HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ngabuburit di Museum Sonobudoyo Bareng Arca-Arca

Sabtu, 9 Juli 2016, 15:16 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Hidup adalah pilihan (beserta konsekuensinya #hehehe) dan oleh sebab itu, kita memiliki beragam pilihan untuk melewatkan sore hari sembari menanti waktu berbuka puasa tiba (istilah populernya ngabuburit). Misalnya saja menghadiri kajian agama, keliling nyari takjil, terjebak macet di jalan raya #eh, sampai yang kurang umum yaitu belajar sejarah di museum.

 

Eh, sore-sore belajar sejarah di museum?

 

Bukannya kalau sore museum sudah pada tutup ya?

 

 

Ho oh! Betul itu! Sore-sore (apalagi pas menjelang magrib), umumnya museum-museum di negeri kita ini sudah tutup alias nggak menerima kunjungan wisatawan umum.

 

Nah, tapi... kalau ikut acara “Ramadan di Museum” yang digagas oleh Komunitas Yogyakarta Night at the Museum, kita bakal diperlakukan sebagai wisatawan khusus yang diperkenankan menjelajah museum di luar jam operasi resmi.

 

Gimana? Serasa jadi orang penting toh? #senyum.lebar

 

Seumur-Umur, Pertama Kalinya ke Museum Sonobudoyo

Pada bulan Ramadan 1437 H yang jatuh di tahun 2016 ini, Komunitas Yogyakarta Night at the Museum menyelenggarakan serangkaian kegiatan berjudul “Ramadan di Museum”. Para peserta diajak untuk belajar sejarah di museum di sore hari sampai tiba waktu berbuka puasa. Seru kan? #senyum

 

 

Di hari Rabu (15/6/2016) yang lalu, aku menyempatkan diri nimbrung di acara perdana “Ramadan di Museum” yang bertempat di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Tema jelajah museum di sore hari ini adalah “Koleksi Arca”.

 

Sayangnya, karena kesibukan kerjaan dan yang lain-lain, aku hanya sempat nimbrung di acara perdana ini, hehehe #hehehe. Kabarnya sih, di Museum Sonobudoyo sendiri bakal digelar 4 kegiatan jelajah museum dengan tema yang berbeda-beda, yakni “Koleksi Arca”, “Koleksi Islam”, “Koleksi Wayang dan Topeng”, serta “Koleksi Kebudayaan Bali”.

 

 

Balik lagi ke cerita di hari Rabu sore. Sekitar pukul 4 sore aku tiba di halaman parkir Museum Sonobudoyo. Di sana sudah berkumpul panitia, fasilitator, dan peserta kegiatan “Ramadan di Museum”.

 

Usai say hello sama Erwin – ketua Komunitas Yogyakarta Night at the Museum – aku dipersilakan menandatangani lembar absensi #serasa.ujian. Jauh-jauh hari, calon peserta disarankan untuk mendaftar terlebih dahulu. Lha, kalau daftarnya dadakan, bisa-bisa nanti nggak dapat jatah nasi boks? #eh

 

Oh iya, kegiatan ini GRATIS lho! Nggak dipungut biaya sepeser pun! Meski demikian, panitia tetap menyediakan besek untuk menampung donasi seikhlasnya dari para peserta. #senyum.lebar

 

Aku amati para peserta di kegiatan ini berasal dari berbagai kelompok usia. Ada anak-anak, mas-mas, bapak-bapak, mbak-mbak, ibu-ibu. Campur aduk lah pokoknya. Ini tandanya, yang berminat dengan kegiatan kunjungan ke museum nggak sebatas anak-anak sekolahan saja. #senyum

 

 

Menjelang pukul setengah 5 sore, acara pun dimulai. Yang menjadi fasilitator pada kunjungan hari ini adalah Pak Arya. Beliau merupakan salah satu pemandu di Museum Sonobudoyo.

 

Sesuai tema yang diangkat, yakni “Koleksi Arca”, pada sore hari ini peserta akan diajak mengamati koleksi-koleksi arca yang ada di Museum Sonobudoyo. Koleksi-koleksi arca ini ditempatkan di halaman utara dan selatan selepas memasuki pintu masuk.

 

Menurut Pak Arya, koleksi arca ini kerap luput dari pengamatan wisatawan. Padahal, ada banyak benda-benda unik dan menarik di sana. Salah satunya bahkan sampai membuat Erwin terkagum-kagum.

 

Penasaran? #senyum.lebar

 

Apa Sesungguhnya Arca Itu?

Bila kita menyinggung istilah “arca”, yang umum terbayang di dalam benak kita adalah gambaran patung yang berasal dari batu. Betul toh?

 

Akan tetapi, sebetulnya definisi dari arca sendiri itu lebih luas dari sekadar patung. Boleh dibilang, arca itu merupakan segala bentuk benda yang memiliki sifat kedewaan. Terkait dengan bangunan candi, ada yang beranggapan bahwa “ruh” dari candi itu terletak pada arcanya. Tanpa arca, candi hanyalah onggokan batu belaka. #haisy

 

 

Arca-arca yang umum dijumpai di Jawa berasal dari periode klasik, yakni masa ketika pengaruh Hindu dan Buddha sangat dominan. Ya dari zaman Kerajaan Tarumanegara sampai Kerajaan Majapahit gitu lah.

 

Sedangkan arca-arca yang ada di Museum Sonobudoyo ini umumnya berasal dari zaman keemasan klasik, sekitar abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Di zaman tersebut, kerajaan Hindu-Buddha di Jawa sedang makmur-makmurnya. Tandanya adalah banyaknya candi yang dibangun di sana-sini.

 

 

Sebelum dibawa ke Museum Sonobudoyo, umumnya arca-arca ini merupakan temuan lepas (semacam penemuan harta karun lah #hehehe). Ada juga arca-arca yang berasal dari taman kota, reruntuhan candi, inventaris kantor BPCP hingga milik pribadi.

 

Eh, apa Pembaca sendiri punya arca yang mau disumbangkan ke Museum Sonobudoyo? #senyum.lebar

 

 

Di awal penjelajahan, Pak Arya mengakui bahwa arca bukanlah topik yang ia tekuni. Sebabnya, Pak Arya lebih mendalami topik prasejarah. Itu lho topik-topik seputar manusia purba, macamnya menhir, dolmen, Pithecantropus erectus, dan kawan-kawannya itu. #hehehe

 

Untunglah Erwin (yang sepertinya minatnya ke periode klasik) lumayan terampil mengimbangi penjelasan Pak Arya. Menarik juga lho belajar sejarah dari seorang mahasiswa sejarah! Jujur, ini pertama kalinya aku mendengarkan ceplas-ceplosnya seorang mahasiswa sejarah menceritakan topik-topik sejarah dengan penuh antusias, hahaha. #senyum.lebar

 

Eh, semoga dirimu cepat lulus ya Win! Gedung baru Fakultas Ilmu Budaya belum jadi! Jangan kelamaan bikin sesak di sana, wekekekek. #senyum.lebar

 

Makara Penghias Tangga Candi

Obyek pertama yang menjadi pengamatan kami adalah ornamen candi yang disebut makara. Makara ini letaknya di bagian tangga candi.

 

Makara ini sebetulnya adalah makhluk yang merupakan kendaraan (wahana) Dewi Gangga dan Dewa Baruna. Bagian wajahnya mirip gajah dan badannya mirip ular. Keberadaan makara difungsikan sebagai penjaga bangunan candi.

 

 

Nah, di dalam mulut makara yang menganga ini biasanya terdapat relief yang berwujud Dewa Gana atau hewan-hewan.

 

Beberapa makara disebut juga sebagai moon stone (batu bulan) karena bentuknya yang meliuk seperti bulan (menurut pengamatan para ahli #hehehe). Contoh makara berjenis moon stone ini bisa dilihat di Candi Kalasan, Yogyakarta.

 

Versi Ganesha yang Tidak Umum

Selanjutnya adalah arca yang aku yakin kita semua sudah pernah melihatnya dan mungkin tahu namanya juga. Yups! Inilah arca Ganesha, salah satu pantheon agama Hindu yang populer dan merakyat.

 

Seperti yang bisa Pembaca amati. Arca Ganesha mudah dikenali dari bentuknya yang unik, yakni kepala gajah, postur duduk, dan perutnya yang buncit. Adapun arca Ganesha kerap diwujudkan memiliki empat tangan. Tangan kanan bawah memegang tanduknya yang patah. Tangan kanan atas memegang jerat. Tangan kiri atas memegang kapak. Tangan kiri bawah memegang mangkok laddu.

 

 

Menyinggung perkara tanduknya yang patah. Arca Ganesha yang ada di foto ini termasuk arca yang “tidak umum” karena kedua tanduknya masih utuh. Umumnya, Ganesha digambarkan memiliki tanduk kanan yang patah. Itu sebabnya, Ganesha punya nama lain yaitu Ekadanta (eka = tunggal, danta = gading).

 

Lagi-lagi, menyinggung perkara nama dan julukan, Ganesha sebetulnya memiliki beragam nama, gelar, dan julukan. Misalnya saja Ganapati, Gajanana (bermuka gajah), dan Lambodara (perut tambun). Bahkan, dalam kitab Ganesa Sahasranama disebutkan bahwa Ganesha memiliki sekitar 1.000 nama! Wow, banyak juga yah? #senyum.lebar

 

Ganesha merupakan anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Pada candi-candi Hindu, khususnya yang ditujukan untuk memuja Siwa, arca Ganesha hampir selalu dapat dijumpai (eh, itu kalau arcanya nggak dimaling #hehehe). Umumnya, bila pintu masuk candi menghadap ke arah timur, maka posisi arca Ganesha ada di dinding luar candi di sisi barat (yang membelakangi pintu masuk).

 

Cerita Ganesha Adu Lari Mengelilingi Dunia

Ada cerita menarik tentang Ganesha dengan kedua orangtuanya dan saudaranya yang bernama Kartikeya. Alkisah, Siwa memiliki buah dewa yang dikenal sebagai buah pengetahuan. Barangsiapa yang memakan buah tersebut, maka dirinya akan dianugerahi pengetahuan yang tiada batasnya.

 

Siwa bermaksud memberikan buah tersebut kepada salah satu dari kedua anaknya, Ganesha atau Kartikeya. Tapi dengan syarat, buah pengetahuan hanya diberikan kepada siapa yang paling cepat mengelilingi dunia sebanyak 3 kali.

 

Mendengar hal tersebut, Kartikeya pun langsung tancap gas berangkat mengelilingi dunia secepat mungkin. Sedangkan Ganesha masih belum beranjak dari tempatnya. Dengan posturnya yang tambun, Ganesha yakin dia nggak bakal bisa menandingi kecepatan Kartikeya mengelilingi dunia.

 

Ganesha pun kemudian melakukan aksi yang membuat Siwa dan Parwati kebingungan. Ganesha berlari-lari kecil mengelilingi kedua orangtuanya yang berdiri termangu. Usai berkeliling sebanyak tiga kali, Ganesha pun berujar pada Siwa bahwa dirinya sudah mengelilingi dunia. Sebab, dunia bagi anak adalah kedua orangtuanya.

 

Siwa dan Parwati pun terenyuh mendengar penjelasan dari Ganesha. Buah pengetahuan itu pun diberikan kepada Ganesha. #senyum

 

Wisnu dan Lakshmi yang Menitis Dari Masa ke Masa

Arca selanjutnya masih merupakan arca dari dewa trimurti beserta pasangannya, yaitu arca Dewa Wisnu dan Dewi Lakshmi. Dalam trimurti, Wisnu berperan sebagai dewa pemelihara, Siwa sebagai dewa pemusnah, dan Brahma sebagai dewa pencipta.

 

Arca Wisnu yang berdampingan dengan Lakshmi ini amat sangat langka dijumpai. Sebab dahulu di Jawa, masyarakat umumnya lebih banyak menyembah Siwa (karena perannya sebagai dewa pemusnah). Oleh sebab itu, arca-arca yang umum ditemukan ya seputar Siwa.

 

 

Ada teori yang menarik seputar Wisnu dan Lakshmi. Pasangan dewa-dewi ini dipercaya menitis dari masa ke masa secara berpasangan. Misalnya saja dalam epos Ramayana, Rama merupakan titisan Wisnu dan Shinta merupakan titisan Lakshmi. Dalam epos Mahabharata, ada Krisna dan pasangannya Rada.

 

Bahkan sampai ada juga yang berpendapat bahwa kelak di akhir zaman nanti Wisnu akan menitis kembali dan kali ini mengambil peran sebagai last savior. Wew....

 

Durga sang Penakluk Mahisasura

Arca selanjutnya adalah arca Durga Mahisasura Mardini yang memiliki arti Durga sang penakluk Mahisasura. Durga sendiri merupakan salah satu dewi yang berpasangan dengan Siwa. Ada yang bilang bahwa Parwati dan Durga itu dewi yang sama. Adapula yang meyakini keduanya dewi yang berbeda. Ah, mbuh lah aku juga bingung. #hehehe

 

 

Ada cerita menarik yang melatarbelakangi Arca Durga Mahisasura Mardini ini. Ceritanya, pada suatu ketika tersebutlah suatu entitas (bukan makhluk soalnya #hehehe) juahaat yang bernama Mahisasura. Wujudnya lembu (mahisa) yang menyatu dengan asura (entitas mirip dewa tapi bukan dewa, bingung toh? #hehehe).

 

Nah, karena permintaannya untuk hidup abadi nggak dikabulkan oleh Brahma, Mahisasura lantas membuat onar di kahyangan. Semua dewa yang bertarung dengannya kewalahan. Sebab, Mahisasura ini kuat banget! Nyaris mirip dewa yang sayangnya nggak hidup abadi. #hehehe

 

Para dewa pun kemudian meminta pertolongan dewa-dewa trimurti. Para dewa trimurti merespons dengan menciptakan Durga, dewi perang bertangan delapan. Masing-masing tangan Durga menggenggam satu senjata pemberian para dewa. Ada busur panah, cakra, pedang, tombak, dll. Misal satu senjata rusak, masih ada cadangan senjata di tangan yang lain, hahaha. #senyum.lebar

 

Singkat cerita, Durga pun turun tangan dan sukses mengalahkan Mahisasura. Dalam arca di atas, digambarkan Durga menginjak badan lembu, menarik ekornya, sehingga si asura kesakitan dan keluar dari tubuh lembu.

 

Kala yang Berbunga-Bunga dan Orang Cina

Arca menarik berikutnya adalah arca Kala yang merupakan ornamen penghias pintu masuk ke bilik candi. Umumnya Kala (Mahakala) digambarkan dengan wujud yang menyeramkan, yakni memiliki rahang besar, bertaring tajam, disertai tatapan mata yang melotot.

 

Perwujudan menyeramkan seperti itu tidak lepas dari peran Kala sebagai pasangan Dewi Kali. Kedua dewa-dewi ini kerap diasosiasikan menguasai waktu dan kematian.

 

Bukankah waktu dan kematian adalah sesuatu yang “menyeramkan”? Yang mana, ketika manusia berhadapan dengan waktu dan kematian, maka manusia sudah tidak dapat lagi mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Ya toh?

 

 

Akan tetapi, perwujudan Kala kemudian melunak ketika berasimilasi dengan ajaran Buddha. Kala yang semula menyeramkan berubah menjadi lembut. Tidak ada lagi taring yang tajam. Yang ada malah arca Kala dihiasi ornamen bunga-bunga. Lebih terkesan girly nggak sih? #hehehe

 

Dari yang semula berwujud entitas menyeramkan yang siap memangsa manusia, Kala berubah wujud menjadi entitas lembut yang menyemburkan bunga-bunga nan harum bagi siapa pun yang melintasinya. Ini sejalan dengan konsep welas asih pada ajaran Buddha. Bentuk arca Kala seperti ini bisa kita jumpai di candi-candi Buddha, semisal di Candi Borobudur, Jawa Tengah.

 

Hal menarik lain yang ada di arca Kala ini adalah keberadaan dua relief orang Cina yang mengapit Kala. Yang seperti ini menimbulkan pertanyaan, “apakah candi dengan arca Kala ini memiliki kaitan dengan orang Cina?” Yang jelas, pada masa saat arca Kala ini dibuat, di Jawa sudah mengenal eksistensi orang Cina.

 

Yoni yang Paling Menarik dari yang Lain

Nggak terasa waktu sudah semakin sore. Langit Jogja semakin gelap. Tapi azan magrib belum terdengar dikumandangan dari Masjid Gede Kauman, hahaha. #senyum.lebar

 

Itu tadi baru arca-arca yang ditempatkan di halaman selatan Museum Sonobudoyo. Di halaman utara masih banyak arca-arca lain lho!

 

Apabila dihitung-hitung, jumlah total arca di halaman Museum Sonobudoyo ini mungkin hanya berkisar puluhan arca. Hanya saja, setiap arca seakan-akan menyimpan sejarah dan cerita yang menggelitik rasa keingintahuan. Seumpama semuanya dikupas dan digali, bisa-bisa butuh waktu berhari-hari itu, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Nah, di penghujung kegiatan “Ramadan di Museum” di sore hari ini, Erwin mengajak kami semua untuk menilik arca yang menurutnya sangat menarik. Arca yang dimaksud merupakan arca yoni yang umum dijumpai di dalam bilik utama bangunan candi Hindu.

 

Arca yoni merupakan perwujudan dari kesuburan yang merupakan representasi dari (maaf) alat kelamin wanita. Lazimnya, arca yoni selalu berpasangan dengan arca lingga yang (maaf lagi) merupakan representasi dari alat kelamin pria.

 

Arca yoni ini disebut-sebut Erwin sebagai arca yoni dengan ornamen terindah yang pernah ia jumpai. Bila dicermati, ukiran relief pada yoni ini benar-benar detil. Entah itu sisik naga, rambut garuda, serta aksesori perhiasan yang mereka kenakan.

 

 

Jelas, nggak sembarang pemahat arca bisa mengukir sampai sedetil ini. Hanya seniman yang level-nya sudah sangat expert saja. Itu pun bayarannya pasti sangat mahal. Mungkin hanya para bangsawan yang bisa memperkerjakan seniman ahli semacam ini. Bisa jadi, candi tempat yoni ini berada dahulunya ya miliknya kaum bangsawan.

 

Ingat ya! Arca ini dibuat di zaman dulu lho! Abad ke-8 sampai ke-9 Masehi! Belum dibuat pakai bantuan mesin! Semisal salah mengukir atau batunya patah, belum ada semen untuk menyambungkan lagi. #hehehe

 

 

Hal lain yang menarik dari arca yoni ini adalah keberadaan relief garuda! Ini bisa dibilang hal yang amat langka. Aku sendiri baru sekali ketemu arca Garuda nun jauh di Candi Sukuh, Jawa Tengah. Relief Garuda ini merupakan penggalan kisah Adiparwa saat Garuda berkelana mencari air suci bernama tirta amerta.

 

Sejarah Ada di Tangan Orang-Orang yang Tepat

Belum lama kami menjelajah arca-arca yang tersebar di halaman utara, tibalah saat yang sudah dinanti-nanti. Apalagi kalau bukan azan magrib yang dikumandangkan dari Masjid Gede Kauman. Alhamdulillah! #senyum.lebar

 

Dengan demikian berakhir sudahlah kegiatan “Ramadan di Museum” edisi “Koleksi Arca” pada sore hari ini. Kami semua berkumpul di depan pintu masuk dan menyantap nasi boks (yes!) dan es buah (nyam!) yang disediakan oleh panitia.

 

Sambil menguyah makanan, sepintas aku mengamati tingkah-polah para panitia yang digawangi oleh Erwin beserta kawan-kawan sepantarannya itu. Aku pun tersenyum kecil.

 

Di tangan para pemuda-pemudi yang penuh semangat ini, sejarah bangsa Indonesia sepertinya akan baik-baik saja. #senyum

 

 

Pembaca pas Ramadan pernah jalan-jalan ke museum?

NIMBRUNG DI SINI