HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Renungan Tempat Tersembunyi di Puncak Moyeng

Senin, 4 Juli 2016, 07:09 WIB

Adalah Kulon Progo, kabupaten di wilayah barat Yogyakarta yang dikaruniai bentang alam elok berupa gugusan Perbukitan Menoreh. Perbukitan inilah yang melatar-belakangi munculnya beragam kisah akan tempat-tempat cantik nan panoramik yang kerap menjadi pergunjingan di antara para pelancong.

 

Aku sendiri, sebetulnya lebih senang duduk menepi di pinggir sawah sembari mengagumi pesona Perbukitan Menoreh daripada harus berkelana menguak tempat-tempat indah yang kini dipadati oleh para wisatawan yang pada penasaran itu. #hehehe #jogja.tak.sepi.seperti.dulu   

 

Walaupun ya harus aku akui. Sesekali dua kali, semilir angin yang mengiri tarian batang-batang padi itu turut menghembuskan rasa penasaran di dalam sanubariku dengan pertanyaan.

 

 “Apa ada jalan buat mendaki ke puncak yang di sana itu ya?”

 

 

Berdua Bertualang ke Barat

Nah, jawaban dari pertanyaan itulah yang akan aku selidiki bersama dengan Raditya also know as Denmas Brindhil di suatu Minggu pagi (15/11/2015) yang cerah, di paruh kedua musim kemarau tahun 2015.  

 

Sejak bertahun-tahun silam, kami berdua sudah sering bersepeda menempuh ratusan kilometer bersama. Dari mulai zamannya SPSS masih eksis, bergulir ke PEKOK, hingga pada akhirnya mreteli siji-siji #hehehe (berguguran satu demi satu). Yang berbeda pada kesempatan kali ini, bisa jadi hanya jam kayuh yang kian bertambah serta usia yang kian menua. Itu saja. #hehehe

 

Catatan:

Raditya juga punya blog yang bisa Pembaca simak di alamat
http://denmasbrindhil.wordpress.com.

 

 

Bilamana aku renungkan kembali. Rasa-rasanya, nggak hanya usia kami saja yang menua, melainkan juga usia sepeda-sepeda tunggangan kami yang sudah berjasa mengantarkan tuannya sampai ke mana-mana.

 

Ah, mungkin itu dia sebabnya bila kemudian perjalanan kami ini banyak diselingi peristiwa naas yang seragam. Berkali-kali ban sepeda Raditya bocor di tengah jalan! Kami pun terpaksa mengikhlaskan waktu terbuang di kios tambal ban. Ujung-ujungnya, ban dalam sepeda yang sudah ditambal berkali-kali itu pun diputuskan untuk diganti saja.

 

Alhamdulillah di Pasar Kenteng, Nanggulan ada toko sepeda yang buka di hari Minggu. Sebagai rekan pesepeda yang sepatutnya saling mengayomi #hoeks.cuih, tentu merupakan suatu kewajiban buatku untuk bolak-balik ke toko sepeda guna membeli ban dalam bagi kawan yang sedang dirundung musibah.

 

 

“Lho kok sampeyan lagi Mas? Tadi bukannya sudah beli ban dalam?”, tanya bapak pemilik toko kebingungan

 

“Tadi itu yang bocor ban belakang Pak. Sekarang gantian ban depan ikut-ikutan bocor, hehehe. #hehehe

 

Pelajaran Berharga Seputar Ban Sepeda

Dari peristiwa naas ini kita bisa memetik banyak pelajaran. Pertama, periksalah kondisi ban dalam sebelum berangkat bersepeda! Sayang seribu sayang, pelajaran yang pertama ini sungguh teramat malas untuk dipraktekkan. Sebab, memeriksa kondisi ban dalam sepeda itu cukup merepotkan, harus pakai adegan bongkar pasang ban luar, dan itu menyita banyak waktu serta keterampilan khusus. #pengalaman

 

Jujur, aku sendiri nggak pernah repot-repot memeriksa kondisi ban dalam sepeda. Paling-paling ya hanya memastikan ban sepedanya padat terisi angin. Ditambah banyak-banyak berdoa, seumpama nanti ban sepedanya bocor, semoga bocornya di saat yang tepat. #hehehe

 

 

Pelajaran kedua adalah yang menurutku cocok untuk dipraktekkan setiap pesepeda, yakni senantiasa membawa bekal ban dalam cadangan! Kebetulan, di hari itu Raditya nggak membawa ban dalam cadangan. Alhasil, kalau ban sepeda bocor, ya mau nggak mau harus ditambal.

 

Aku sendiri karena sering mengalami tragedi ban bocor selalu sedia bekal ban dalam cadangan di dalam tas. Konyolnya, di hari itu yang aku bawa kok ya malah ban dalam ukuran 20” untuk sepeda lipat! Kalau sepeda jenis MTB dan federal kan pakainya ban dalam ukuran 26”.

 

 

Jadi, ya sebelum berangkat bersepeda, harap mengecek bekal ban dalam sepeda dan peralatan yang digunakan untuk bongkar-pasang ban supaya nggak kecele!   

 

Semoga, Pembaca yang senantiasa bersepeda nggak mengalami kejadian naas seperti di atas. #senyum.lebar

 

Jalur (Tanjakan) yang Seperti Biasa

Menyinggung-nyinggung perihal nama Pasar Kenteng, rute bersepeda di hari ini memang hanya ibarat “menarik garis lurus” dari Tugu Pal Putih di Kota Jogja ke arah barat melewati Jl. Godean sampai berpindah kabupaten ke Kulon Progo.

 

Sederhana toh? Mudah toh?

 

Bisa jadi, karena asumsi di awal yang terlalu “menggampangkan” itulah kami digiring ke serangkaian peristiwa ban sepeda yang bocor. #hehehe

 

 

Kecamatan Nanggulan merupakan lokasi “pendaratan” begitu ban sepeda kami melintasi aspal jalan raya Kabupaten Kulon Progo pada pukul 10 siang. Di kecamatan inilah letak Pasar Kenteng berada sekaligus pemandangan indah Perbukitan Menoreh yang mengundang rasa tanya itu.

 

Adapun puncak yang menjadi tujuan kami merupakan salah satu puncak Perbukitan Menoreh yang lokasinya nggak terlampau dari peradaban. Eh, maksudnya, lokasinya nggak masuk-masuk ke pelosok gitu #hehehe. Nama yang diberikan warga bagi puncak tersebut adalah Puncak Moyeng.

 

Jangan tanya aku perkara apa arti Moyeng. Aku sendiri juga kurang paham. #hehehe

 

 

Meskipun termasuk kategori puncak yang “dekat”, akses jalan menuju ke Puncak Moyeng terbilang kurang bersahabat. Lebih tepatnya, sangat tidak bersahabat bagi pesepeda. Khususnya pesepeda yang teramat jarang mengicip jalur tanjakan kelas jahanam. #serius

 

Satu-satunya jalur menuju Puncak Moyeng adalah dengan melalui jalan raya aspal yang mengarah ke Gua Kiskendo. Jalur ini dikenal akrab sebagai Tanjakan Kiskendo dan merupakan satu dari sekian banyak tanjakan jahanam di Yogyakarta yang bisa menyebabkan ban sepeda terangkat dari aspal jalan (karena kontur jalannya benar-benar miring).

 

Untungnya, untuk mencapai Puncak Moyeng, kami hanya perlu menempuh 1/3 dari Tanjakan Kiskendo yang menyimpan banyak kenangan semasa muda. Tapi ya tetap, medan jalan dari 1/3 tanjakan jahanam itu wujudnya ya berupa tanjakan yang... sedikit jahanam #hehehe.

 

 

Titik istirahat alias pit stop di jalur tanjakan ini adalah suatu dusun yang (kalau nggak salah ingat) bernama Dusun Banaran. Sekitar pukul setengah 12 siang kami berhenti melepas dahaga di satu-satunya warung yang kami temui setelah melibas sekian banyak ruas tanjakan di bawah ini,

 

  1. Tanjakan Pembuka
  2. Tanjakan Kayangan
  3. Tanjakan S-Kepala Dusun
  4. Tanjakan Lebar Pembunuh Iman
  5. Tanjakan Masuk Dusun

 

Itu nama-nama tanjakan dari istilahku sendiri, makanya aneh-aneh sebutannya. #hehehe

 

 

Cabang jalan menuju Puncak Moyeng ini terletak di ruas jalan menanjak sebelum masuk dusun. Entah tahun berapa, seingatku, dulu ada papan nama bertuliskan Puncak Moyeng yang dipasang di pinggir jalan raya. Sayangnya, papan tersebut kini menghilang. Nggak tahu apakah rusak ataukah sengaja dicabut. Bisa jadi ini yang menyebabkan Puncak Moyeng kurang terdengar gaungnya di media sosial.

 

Eh, Aku sih berdoa semoga tempat ini nggak jadi tempat hits. #hehehe

 

Ya kali, kalau semua tempat jadi hits, jadi banyak pengunjungnya, kami-kami yang mau menyepi mencari kedamaian ini harus nongkrong di mana?

 

Masak ya kalau mau menyepi harus di WC sambil ngendog? #hehehe

 

 

Aku kurang bisa memberikan panduan arah yang pasti menuju Puncak Moyeng, sebab selepas jalan raya kami melalui adalah jalan-jalan desa yang terkadang masuk-masuk ke jalan hutan sedikit. Di sepanjang jalan desa ini nggak satu pun petunjuk ke arah Puncak Moyeng. Meski demikian, warga yang kami jumpai masih berbaik hati memberikan panduan arah. Alhamdulillah ya. #senyum.lebar

 

 

Lokasi Puncak Moyeng nggak seberapa jauh dari percabangan di jalan raya. Kira-kira 10 menit bersepeda, sampailah kami di tempat di mana sepeda sebaiknya diparkir. Jalan menuju Puncak Moyeng berupa jalan setapak yang lebih nyaman dilalui dengan berjalan kaki.

Dilema di Tempat "Tersembunyi"

Akhirnya, sekitar pukul setengah 1 siang, sampailah kami berdua di Puncak Moyeng. Dari Puncak Moyeng inilah tersaji hamparan pemandangan Kecamatan Girimulyo dari ketinggian. Sayang sedang musim kemarau, jadinya selain sawah, pemandangannya didominasi warna cokelat.

 


Klik untuk memperbesar.

 

Di siang hari itu hanya kami berdua yang menikmati panorama dari Puncak Moyeng. Agaknya, tempat ini benar-benar cocok mendapat predikat sebagai tempat yang “tersembunyi”. Kata tersembunyi sengaja aku beri tanda petik dikarenakan bersinggungan dengan salah satu topik yang kami perbicangkan dalam perjalanan menuju tempat ini.

 

 

Sesuai dengan apa yang pernah dituangkan ke dalam salah satu artikel blog-nya, Raditya merasa miris dengan penggunaan kata “tersembunyi” ini. Sering kali di media sosial tersebar foto-foto cantik suatu tempat yang diembel-embeli kata “tersembunyi” atau pun hidden. Kedua kata tersebut memiliki makna yang serupa, yakni tempat yang jarang ada orang yang mengetahuinya.

 

Adalah suatu hal yang kontradiktif ketika tempat-tempat yang menyandang predikat “tersembunyi” itu digaungkan di media sosial, diketahui khalayak umum, dan lantas menarik banyak orang untuk singgah ke sana. Kalau sudah begini, di manakah esensi tempat yang di awal tadi “tersembunyi” itu?

 

Sehingga tak jarang muncul sentilan-sentilan yang dilandasi kekhawatiran, semisal

 

“JANGAN di-posting di Facebook/Instagram/Twitter dsb! Nanti tempatnya jadi ramai. Jadi rusak. Jadi nggak alami.”

 

 

Harus diakui, dewasa ini media sosial memang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menggerakkan massa. Sayangnya, penanganan wisata di tempat-tempat “tersembunyi” semacam ini amat sangat minim. Terutama dalam hal mengantisipasi dampak negatif dari membeludaknya jumlah pengunjung.

 

Salah satu dampak negatif yang mudah kita amati adalah sampah-sampah yang dibuang sembarangan #sedih. Selain itu, lingkungan yang semula asri berubah rusak. Bukan hanya karena dirusak oleh pengunjung, melainkan juga dirusak oleh warga sekitar dengan dalil memfasilitasi kebutuhan pengunjung #sedih. Misalnya keberadaan saung, warung, serta penginapan yang bisa kita amati bermunculan di tempat-tempat wisata yang kian populer.

 

 

Berhubung kami berdua dibesarkan oleh fakultas sains, kami kurang berkompeten memberi solusi atas permasalahan yang rawan melanda tempat-tempat “tersembunyi” semacam ini. Apa yang bisa kami lakukan hanya sekadar memberi nasihat-nasihat sederhana bagaimana cara bersikap agar tempat-tempat ini tetap asri dan lestari.

 

Mungkin Pembaca yang berlatar pendidikan pariwisata tergerak untuk mencari solusi? #senyum     

 

Jalan Pulang yang Masih Panjang

Usai melewatkan sekitar 15 menit dengan beristirahat, duduk-duduk, menikmati pemandangan, ngobrol sana-sini, foto-foto, dan bersih-bersih sampah sebisanya, kami pun pamit dari Puncak Moyeng untuk pulang ke kediaman masing-masing.

 

Saat berjalan kaki menuju lokasi sepeda diparkir, kami berpapasan dengan pasangan muda-mudi yang tampak malu-malu bergegas naik ke puncak. Ah, semoga mereka berdua tetap menjaga kesopanan dan etika tatkala menyepi di puncak layaknya kami berdua.

 

 

Perjalanan menuju rumah pun masih panjang. Terutama, karena kami melewati Tanjakan Kiskendo yang kini berubah menjadi turunan curam dengan menuntun sepeda sembari berjalan kaki.

 

Eh, sebabnya? ....

 

Betul sekali! #senyum.lebar

 

 

Pembaca punya saran atau pendapat tentang tempat-tempat “tersembunyi” semacam ini?

NIMBRUNG DI SINI