tergolong masih pagi untuk “sekadar” balik ke rumah. Mungkin itu sebabnya Kang Sigit mendadak melontarkan pertanyaan yang cukup provokatif. #hehehe
“Ayo! Habis ini mau ke mana lagi kita?”, tanyanya bersemangat
Aku diam saja mendengar pertanyaan Kang Sigit. Nggak ada niat untuk menimpali. Sebab aku yakin, Mbah Gundul pasti bakal menyambarnya dengan ajakan “itu”. #hehehe
“Ke Puncak Bucu mau nggak?”, si Mbah balik nanya
“Lewatnya mana itu Om?”, Kang Sigit penasaran
“Ya Wonolelo masih terus lagi.”
“Oh, nanti yang tembusnya ke Jalan Wonosari itu ya?”
“Iya bisa. Tapi nggak sampai Jalan Wonosari juga bisa.”
Supaya Pembaca lebih jelas, jalur menuju Puncak Bucu yang dimaksud Mbah Gundul itu adalah dengan melalui ruas jalan alternatif yang menghubungkan Desa Wonolelo di Kecamatan Pleret dengan Jalan Raya Jogja – Wonosari. Kami menyebut ruas jalan ini dengan nama Jalur Wonolelo.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, kami sudah akrab dengan Jalur Wonolelo ini. Dahulu kala, saat SPSS belum tercerai-berai #nostalgila, Mbah Gundul pernah beberapa kali mengajak kami “latihan” di Jalur Wonolelo.
Aku sebut sebagai “latihan” karena Jalur Wonolelo dihuni sejumlah tanjakan panjang. Memang sih, tanjakannya masih lebih ramah dibandingkan tanjakan tetangga, yakni Cinomati. Tapi tetap saja, segala jenis tanjakan itu kan menguji kesabaran dan juga kekuatan dengkul toh? #hehehe
SILAKAN DIBACA
“Piye Wis?” [6], Mbah Gundul balik bertanya ke aku
[6] Gimana Wis?
Agaknya Mbah Gundul ingin memastikan bahwa pendirianku masih teguh, sesuai kata manut yang aku ucapkan di kedai jajanan pasar beberapa jam yang lalu.
Aku sendiri sih,
Mau rute pulangnya lewat Wonolelo kek.
Mau tembus ke Jalan Wonosari kek.
Mau mampir ke Puncak Bucu kek.
Buatku semuanya fine-fine saja. #hehehe
#hidup.pas.lagi.senggang
Lagipula, beberapa hari yang lalu aku kan sudah “latihan” melibas tanjakan jahanam ke Samigaluh. Lha masak nanjak ke Puncak Bucu yang masih di wilayah Piyungan saja nggak kuat? Kan ketinggian Piyungan itu nggak ada 1/3 nya ketinggian Samigaluh? Mau ditaruh di mana harga dengkulku? #hehehe
SILAKAN DIBACA
“Takon Kang Sigit wae Mbah. Kan omah e sing paling adoh ng pucuk Sleman kono.” [7]
[7] Tanya Kang Sigit saja Mbah. Kan rumahnya yang paling jauh di pucuk Sleman sana.
Padahal kalau dipikir-pikir, rumah Kang Sigit di Desa Purwomartani, Kalasan sana hitungannya belum pantas disebut “pucuk Sleman”. Lebih pucuk Desa Glagaharjo di Cangkringan kan? #hehehe
“Woooh tenang! Kan ada Om Bay! Kalau nggak kuat ya tinggal minta ditarik atau ditandem. Pulangnya ke rumah kalau nggak kuat kan bisa dianter pakai motor. Iyo ora Om?”, ujar Kang Sigit cengengesan
Aku sudah menerka Kang Sigit nggak akan menolak ajakan Mbah Gundul. Sebagai mantan prajurit SPSS yang sudah dua kali menguji dengkul di Jalur Wonolelo, tentu dirinya sudah paham seperti apa medan yang harus dilibas beberapa kilometer ke depan.
Alhasil, diputuskanlah misi baru! Pulang dari Air Terjun Surupethek dengan mampir ke Puncak Bucu! #senyum.lebar #ketok.palu
Sepanjang Jalur Wonolelo yang Penuh Kenangan
“Dirimu yang paham jalannya di depan Om!”, perintah Kang Sigit
Kami pun bertolak dari parkiran Air Terjun Surupethek menuju Puncak Bucu dengan dipimpin oleh Mbah Gundul. Selang beberapa menit sampailah kami di pertigaan jalan yang bercabang menuju Jalur Wonolelo dan Tanjakan Cinomati. Di sini aku kecapekan dan memutuskan duduk sebentar di pos ronda.
“Weh? Ngopo mandeg? Ayo gek ndang mangkat!” [8], seru Mbah Gundul
“Kosek, kosek! Santai Mbah! Aku ngombe sik Mbah!” [9]
“Ombemu isih po ora? Tuku neh wae timbange mengko ra kuat ngepit.” [10]
“Santai Mbah! Kuat, kuat! Mengko wae nek ng ngarep ono warung.” [11]
[8] Weh? Kenapa berhenti? Ayo lekas berangkat!
[9] Nanti, nanti! Santai Mbah! Aku minum dulu Mbah!
[10] Minummu masih apa nggak? Beli lagi saja daripada nanti nggak kuat bersepeda.
[11] Santai Mbah! Kuat, kuat! Nanti saja kalau di depan ada warung.
Aku lirik jam di handphone. Rupanya sudah pukul setengah 11 siang. Beh, pantas saja hawanya mulai panas. Kalau begini kondisinya aku mesti hemat-hemat minum air. Maklum, waktu itu aku cuma bawa bekal air minum 600 ml. #hehehe
Cabang jalan di Jalur Wonolelo ini salah satunya mengarah ke Grojogan Kali Bulan. Hanya saja, pada waktu itu aku merasa sedikit janggal karena di sepanjang jalan (terutama di cabang pertigaan Tanjakan Cinomati) aku sama sekali nggak melihat papan petunjuk arah ke Grojogan Kali Bulan. Padahal, dulu sewaktu aku singgah di bulan Maret 2015 silam, aku lihat ada banyak papan petunjuk dipasang di sana-sini.
Ndilalah, aku menemukan dua papan petunjuk Grojogan Kali Bulan teronggok di dalam rak kios bensin eceran. Apa jangan-jangan, Grojogan Kali Bulan kini tertutup untuk umum ya?
Hmmm, patut diselidiki ini. Ada apa gerangan kenapa papan-papannya dilepas semua?
Dibanding papan petunjuk Grojogan Kali Bulan, obyek yang paling menarik di sepanjang perjalanan adalah Pos Ronda Kenangan! #senyum.lebar
Sebutan lain kami untuk pos ronda ini adalah Pos Ronda Kobong. Dalam bahasa Jawa, kobong artinya terbakar atau hangus. Itu karena pertama kali kami menjumpai pos ronda ini dalam kondisi hangus terbakar. Entah terbakar atau memang sengaja dibakar. #misteri
Yang jelas, waktu sekian tahun telah berlalu, personil SPSS berhamburan satu demi satu, tapi pos ronda ini tetap berdiri menjadi saksi bisu persahabatan kami. #senyum.lebar
“Ayo Wis! Gek ngopo mandeg meneh?” [12]
Hadeh... si Mbah... si Mbah. Aku jalan duluan di depan tapi pelan salah. Aku jalan di belakang sering berhenti-berhenti juga salah. Maumu apa toh Mbah?
“Wis Mbah, kono ndisiki ng ngarep wae!” [13]
[12] Ayo Wis! Mau ngapain berhenti lagi?
[13] Sudah Mbah, sana lebih dulu di depan saja!
“Lho Kang? Ngopo kok mandeg?” [14]
[14] Lho Kang? Kenapa kok berhenti?
Kali ini giliran aku yang bertanya pertanyaan serupa ke Kang Sigit. Dari tadi Kang Sigit ini selalu bersepeda menempati posisi nomor 1 atau nggak nomor 2. Dirinya aku perhatikan semangat sekali melibas Jalur Wonolelo.
Lha tapi kok sekarang berhenti ya? Apa Kang Sigit sudah mencapai batas staminanya?
“Sik! Mampir warung dulu, beli minum. Dirimu mau nggak?”
Wah, boleh ini! Air minum 600 ml ku ya kebetulan banget sudah sangat menipis. Semisal di depan ketemu tanjakan panjang bisa KO aku kalau nggak ada minum. Mana belum sampai Puncak Bucu pula.
“Om Bay mana Wis?”, tanya Kang Sigit
“Ah mbuh! Wis ng ngarep adoh paling.” [15]
“Yo wis, ayo cepet! Nanti kita ditinggal lagi!”
[15] Ah tauk! Sudah jauh di depan kali.
Ternyata Mbah Gundul berbaik hati menunggu aku dan Kang Sigit di pos ronda dekat SD Kaligatuk. Jarak pos ronda ini dari warung tempat beli air minum barusan hanya sekitar 100 meter. Medan jalannya lumayan nanjak.
“Ayo Mbah! Ngopo mandeg!?” [16]
[16] Ayo Mbah! Ngapain berhenti!?”
Aku yang tadi sempat berhenti lama pas beli air minum dengan sesumbarnya ngajak Mbah Gundul untuk melanjutkan perjalanan #senyum.lebar. Meski baru saja melibas tanjakan, aku merasa masih bertenaga untuk nggak berhenti.
“Di depan tanjakan yang paling tinggi lho!”, ujar Mbah Gundul santai
WADUH!
Lupa aku kalau ada satu tanjakan panjang di Jalur Wonolelo ini! Kemiringannya sih memang nggak semiring Tanjakan Cinomati. Tapi, dari dulu lewat sini nggak pakai nuntun adalah hal yang mustahil!
Alhasil, nyaliku mendadak ciut. Aku pun ikutan berhenti deh. #hehehe
Sepanjang Tanjakan Menuju Puncak Bucu
Sekitar 1 km dari dasar Tanjakan Kaligatuk, akhirnya kami sampai juga di cabang jalan menuju Puncak Bucu.
Ingat! Ini baru cabang jalan ke Puncak Bucu lho! #hehehe
Waktu menunjukkan pukul setengah 12 siang. Cuaca makin panas. Kami pun beristirahat sejenak di pinggir jalan yang lokasinya berdekatan dengan sendang (mata air) tak bernama.
Aku itu, setiap kali berjumpa suatu sendang senantiasa tergelitik untuk merasakan kesegaran airnya. Sekadar cuci tangan, cuci kaki, atau raup muka lah gitu.
Tapi, untuk sendang tak bernama ini aku urung. Soalnya dari penampakannya kok ya agak-agak “mencurigakan” gitu ya? #hehehe
Di dekat sana berdiri bangunan. Semacam kamar kecil lah. Dugaanku airnya diambil dari air sendang. Tapi ternyata, pas aku tanya ke warga, airnya bukan diambil dari air sendang, melainkan air sumur biasa.
Beh! Sepertinya air sendang ini nggak dimanfaatkan oleh warga setempat. Mbah Gundul pun aku cermati juga nggak ngutek-ngutek sendang. Dirinya lebih tertarik mengamati batu prasasti yang ada di dekat sendang.
WELEH!
Di sini ada kampus!? Yang benar ini? Di lokasi terpencil seperti ini? Lagipula, bangunannya mana ya? Apa jangan-jangan kampus fiktif? Atau malah kampus di dimensi lain? #hehehe
“Masih berapa jauh lagi Om?”, tanya Kang Sigit
“Sebentar lagi. Sudah dekat ini.”
Kata “sebentar lagi” itu menjadi pemompa semangat menuju Puncak Bucu di bawah terik matahari yang kian memanas. Eh, bisa jadi sih masih jauh. Tapi setidaknya, dari papan petunjuk arah di cabang jalan di atas, kami sudah mengarah ke jalan yang benar.
Tapi mbuh ceritanya semisal Mbah Gundul memilih rute “lain”! #hehehe
Jalan yang kami lalui ini berwujud jalan semen dua lajur seperti yang banyak dijumpai di pedesaan. Kontur jalannya masih menanjak walau nggak securam Tanjakan Kaligatuk yang barusan kami lalui itu. Jadi, lewat sini ya tetap menguras tenaga juga. #hehehe
Sesekali kami juga berpapasan dengan truk batu. Heran juga truk batu wira-wiri di jalan yang terbilang sempit seperti ini. Bisa jadi nun jauh di depan sana ada tambang batu. Tapi, yang demikian ini jelas membuat jalan rawan rusak toh?
“Kuwi lho wis kethok!” [17], ujar Mbah Gundul sambil mengarahkan pandangan ke puncak bukit
[17] Itu lho sudah kelihatan!
Woooh! Benar ternyata. Kelihatan ada tulisan Puncak Bucu di atas puncak suatu bukit. Tandanya sebentar lagi sudah sampai! #senyum.lebar
Mendekati Puncak Bucu, aku perhatikan mulai banyak terlihat warung-warung kecil. Ada pula lokasi parkir kendaraan. Mengingat ketenaran Puncak Bucu beberapa waktu silam, bisa jadi lokasi ini sudah dikelola warga setempat dan setiap pengunjung ditarik retribusi.
“Mbah, meh parkir ng ndi iki? Bayar ora?” [18], tanyaku ragu-ragu
“Digowo tekan kono wae.” [19]
“Hah? Emange iso Mbah? Ono dalane po?” [20]
[18] Mbah, parkir di mana ini? Bayar nggak?
[19] Dibawa ke sana saja.
[20] Hah? Memangnya bisa Mbah? Ada jalannya kah?
Berhubung Mbah Gundul mengaku sudah sering bolak-balik bersepeda ke Puncak Bucu, dirinya pun memandu aku dan Kang Sigit menuju jalan setapak yang sepertinya merupakan jalur “non-resmi”. Misal ketahuan oleh warga yang berjaga ya... biar urusannya si Mbah lah. #hehehe
Medan jalannya berwujud jalan tanah berbatu yang berundak-undak. Jadi, mau nggak mau sepeda harus dituntun. Yang bikin aku takjub, di sepanjang jalan setapak ditanami bibit pohon mangga! Seandainya sudah besar dan berbuah, tentu lokasi ini bakal merangkap jadi wisata petik mangga. #senyum.lebar
Akhirnya! Setelah bersepeda sekitar 2 jam-an dari Air Terjun Surupethek, kami sampai juga di Puncak Bucu! Alhamdulillah! #senyum.lebar
Inilah salah satu puncak perbukitan yang ada di Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta!
Di puncak ini terdapat bangunan dangau yang langsung dijajah olehku dan Kang Sigit yang sudah kelelahan. Maklum, sudah pukul 12 siang lewat sedikit. Panasnya bukan main.
Di dekat dangau ini terdapat tulisan besar Puncak Bucu yang fotonya sempat aku abadikan dari kejauhan itu. Tentu nggak afdol dong kalau sudah sampai sini tapi nggak berfoto keluarga untuk kenang-kenangan. #senyum.lebar
Suasana di sekitar dangau berupa tanah berundak dan semak. Semisal sebelumnya turun hujan pasti bakal becek dan membuat alas kaki kotor oleh lumpur.
Di sekitar dangau ini juga ada banyak bibit-bibit pohon yang ditanam. Sepertinya pengelola berencana mengubah kawasan ini menjadi lebih teduh di masa mendatang. Kalau aku perhatikan, di sekitar kawasan Puncak Bucu ini memang tidak begitu banyak pohon rindang.
Tentu saja, bagiku keberadaan tong sampah selalu menjadi nilai plus suatu obyek wisata! #senyum.lebar
Yang namanya puncak, jelas selalu menawarkan keindahan pemandangan dari ketinggian toh? Begitu pun dengan Puncak Bucu ini.
Puncak Bucu memiliki area pengamatan pemandangan ke arah barat laut. Sejumlah bangunan yang menjadi ikon Yogyakarta bisa kita amati dari sini. Misalnya saja, Perpustakaan DIY, mall Ambaruko Plaza, dan Hotel Royal Ambarukmo.
Sepertinya, Puncak Bucu adalah lokasi yang cocok untuk menikmati keindahan senja. Asalkan langitnya nggak mendung saja lho! #hehehe
Turunan Panjang Dalam Waktu Singkat
Sekitar pukul 1 siang kami pun bergegas meninggalkan Puncak Bucu. Extra Mission pada hari Sabtu selesai dituntaskan! #senyum.lebar
Untuk rute pulangnya, Mbah Gundul mengajak kami melewati jalan lain. Benar-benar menganut pakem, “Rute pulang tidak boleh sama seperti rute pergi” lah. #senyum.lebar
Hingga di suatu tempat Mbah Gundul memerintahkan aku dan Kang Sigit untuk berhenti dan menurunkan seatpost.
“Habis ini jalannya turunan terjal banget lho! Ayo turunin seatpost-nya!”
Aku yang selalu menolak untuk menurunkan seatpost, kali ini nggak berkutik dipaksa si Mbah. Aku merasa Mbah Gundul terlalu berlebihan. Tapi ternyata, turunan yang dimaksud Mbah Gundul memang benar-benar terjal! Hampir mirip dengan Tanjakan Cinomati kalau dibalik. Wew...
Lewat jalan turunan ini perjalanan kembali ke dasar pun menjadi SANGAT singkat. Nggak ada 15 menit kami sudah sampai lagi di jalan raya dekat kedai jajanan pasar. Padahal berangkatnya perlu waktu 2 jam, hahaha. #senyum.lebar
Jadi demikianlah cerita bersepeda mampir ke Puncak Bucu. Mungkin di antara Pembaca sudah ada yang pernah menikmati panorama di Puncak Bucu? #senyum
Aku sih tertarik ke sini lagi semisal pohon-pohon mangganya sudah besar dan berbuah. Siapa tahu berpotensi menyaingi Kebun Buah Mangunan yang jarang berbuah itu.
Eh, memangnya pohon-pohon buah di Kebun Buah Mangunan pernah berbuah ya? #hehehe
kemarin, 28 April 2024 saya
iseng2 ke puncak bucu untuk
pertama kalinya. Itupun gara2
ketika saya lewat ada papan
tulisan puncak bucu dipinggir
jalan raya besar setelah turun
dari gunung kidul. Jiwa yg
suka berpetualang inipun
tertarik untuk kesana. Eh
ternyata, pemandangan
tempat wisata itu sekarang
360 derajat berbanding
terbalik dengan foto yg
diterakan penulis disini dan
sayangnya harapan si penulis
untuk puncak bucu jadi lebih
bagus dimasa depan juga tak
terpenuhi. Ketika saya datang,
kondisinya tidak ada warung
atau parkir. Jalan naik keatas
saya kaget karna tangga naik
ke puncak bucu terlihat seram
dengan tangga naik dan batu
besarnya sudah ditutupi
semak tinggi dan lumut. Dari
situ saya tahu, tempat ini
sudah tidak beroprasi lagi.
Tapi karna penasaran, saya
tetap nekat naik juga.
Ternyata benar, seolah sudah
lama ditinggalkan, puncak
bucu tertutup semak-semak
tinggi dan gazebonya pun,
ditutupi semak tinggi. Karna
tak ada yg bisa dilakukan
disana dan agak takut ada
ular juga, jadi saya putuskan
untuk turun segera. Membaca
blog ini saya baru tahu,
tempat seram yg tak sengaja
saya datangi kemarin ternyata
pernah indah dan ramai. Saya
berpikir apa korona penyebab
tempat ini ditutup? Semoga
kedepannya tempat itu
dibersihkan dan dibuka
kembali untuk umum.
menggunakan MTB, booked ah...nice article sob :)
Dari Jolosutro - pos ronda jalan super extreme. Nanjak nuntun di jalan cor semen dan di ujung tanjakan lanjut jalan tanah super licin dan terjal. Bisa dibilang jalan air di waktu hujan. Soalnya memang baru dalam tahap rencana jalan tembus.
Btw, ada beberapa tulisan percakapan yang menurutku font e kecil banget. Kaga ketok. Wes tuo ki aku. Opo sengojo mas?
Holadala, mengko tak ganti style CSS e ben font-e luwih gedhe.
Cukup syahdu buat menikmati senja apalagi pas nggak banyak orang. Cuma ya itu, pas pulang rada tobat dengan kondisi jalan yang ada. :D